Ujian
Nalar Demokrasi
Nasir Djamil ; Anggota Komisi
III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 03
Maret 2017
Kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada
15 Februari 2017 lalu menjadi batu uji nalar demokrasi sebagian rakyat
Indonesia. Demokrasi yang memberikan jaminan ke - setaraan bagi rakyat berupa
hak memilih maupun hak dipilih ternyata sering kali tidak se - jalan dengan
pilar utama demo - krasi, yaitu moral politik dan etika berbangsa dan
bernegara.
Bahkan moral dan etika ter - sebut sebenarnya telah
dinorma kan dalam bentuk kaidah hukum yang artinya memiliki kekuatan hukum
mengikat. Uji nalar demokrasi yang dimaksud di sini adalah ketika seorang
yang telah dijadikan status tersangka atau terdakwa ternyata masih dipilih
oleh se - bagian besar rakyat.
Hal ter - sebut dapat dilihat dari hasil Pilkada DKI,
yaitu salah satu calon yang merupakan peta - hana dan telah menjadi ter -
dakwa memperoleh suara ter - banyak walaupun harus ke putaran kedua karena
belum memperoleh 50%+1. Sebelum itu pun kita dapat melihat kon - testasi
pilkada serentak tahun 2015 yang di dalamnya ada empat kepala daerah men
calon - kan diri (incumbent, petahana), yaitu Wali Kota Gunung Sitoli,
Sumatra Utara, Lakhomizaro Zebua; Bupati Sabu Raijua, NTT, Marthen Dira Tome;
Bupati Ngada, NTT, Marianus Sae; Bupati Maros, Sulawesi Selatan, Hatta
Rahman, pada hal ke - empat nya telah berstatus ter - sangka tetapi tetap
terpilih.
Tentu keterpilihan tersebut adalah pilihan rakyat
masingmasing. Namun keterpilihan itu menunjukkan sisi negatif dari demokrasi.
Jimly Asshiddiqie (2005) menyebut demokrasi membawa cacat bawaan karena terlalu
mengandalkan logika suara one man one vote.
Padahal mayoritas suara tersebut belum tentu mencerminkan
kebenar - an dan keadilan. Karena itulah, dalam kehidupan bernegara,
demokrasi tidaklah cukup, melainkan membutuhkan juga pranata hukum dan etika
sebagai penjaga suara keadilan tersebut.
Fenomena Calon Tersangka/Terdakwa
Ujian nalar demokrasi di - mulai dari Putusan MK Nomor
42/PUU/XIII/2015 yang me - nyebut mantan terpidana boleh mencalonkan diri
asalkan meng - akui dan terbuka atas statusnya tersebut. Akibatnya UU Pilkada
pun dipaksa berubah dan menyesuaikan beleid tersebut.
Putusan MK itu sebenarnya membawa petaka bagi nalar
demokrasi Indonesia karena demokrasi kita semakin tidak bermoral. Akibatnya
muncul sikap, jika terpidana saja boleh mencalonkan diri, mengapa tersangka
atau terdakwa tidak boleh mencalonkan diri? Logika ini di satu sisi betul,
tetapi sesungguhnya telah meruntuhkan nilai-nilai moral yang terdapat dalam
hukum dan demokrasi.
Betul memang kita harus menjunjung tinggi asas presumption
of innocence alias prinsip praduga tak bersalah di mana seseorang harus diang
- gap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap (incracht van gewisjde). Namun ketika se - seorang telah tersangkut se
- buah kasus hukum dan kemu - dian penegak hukum mem - prosesnya, bahkan
telah dilim - pah kan ke pengadilan, nalar hu - kum kita tentu akan berbicara
bahwa tidak mungkin penegak hukum tidak melandaskan pro - ses hukum terhadap
seseorang tersebut tanpa alat bukti yang kuat.
Karenanya kita men - dapati sebuah aturan hukum yang
bersendikan moral bahwa seorang pejabat publik yang telah diajukan ke
pengadilan (alias menjadi terdakwa) harus diberhentikan sementara, se -
dangkan jika telah ada putusan pengadilan (alias menjadi ter - pidana)
pejabat publik tersebut harus diberhentikan secara tetap.
Tujuannya selain agar pejabat tersebut dapat ber kon -
sentrasi terhadap kasus hukum yang dihadapi, juga bertujuan lebih tinggi,
yaitu menjaga kepatutan dan kepantasan dalam kepe mim pinan sebuah institusi.
Dalam berbagai kasus yang ditangani Komisi Pemberan - tas an Korupsi (KPK),
kita akan me lihat kesepakatanmoralbahwa seseorang yang ditersang kakan,
apalagi diterdakwakan oleh KPK, harus mundur dari jabat - annya.
Institusi pemerintahan ataupun partai politik tempat asal
pejabat tersebut pun berlomba-lomba untuk segera memberhentikan karena ter -
dapat moral hukum soal ke - pantasan, semangat menghor - mati hukum, dan
terutama se - mangat pemberantasan korup si.
Hal yang aneh terjadi dalam kasus hukum lainnya yang di -
tangani kepolisian dan kejak sa - an yang ternyata moral hukum soal
kepantasan maupun se ma - ngat menghormati hukum tidak diperlakukan sama
seperti hal - nya dalam kasus yang ditangani KPK.
Dan hari ini kita menyak si - kan, tidak hanya sebagian
rakyat Indonesia yang sedang mempertaruhkan nalar hukum dalam berdemokrasi,
tetapi ter - masuk juga pemimpin di negeri ini yang tak juga mem ber henti -
kan pejabat yang telah dijadikan terdakwa tersebut.
Bahkan pengabaian beleid yang me nye - but seseorang
terdakwa harus diberhentikan sementara ter - sebut sama saja sedang mem -
pertaruhkan proses hukum di pengadilan dengan titik tekan - nya pada
kepolisian dan ke - jaksaan yang dianggap tidak cakap menghadirkan alat bukti
yang kuat.
Demokrasi Kebablasan
Presiden Joko Widodo pada sebuah kesempatan menyebut
demokrasi di Indonesia saat ini telah kebablasan. Pernyataan yang bisa jadi
tepat dan benar. Sayangnya hal itu dipraktikkan sendiri oleh Presiden Indonesia
ketujuh tersebut dalam bentuk tidak mematuhi aturan pem - berhentian
sementara kepala daerah yang menjadi terdakwa.
Karena itu semestinya kita bersama menggunakan pe na - lar
an terhadap permasalahan dalam dinamika politik pilkada supaya melahirkan
demokrasi Indonesia yang lebih ber mar - tabat. Penalaran sebagaimana
dimaksud KBBI adalah proses berpikir yang bertolak dari peng amatan empiris
yang meng hasilkan sejumlah konsep dan pengertian, yang ber dasarkan
pengamatan sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi sejenis pula.
Berdasarkan hal tersebut, seyogianya nalar demokrasi kita
dibangun tidak hanya berdasarkan nalar hukum semata, melainkan juga nalar
moral dan etika. Dengan demikian, menem - patkan proses hukum sebagai bagian
dari moral dan etika akan dapat mendorong kita un - tuk memiliki pandangan
yang sama bahwa seseorang yang dijadikan tersangka ataupun terdakwa
semestinya tidak dijadikan sebagai pejabat yang mengurusi persoalan rakyat.
Bahkan semestinya siapa pun yang dijadikan tersangka atau
terdakwa mengundurkan diri dari proses publik baik sebagai kontestan
pemilihan umum maupun apalagi menjadi kepala daerah sebagaimana banyak di -
praktikkan di negara demo krasi yang telah maju dengan dasar shame culture
alias budaya malu. Hal ini tidak lain merupakan upaya agar demokrasi tidak
kebablasan. ●
(Note : Mohon maaf, masih ASLI dari KORAN SINDO.
Belum diedit.)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar