Skenario
Pasca-arbitrase
Rachman Wiriosudarmo ; Analis Kebijakan Sumber Daya Alam
|
KOMPAS, 22 Maret 2017
Sengketa
antara Freeport dan Pemerintah Indonesia sudah sampai pada babak maju ke
pengadilan arbitrase internasional. Dalam hal ini yang mengajukan sengketa ke
arbitrase adalah Freeport.
Freeport
memberikan waktu 120 hari kepada pemerintah untuk kembali berunding mencari
solusi lain. Melihat pernyataan dari para pejabat tinggi dan dukungan
”patriotisme” dari masyarakat, maka tidak ada kemungkinan pemerintah akan
berubah sikap dalam arti melunak.
Menurut
perkiraan saya, Freeport juga tak dapat lagi melunak dalam arti menerima
persyaratan yang dituntut pemerintah untuk mengubah kontrak karya menjadi
izin usaha pertambangan khusus (IUPK) serta menyerahkan 51 persen saham
perusahaan. Yang dituntut Freeport adalah kepastian hukum dan kepastian
kewajiban finansial. Hal itu berarti Freeport menginginkan landasan hukum
dalam bentuk kontrak atau perjanjian eksklusif (exclusive agreement) yang kecil
kemungkinan disetujui pemerintah.
Dua skenario
Sebagaimana
layaknya dalam proses pengadilan, tentu ada yang menang dan ada yang kalah.
Marilah kita lihat skenario kalau pemerintah menang. Dalam hal demikian,
Freeport harus memenuhi persyaratan yang telah diwajibkan oleh pemerintah,
yakni status KK menjadi IUPK, menyerahkan 51 persen saham, mengikuti aturan
finansial sebagaimana diatur oleh UU yang berlaku, dan membangun smelter.
Kalau Freeport tak bersedia memenuhi persyaratan itu, dia harus mengakhiri
kegiatan usaha pertambangan di Papua.
Kemungkinan
lain, Freeport dapat diajukan ke pengadilan karena dianggap melanggar UU yang
berlaku di Indonesia. Kalau Freeport kalah di pengadilan, pemerintah dapat
memberlakukan klausul default yang ada di KK. Artinya, KK harus diakhiri
dengan segala konsekuensi keuangan yang harus ditanggung Freeport.
Baik
berakhir pada 2021 maupun karena default, apakah Freeport dapat ngacir begitu
saja? Dalam KK terdapat pengaturan kewajiban dalam hal perusahaan melakukan
terminasi kontrak, antara lain melakukan rehabilitasi atau konservasi lahan.
Menurut pengamatan saya dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara (Minerba) tak terdapat pengaturan yang sama. Kemungkinan lain dapat
diterapkan peraturan menteri tentang konservasi lahan pasca-tambang.
Katakan
terjadi serah terima proyek pertambangan di Papua dari Freeport kepada
pemerintah setelah semua persyaratan dipenuhi, dalam hal ini dimengerti bahwa
kepemilikan perusahaan kembali kenegara melalui BUMN. Selanjutnya pemerintah
dapat membagi saham kepada pihak swasta atau menjual sebagian saham ke pasar
modal untuk mendapat modal operasi dan investasi. Sampai di mana saham yang
ditawarkan, akan tergantung prospek usaha tambang di Papua ini.
Pertanyaan
selanjutnya adalah kepada siapa pemerintah akan menyerahkan manajemen
operasi? Apakah mengundang pihak asing atau diserahkan sepenuhnya kepada BUMN
atau gabungan BUMN?
Perlu
diketahui selama ini operasi pertambangan Grasberg tidak dilakukan sendiri
oleh Freeport, tetapi dikerjakan oleh Rio Tinto dengan imbalan bagi hasil
produksi. Secara teoretis, pemerintah dapat menunjuk BUMN sebagai pemilik dan
pengelola operasi dengan menggandeng kembali Rio Tinto. Pertanyaannya, apakah
Rio Tinto bersedia? Kesediaan Rio Tinto akan bergantung pada ada tidaknya
kepastian, dalam arti apakah Rio Tinto menaruh kepercayaan terhadap
Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, persoalan kembali ke kepercayaan.
Setelah
Freeport meninggalkan operasi, tambang tak serta-merta dapat berproduksi
karena perlu waktu untuk melakukan pemeriksaan dan penataan keadaan. Selama
waktu jeda produksi perlu dilakukan pemeliharaan sarana dan prasarana
produksi ataupun sarana non-produksi yang akan makan biaya tak kecil.
Artinya, BUMN harus menyediakan pendanaan untuk itu. Selain itu, perlu
dilakukan pengaturan kembali tenaga kerja yang telanjur dirumahkan atau
dikenai PHK (pemutusan hubungan kerja) selama Freeport mengalami pelarangan
ekspor konsentrat.
Bagaimana
kalau Freeport yang menang dalam arbitrase? Dalam hal ini Freeport mungkin
hanya mempunyai waktu sampai tahun 2021 pada waktu KK Freeport berakhir.
Kemungkinan bahwa pemerintah akan memperpanjang kehadiran Freeport
berdasarkan KK sangat kecil, kecuali ada perubahan (revisi) terhadap UU No
4/2009. Dengan demikian, keadaan akan sama dengan kalau pemerintah memenangi
arbitrase, yakni kepemilikan kembali ke negara, sedangkan operasi dilakukan
oleh manajemen BUMN dengan segala kerepotannya. Dalam hal ini Freeport tidak
perlu mengalami default.
Pertanyaan
selanjutnya adalah, kalau terdapat prospek untuk tidak diperpanjang setelah
2021, apakah Freeport akan melakukan investasi baru untuk pengembangan
tambang bawah tanah di Grasberg? Tentu Freeport tidak akan melakukan. Dengan
demikian, timbul pertanyaan, bagaimana nasib cadangan di Grasberg kalau tidak
dilakukan pengembangan? Apakah keadaannya dibiarkan sebagaimana adanya
sekarang?
Pertanyaan
ini memberikan kesimpulan, kalaupun Freeport tidak melakukan investasi untuk
pengembangan Grasberg,apakah tidak sebaiknya pemerintah mengambil alih
kepemilikan sekarang juga?Hal ini akan merupakan dilema bagi pemerintah
karena KK Freeport masih akan berlaku sampai 2021. Dalam kurun waktu empat
tahun mendatang, pemerintah tidak dapat ”mengusir” Freeport kecuali mengenakan
default. Kalaupun pemerintah dapat mengambil alih Freeport sekarang,
pemerintah harus menyediakan pendanaan untuk melanjutkan produksi. Selain
itu, pemerintah (BUMN) harus membangun smelter dan pemurnian konsentrat
tembaga agar konsisten terhadap amanah UU No 4/2009.
Konteks pembangunan Papua
Dengan
uraian di atas, saya ingin mengatakan bahwa menang atau kalah prospek
operasional di proyek pertambangan akan merepotkan pemerintah ataupun
Freeport. Artinya, mengajukan ke arbitrase oleh siapa pun akan merupakan
solusi yang merugikan kedua belah pihak. Selain itu, terhentinya produksi
Freeport selama proses pengadilan arbitrase juga akan menghentikan pasok
konsentrat ke peleburan di Gresik. Hal ini membawa konsekuensi terhadap
tenaga kerja juga.
Apakah
ada kemungkinan menemukan solusi lain dalam waktu 120 hari itu antara
pemerintah dan Freeport? Saya melihat kemungkinan itu ada dengan membawa
permasalahan ke dalam konteks yang lebih luas, yakni konteks pembangunan
Papua. Kalau permasalahan Freeport masih ditangani pada tingkat sebagai
korporasi, sulit bagi Presiden Jokowi untuk keluar dari konsekuensi politis.
Oleh
karena itu, dimungkinkan bagi Presiden Jokowi untuk mengeluarkan semacam
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang pembangunan
Papua dengan melibatkan perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Papua,
antara lain Freeport, proyek gas Tangguh, serta perusahaan perkebunan dan
kehutanan. Dengan konteks pembangunan Papua, perusahaan-perusahaan itu
diposisikan sebagai salah satu peluang bagi warga Papua untuk sejahtera.
Dalam
konteks pembangunan Papua inilah konsentrasi kemanfaatan Freeport perlu
diubah. Kemanfaatan harus difokuskan pada adanya efek pengganda (multiplier
effect) terhadap pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan pembangunan
manusia Papua, bukan lagi fokus pada pendapatan negara dalam hal pajak,
dividen, dan royalti untuk negara.
Untuk
itu, hak dan kewajiban Freeport perlu diatur kembali. Hak dan kewajiban
itulah yang dijadikan bahan perundingan dalam waktu 120 hari tersebut. Hasil
kesepakatan dituangkan dalam perppu tentang peran sumber daya alam untuk
pembangunan Papua.
Dalam
hal ini, pemerintah perlu ”turun tangan” langsung dalam pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial, dan pembangunan manusia di Papua. Artinya, tidak
menyerahkan pengelolaan multiplier effect sepenuhnya kepada perusahaan
seperti selama ini. Paradigma baru peran pengusahaan sumber daya alam di
Papua ini sejalan dengan kebijakan Nawacita yang sudah diawali oleh tingginya
perhatian Presiden Joko Widodo terhadap Papua.
Gagasan
di atas adalah salah satu alternatif yang dimungkinkan. Apa pun keputusan
yang diambil, semoga menjadi solusi saling menguntungkan bagi semua pihak,
terutama bagi warga Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar