Di
Balik Krisis Hubungan Turki-UE
Smith Alhadar ; Penasihat The Indonesian Society for Middle
East Studies (ISMES); Direktur
Eksekutif Institute for Democracy Education
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Maret 2017
HUBUNGAN Turki-Uni Eropa kembali memanas. Sebelumnya, Juli
tahun lalu, Turki sempat kecewa pada UE, yang bukannya bersimpati pada
pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan menyusul kudeta faksi militer,
malah mengecam tindakan penangkapan besar-besaran terhadap pelaku dan
orang-orang yang dianggap simpatisan ulama liberal Fethullah Gulen.
Penangkapan, penahanan, dan pemecatan terhadap puluhan ribu anggota militer,
polisi, jaksa, dosen, wartawan, dan warga sipil itu, yang dipandang sebagai
simpatisan Gulen tokoh yang dituduh otak di balik kudeta gagal itu dilihat UE
sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan pers.
Akibat kekecewaan itu, Turki hampir saja membatalkan
perjanjian dengan UE tentang pengungsi Suriah dengan membuka pintu-pintunya
bagi arus pengungsi Suriah yang mengalir ke Eropa. Isi perjanjian itu, di
antaranya, Turki berkewajiban menahan arus pengungsi Suriah yang hendak ke
Eropa. Sebagai imbalannya, Turki akan diberi 6 miliar euro, membebaskan visa
bagi warga Turki yang hendak ke wilayah UE, dan akan membuka kembali pembicaraan
mengenai lamaran Turki menjadi anggota UE. Turki telah menunaikan kewajiban,
tapi sampai sekarang UE belum memenuhi semua kewajiban mereka. Dengan
demikian, hubungan Turki-UE menjadi sangat sensitif.
Karena itu, ketika Belanda memperlakukan 'semena-mena'
terhadap dua menteri Turki, kemarahan Presiden Erdogan meledak. Sebagaimana
diketahui, pada 12 Maret silam, pemerintah Belanda tak memberikan izin
pesawat yang akan ditumpangi Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu
mendarat di Amsterdam, dan menahan Menteri Urusan Keluarga Fatma Betul Sayan
Kaya. Keduanya direncanakan berbicara kepada warga diaspora Turki dalam
pertemuan di Rotterdam. Kedua menteri akan berkampanye agar warga Turki di
Eropa yang memegang dwikewarganegaraan mendukung referendum konstitusi dan
mengubah sistem pemerintahan parlementer menjadi presidensial. Terdapat
sekitar 500 ribu warga Turki di Belanda.
Sikap pemerintah Belanda yang dianggap merendahkan
martabat Turki itu semestinya tidak terjadi sekiranya tidak ada pemilu di Belanda.
Pemilu yang berlangsung pada 15 Maret lalu menghadapkan Perdana Menteri Mark
Rutte dengan kompetitor beratnya, Geert Wilders, pemimpin partai ekstrem
kanan, yang sangat antiimigran. Kampanye dua menteri Turki itu dapat
memprovokasi masyarakat Belanda yang dapat merugikan Rutte dari Partai Rakyat
dan Kebebasan.
Namun, bukan hanya Belanda. Beberapa wilayah Jerman pun
membatalkan agenda kampanye menteri-menteri Turki di negara itu. Kanselir
Jerman Angela Merkel menyatakan tak ingin ketegangan di Turki ditularkan ke
Jerman. Tak mengherankan Erdogan pun menuduh dua negara ini masih diliputi
neo-NAZI, bahkan menuduh Merkel sebagai pelindung teroris dan menjatuhkan
sanksi politik pada Belanda. Bagaimana pun, terkait dengan perseteruan dua
negara ini dengan Turki, Austria dan Denmark membatalkan jadwal kunjungan PM
Turki Binali Yildirim. Kendati Prancis mengizinkan kampanye pejabat Turki di
negara itu, umumnya anggota-anggota UE tidak bersimpati pada upaya Erdogan
mengubah sistem pemerintahan parlementer menjadi presidensial.
Referendum ini dipandang hanya sebagai ambisi kekuasaan
Erdogan yang akan menyebabkan konsentrasi kekuasaan secara berlebihan di
tangan presiden. Dalam pemilu tahun lalu, Partai Keadilan dan Pembangunan
(AKP) pimpinan Erdogan memenangi lebih dari 50% kursi parlemen. Namun, itu
belum cukup untuk mengubah sistem pemerintahan Turki. Karena itu, harus
dilakukan referendum. Jumlah warga Turki di seluruh Eropa sekitar 5,5 juta,
jumlah yang signifikan yang diharapkan mayoritasnya mendukung perubahan
sistem pemerintahan. Tak mengherankan Erdogan muak dengan sikap UE. Dalam
pernyataan bersama terkait krisis Turki vs Belanda-Jerman, Ketua Kebijakan
Luar Negeri UE Federica Mogherini dan Komisioner Urusan Perluasan UE Johanes
Hahn menyebut kekhawatiran UE bahwa referendum akan menyebabkan kekuasaan
presiden terlalu besar.
Menanggapi pernyataan UE ini, Turki menyatakan 'pandangan
UE tidak ada artinya bagi negara kami'. Ankara pun menyatakan akan
mengevaluasi ulang kesepakatan menahan arus pengungsi Suriah ke UE. Berikut
tiga hal yang menyebabkan hubungan Turki-UE kurang harmonis. Pertama, kendati
sudah lama melamar menjadi anggota UE, sampai sekarang lamaran itu masih
ditolak. Padahal, bekas negara-negara komunis di Eropa Timur telah diterima
sebagai anggota UE. Muncul asumsi Turki, anggota NATO, ditolaknya keanggotaan
di UE disebabkan mayoritas penduduk Turki beragama Islam dan bukan ras Eropa.
Kedua, UE selalu rewel terhadap HAM bahwa Turki tidak menghormati HAM sesuai
standar Eropa. Hal ini banyak terkait dengan perlakuan Ankara terhadap suku
Kurdi di Turki tenggara.
Pada 1979 Abdullah Ocalan, yang kini berada di penjara
Turki, mendirikan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang menuntut wilayah
otonomi bagi penduduk Kurdi. Karena tidak ditanggapi, pada 1984 PKK
mengangkat senjata melawan Ankara. Karena melakukan teror, AS, PBB, dan UE
menetapkan PKK yang beraliran Marxis ini sebagai kelompok teroris. Kendati
demikian, UE menuntut Turki memperlakukan suku Kurdi secara lebih manusiawi.
Ketiga, kebebasan pers. Pemerintahan Erdogan tak segan-segan menutup media
yang terlalu kritis terhadap pemerintah, yang dipandang berbahaya bagi
keamanan negara.
Akibat pengabaian UE ini, pemerintahan Turki di bawah
Erdogan sejak 2002 ini melakukan reorientasi politik-ekonomi. Turki berpaling
kembali kawasan bekas Khilafah Usmani yang meliputi Balkan, Afrika Utara,
Timur Tengah, dan Asia Tengah. Memburuknya hubungan Turki dengan UE dan AS
sejak tahun lalu mendorong Ankara menguatkan hubungan dengan Moskow. Di dalam
negeri, pemerintahan Erdogan mendorong gerakan Islam kultural. Pertikaian
Turki-UE saat ini hanya akan makin meyakinkan Turki tentang perlunya
melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi Turki pada Eropa yang terlalu
besar.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar