Agama
dan Pembangunan Ekonomi
Candra Fajri Ananda ; Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 20
Maret 2017
Sepekan lalu kita kehilangan KH Ahmad Hasyim Muzadi
sebagai seorang ulama dan tokoh besar di negeri ini. Berbagai posisi
prestisius mulai dari aktivis pergerakan pemuda dan mahasiswa hingga ketua di
berbagai jenjang organisasi keagamaan dan politik diembannya selama beberapa
dekade. Masyarakat begitu menghormati jasa-jasa beliau dalam menerapkan
konsep “keseimbangan” yang ditunjukkan dalam aktivitas beragama, berbangsa,
dan bernegara yang output-nya ikut menjaga kestabilan pembangunan di
Indonesia. Penulis menganggap, teori keseimbangan yang telah Kiai Hasyim
kumandangkan tergolong sebagai teologi yang unik.
Ide mercusuarnya menggunakan unsur moralitas agama sebagai
bagian dari sistem pembangunan sosial. Pemikiran beliau seolah-olah menjadi
antitesis paham kapitalisme yang selama ini cenderung bersikap sekuler dan
antisosial. Kita lihat saja bagaimana argumen yang dilontarkan Kiai Hasyim
ketika merespons fenomena ketimpangan sosial yang semakin memuncak di
Indonesia. Dengan kapasitasnya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden
dan sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS), beliau
mengkritik keras bagaimana kondisi ketimpangan yang terkesan terus tumbuh
tanpa adanya upaya pengendalian.
Kiai Hasyim melontarkan dengan gayanya yang khas. Selentingan
pedasnya dibumbui dengan guyon yang cerdas sehingga tidak menimbulkan dampak
ketersinggungan yang di luar batas. Inti argumen yang Kiai Hasyim jelaskan
terletak pada bipolar toleransi yang timpang di dalam frasa keagamaan dengan
kebijakan ekonomi. Kiai Hasyim menggambarkan hubungan antara mayoritas dan
minoritas yang tercipta di negeri ini. Frasa toleransi beliau definisikan
sebagai upaya perlindungan yang dilakukan pihak mayoritas terhadap hakhak
minoritas.
Ketika berbicara dari sudut pandang keagamaan, kaum
mayoritas direfleksikan sebagai pribumi muslim yang jumlahnya sangat dominan
dan kalangan lain disebut minoritas. Toleransi keagamaan sudah dipraktikkan
dengan baik meskipun belum cukup optimal karena masih muncul pola-pola
gesekan yang disebabkan isu keagamaan. Sementara dari sudut pandang ekonomi,
kalangan mayoritas dari sisi keagamaan justru yang menjadi kaum minoritas.
Namun tampaknya isu toleransi ekonomi lebih sering terabaikan.
Kaum mayoritas ekonomi dianggap kurang melindungi kaum minoritas
hingga terus berkembang menjadi kaum marginal. Buktinya sudah tampak dari
peningkatan luar biasa ketimpangan ekonomi sepanjang dua dekade terakhir.
Bahkan Bank Dunia (2015) melansir 1% rumah tangga terkaya telah menguasai
lebih dari separuh total kekayaan ekonomi di Indonesia. Filsafat ekonomi
beliau lontarkan untuk menjelaskan bagaimana perkembangan perekonomian global
sejak awal 1990-an.
Ekonomi dunia tidak lagi termargin pada kelompok
kapitalis-liberal dan sosialiskomunis yang dulu disebut Blok Barat dan Blok
Timur. Sekarang semuanya mulai bergerak monopolar (satu arah) untuk melakukan
agresi-agresi ekonomi ke negara-negara yang kaya sumber daya, termasuk
Indonesia. Jadi koalisi antarnegara sekarang digerakkan unsur materialisme.
Inilah yang kemudian perlu kita antisipasi agar tidak semakin waswas dengan
kinerja ketahanan ekonomi Indonesia.
Kiai Hasyim merumuskan ada tiga syarat untuk mewujudkan
ketahanan ekonomi di Indonesia. Pertama, sistem ekonomi di dalam
ketatanegaraan dan konstitusi seharusnya menjamin terselenggaranya pemerataan
ekonomi. Ada baiknya pula jika pola hidup masyarakat dapat diubah dari yang
selama ini cenderung homo homini lupus (cenderung intoleran dalam berekonomi)
menjadi homo homini socius (ekonomi berwatak sosial). Kedua, penyelenggara
pemerintahan harus konsisten berani menjalankan jalur-jalur pemerataan.
Hal ini dipandang akan sulit terjadi jika pemerintah tidak
mampu mengendalikan conflict of interest dan pola rente ekonomi yang
senantiasa mengarah pada kapitalisme. Dan ketiga, ada prasyarat kesiapan
mental untuk menjalankan ekonomi kerakyatan, peningkatan skill, serta
kesempatan yang sama di dalam mencari kesejahteraan dan perlindungan terhadap
usaha-usaha mikro dan kecil.
Kesadaran Aksioma dan Berkoalisi
Jika dikaitkan dengan kondisi existing, sebenarnya
gerakan- gerakan ekonomi kerakyatan terus mengalir ke beberapa kelompok yang
merasa marginal. Hanya saja kelompokkelompok ini belum mendapat legitimasi
yang kuat sehingga kiprahnya belum cukup masif mengakomodasi target
pemerataan. Hal paling menarik tentu lahirnya kelompok-kelompok ekonomi
berbasis agama yang dijalankan para pengusaha dan penggerak ekonomi lain.
Kita ambil contoh komunitas ekonomi dari kalangan pengusaha muslim yang
sekarang tampaknya kian menggeliat.
Kita perlu menghargai latar belakang yang mereka pilih
karena inilah bagian dari proses alami di negeri demokrasi. Terlepas dari
unsur eksklusif yang mereka kehendaki, ada juga sisisisi positif yang
nantinya dapat kita pelajari, terutama yang berkaitan dengan proses
akulturasi kebijakan ekonomi dan unsur agama. Konsep-konsep normatif dalam
ajaran agama diyakini mampu memengaruhi kinerja pembangunan ekonomi karena
aspek moralitas dapat membangun kohesi yang kuat untuk meminimalkan setiap
potensi yang memunculkan konflik.
Pertama, adanya komunitas ekonomi ini merefleksikan
kekuatan modal sosial di Indonesia. Bekal modal sosial yang kuat diharapkan
mampu memfasilitasi pola kerja sama, gotong-royong, toleransi, dan yang
paling utama mempercepat transfer knowledge karena asumsi adanya kesamaan
visi ekonomi. Para sosiolog dunia sebagian besar bersepakat bahwa level modal
sosial terbagi ke dalam tiga strata, yakni social bonding, social bridging, dan social linking.
Eksistensi kelompok ekonomi muslim untuk saat ini mungkin
masih dikategorikan berada di tahap yang paling rendah untuk kategori social
bonding karena basis persekutuannya lebih disebabkan kesamaan identitas dan
ikatan parokial (keagamaan). Namun model ini berpotensi untuk terus
berkembang jika mampu mengakomodasi kepentingan eksternal para anggotanya,
yakni dengan meningkatkan hubungan dengan kelompok-kelompok lain dalam rangka
peningkatan efisiensi ekonomi.
Peran pemerintah dapat juga dilibatkan di dalamnya untuk
menjalankan proses koordinasi kebijakan agar lebih sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Kedua, ajaran agama dapat memengaruhi level moralitas para pelaku
ekonomi di dalamnya. Tingginya biaya transaksi ekonomi di Indonesia sangat
mungkin juga disebabkan akuntabilitas dan moralitas yang rendah dari
stakeholder yang ada. Indikasi yang paling gamblang bisa dijelaskan dari
hubungan para birokrat dengan para pengusaha yang sering dilalui dengan
perangai korupsi dan rente ekonomi.
Akibatnya kebijakan ekonomi hanya menguntungkan segelintir
“pemain”. Kaum marginal akan terus-menerus menjadi korban kebijakan karena
hak-hak pemerataannya selalu dikebiri. Penyakit amoral juga dapat terjadi
dalam diri masyarakat di luar para birokrat dan pengusaha, misalnya terkait
dengan ketidakdisiplinan para tenaga kerja serta perilaku pasar yang
cenderung tidak jujur dan transparan.
Meskipun secara parsial dampak buruknya terhitung relatif
lebih kecil bila dibandingkan dengan moral hazard yang ditimbulkan para
birokrat, jika diakumulasi ulang, dampaknya bisa lebih berat karena
menciptakan distorsi dan membawa situasi pasar menjadi tidak kondusif.
Ketiga, agama dapat berdampak positif terhadap upaya konservasi sosial dan
lingkungan. World Bank pada 2015 merilis laporan yang membahas perilaku
sosial masyarakat ke dalam prinsip think
automatically, think socially, dan
think with mental models.
Dua prinsip yang pertama mungkin sudah cukup akrab
terdengar, tetapi prinsip ketiga ini bisa dibilang kurang dieksplorasi
masyarakat. Ketiga prinsip menjelaskan bagaimana kerangka kerja mental dan
harapan yang sering kali berakar pada budaya kita. Kerangka mental pada
gilirannya akan berpengaruh pada bagaimana kita menanggapi dan berperilaku
dan nantinya bisa berdampak pada upaya konservasi sosial dan alam. Misalnya
perspektif ekonomi terhadap sumber daya alam terutama yang bersifat
nonrenewable.
Ketika kita mengeksploitasi SDA secara besar-besaran, kita
sama saja dengan mempersiapkan masa depan pasar yang cenderung distortif
akibat hukum kelangkaan. Fenomena perang fisik maupun psikis antarnegara pada
umumnya juga disebabkan perebutan sumber daya ekonomi. Jadi perlu ada
pengembangan kearifan dalam berekonomi agar tidak menjadi konflik di kemudian
hari. Contoh menarik lain dapat diilustrasikan dari upaya konservasi sosial
melalui kebijakan perpajakan.
Rendahnya realisasi tax ratio di Indonesia pada umumnya
disebabkan adanya tax avoidance dan tax evasion. Fenomena ini menunjukkan
betapa lemahnya karakter sosial yang dimiliki para wajib pajak meskipun tidak
secara absolut semuanya disebabkan unsur kesengajaan. Padahal, dari sisi
fiskal, kebijakan perpajakan menjadi salah satu jalan utama untuk menekan
ketimpangan. Selain dengan mewujudkan perbaikan dari sisi layanan dan
kualitas pengelolaan perpajakan, solusinya dapat dilakukan dengan
mengembangkan modal sosial dan moralitas antara pemerintah dan masyarakat.
Dari berbagai analisis di atas, betapa kita sebagai bangsa
sangat kehilangan atas perginya tokoh yang mampu memperkuat hubungan kohesitas
sosial yang kuat, mendorong masyarakat harus memegang teguh nilai-nilai
ajaran agamanya (ilahiah) serta pada saat yang sama menjadi makhluk sosial,
ekonomi, dan politik (muamalah) yang bermanfaat, bertanggung jawab, dan
bermartabat. Wallahu’ alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar