Ketimpangan
Ekonomi dan Media
Wijayanto ; Kandidat Doktor Media dan Politik
Universitas Leiden
|
TEMPO.CO, 20 Maret 2017
Hasil kajian Oxford
Committee for Famine Relieve (Oxfam) perihal tingkat
ketimpangan ekonomi Indonesia menyajikan temuan yang meresahkan. Dokumen
setebal 48 halaman yang baru saja dirilis pada Februari 2017 itu dengan
gamblang memaparkan potret buram ketimpangan kesejahteraan kita.
Satu persen warga terkaya negeri ini menguasai hampir
separuh (49 persen) kekayaan nasional. Berikutnya, empat orang terkaya di
Indonesia memiliki kekayaan yang lebih besar dari 40 persen penduduk
termiskin, atau sekitar 100 juta orang. Dalam satu hari, pendapatan dari bunga
orang terkaya di Indonesia melampaui 1.000 kali belanja orang miskin untuk
kebutuhan pokok selama satu tahun. Maka, tidak mengherankafam juga memaparkan penyebab utama ketimpangan. Di satu
sisi, ada peran pemerintah yang hilang untuk meregulasi ekonomi yang mampu
menjamin terwujudnya pemerataan. Di sisi lain, ada elite politik ekonomi yang
menyabotase proses politik dan menjadikan negara sebagai pelayan atas kepentingan
mereka. Dalam bagian rekomendasi, tim Oxfam berharap negara bertindak sebagai
agen yang mau menghasilkan kebijakan agar bisa mengatasi ketimpangan.
Mungkinkah negara, yang mereka yakini telah dikooptasi
oleh lapisan paling kaya, melaksanakan rekomendasi itu? Pertanyaan ini
penting diajukan mengingat ketimpangan ekonomi tersebut telah lama
berlangsung di Indonesia dan justru mengalami tren peningkatan selama 20
tahun terakhir. Hal ini menempatkan
kita sebagai negara dengan pertumbuhan ketimpangan ekonomi tertinggi di Asia
Tenggara. Artinya, dapat dikatakan
bahwa "pembiaran" oleh negara atas problem ketimpangan juga telah
berlangsung selama itu.
Melihat latar belakang di atas, dibutuhkan aktor
penyeimbang yang mampu memastikan dan memantau agar negara benar-benar serius
menangani masalah ketimpangan ini. Di sinilah peran media menjadi penting.
Sebagaimana tampak dalam kasus berbagai negara dengan ketimpangan ekonomi
tinggi, seperti Rusia, Amerika Serikat, atau India, yang selalu diwarnai
dengan potret kegagalan media untuk melayani kaum miskin.
Hal ini bukan selalu berarti tidak ada kebebasan pers di
negara-negara itu. Namun kebebasan tersebut gagal dimanfaatkan untuk
memberikan ruang representasi bagi mayoritas yang miskin. Atau, jika ruang
itu diberikan, liputan media cenderung menyalahkan mereka yang kurang
beruntung tanpa secara jernih menunjukkan konteks ketimpangan struktural yang
melahirkan kemiskinan tersebut.
Situasi yang mirip juga dapat kita temukan di Tanah Air.
Dalam studinya atas media arus utama, Janet Steel (2011) mengungkapkan, pada
era reformasi, sudah amat sedikit pemberitaan yang memotret kemiskinan
sebagai korban dari ketidakadilan struktural. Hal ini berbeda dengan
pemberitaan media pada masa sebelum Orde Baru tumbang, yang banyak membingkai
kaum miskin sebagai korban pembangunan. Padahal, jika mencermati data Oxfam
di atas, ketimpangan struktural justru semakin meningkat pada era reformasi.
Untuk itu, media kini justru perlu lebih berperan dan
mengambil inisiatif dalam upaya memerangi ketimpangan ekonomi. Ketimbang
terus-menerus menyesaki ruang publik dengan isu diskriminasi bernuansa
sektarian yang menjadi ujian bagi toleransi, perhatian perlu kita alihkan
pada isu lain yang tak kalah penting: diskriminasi ekonomi.
Media perlu menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi yang
mendesak untuk segera kita selesaikan. Sebuah aliansi strategis dengan unsur
masyarakat sipil bervisi sama perlu dibangun untuk mengarahkan energi publik
dalam sebuah proses diskusi yang berkeadaban.
Dalam hal ini, gerakan Occupy Wall Street (OWS) yang
diprakarsai majalah Adbusters di Kota New York pada 2011 merupakan contoh
yang menarik. Hadir dengan pesan "Kita adalah 99%!", gerakan ini
telah berhasil menyuarakan adanya ketimpangan ekonomi yang tajam di Amerika.
Gerakan tersebut sekaligus mengungkap praktek korupsi dan kuatnya pengaruh
korporasi dalam kebijakan publik Amerika sebagai penyebab utama di balik
ketimpangan itu.
Gerakan OWS memang tak serta-merta menghapus ketimpangan.
Gerakan ini juga tak lepas dari kritik. Namun OWS berhasil mengubah arah
perdebatan politik yang tengah berlangsung saat itu, memperoleh dukungan
publik secara luas, dan berhasil menarik perhatian para pemimpin politik.
Semua bermula dari kepeloporan media.
Terinspirasi dari kesuksesan OWS, gerakan yang sama dapat
dilakukan oleh media kita dengan mengambil inisiatif untuk menyuarakan
ketimpangan ekonomi sebagai masalah yang mendesak dan menjadikannya sebagai
wacana dominan di tengah publik. Saat kepercayaan terhadap media menurun, inisiatif
itu akan menjadi salah satu bukti bahwa media masih tetap relevan bagi
publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar