Perilaku
Pemilih Pilkada DKI
Tobias Basuki ; Peneliti Centre for Strategic and
International Studies
|
TEMPO.CO, 21 Maret 2017
Perdebatan
perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 kali ini sangat
menarik. Tulisan Eep Saefulloh Fatah di kolom majalah Tempo edisi 12 Maret
2017 menggelitik karena menafikan dua teori utama dalam melihat pemilih DKI.
Pemilih rasional sering terlalu disederhanakan sebagai pemilih yang
menggunakan akal sehat dan diterjemahkan dalam pilkada ketika pemilih melihat
kinerja sebagai basis pilihan. Politik aliran lebih melihat sekat-sekat
kelompok, khususnya agama, sebagai salah satu penentu bagi pemilih di
Indonesia.
Bisa
dikatakan hasil putaran pertama pilkada DKI ini adalah imbang untuk kedua
kerangka teori pemilih rasional versus politik aliran. Hasil putaran pertama
menempatkan petahana Basuki Tjahaja Purnama dengan 43 persen suara dan
penantangnya, Anies Baswedan, 40 persen. Ini menunjukkan bahwa dua teori
tersebut mempunyai kekuatan penjelas tapi terbatas.
Ketika
elektabilitas Ahok menukik tajam sampai di titik 20 persen sekitar November,
alasan utama yang digarisbawahi adalah kasus penistaan agama yang menjerat
Ahok ke dalam kasus hukum. Menariknya, setelah kasus penistaan tersebut masuk
ke pengadilan, justru elektabilitas Ahok menanjak ke angka 30-an persen.
Dari
kasus ini bisa dikatakan kurang akurat jika menggambarkan 400 ribu umat
muslim yang turun dalam aksi 411 dan 212 semata marah karena agamanya
dinistakan. Sebab, jika kemarahan itu demikian besar, elektabilitas Ahok
pasti tidak akan mencapai 43 persen pada putaran pertama lantaran pemilih muslim di DKI Jakarta lebih dari 80
persen.
Besarnya
demonstrasi pada dua tanggal tersebut merupakan konvergensi berbagai
kepentingan politik yang memobilisasi massa. Seperti survei yang dirilis
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada populasi nasional: 60
persen responden menganggap Ahok menistakan Islam, tapi 80 persen lebih tidak
tahu kasus tersebut secara detail. Di sisi lain, kenyataan bahwa Ahok hanya
mendapat 43 persen suara, jauh di bawah tingkat kepuasan terhadap kinerjanya
(70 persen), memang menunjukkan ada efek politik aliran tapi tetap diimbangi
pemilih rasional.
Ini
artinya, pemilih dalam pilkada DKI ada dalam dua konstruksi tersebut, tapi
ada elemen ketiga yang lebih menjadi penentu. Inilah yang dalam literatur
psikologi politik disebut sebagai affective intelligence voting, yakni peran
emosi dalam menentukan pilihan di luar dari kognisi (kalkulasi rasional) dan
identitas primordial semata.
Eep
mungkin cukup benar ketika mengatakan pemilih Anies bukan hanya pemilih
berdasarkan alasan primordial agama. Namun asersinya yang menyatakan hal
tersebut adalah efek dari gagal paham inkumben dalam menangkap angin
populisme bisa dikatakan kurang tepat.
Pertama,
Eep bernalar bahwa populisme secara otomatis adalah kebijakan yang menjawab
permasalahan masyarakat banyak. Populisme dalam literatur politik adalah
kemampuan pemimpin memobilisasi emosi warga (seperti Islamofobia Trump).
Namun bukan berarti janji atau narasi populis adalah satu sikap yang positif
bagi rakyat.
Kedua,
Eep berasumsi berdasar exit poll Polmark bahwa hanya 9,4 persen yang memilih
Anies karena alasan agama. Ia mengatakan, "Ternyata tawaran janji kerja
serta bukti kapasitas kandidat memainkan peran signifikan."
Hal
ini merupakan asersi tanpa dasar. Seperti halnya tidak adil membandingkan
Ahok dengan Anies berdasar kinerja karena yang satu inkumben dan satunya
tidak mempunyai rekam jejak sebagai kepala daerah.
Bounded rationality
(keterbatasan informasi, pendidikan, dan pengetahuan) dari para pemilih
membuat pemilihan berdasarkan pilihan rasional sangat terbatas. Pemilih tidak
memiliki cukup informasi akan janji kerja yang ada. Belum lagi, dalam debat
sebelum putaran pertama, bisa dilihat semua kandidat berputar-putar
menunjukkan kebolehan tanpa substansi yang bisa dibandingkan secara jelas.
Pada
akhirnya, kerangka teori ketiga mungkin dapat menjelaskan perilaku pemilih
rakyat Jakarta pada putaran pertama dan menjelang putaran kedua pada 19
April. Affective intelligence voting melihat variabel lain yang lebih mudah
berubah dibanding kalkulasi rasional (pilihan rasional) atau identitas
primordial. Ini adalah teori yang melihat psikologis pemilih yang terbentuk
oleh nuansa kondisi sekitar, apakah membuat kecemasan (anxiety) atau
antusias. Hal ini terlihat cukup jelas pada pendukung kedua belah pihak.
Dari
kubu Ahok kelihatan sekali ada antusiasme besar yang kadang berlebihan,
sementara sebagian pendukung Anies didasari kecemasan (pengaruh narasi hoax
Cina menguasai dan pemimpin nonmuslim yang tidak sah). Pada akhirnya, yang menentukan siapa
pemenang pada putaran kedua rasanya akan bertumpu pada pemilih dalam kerangka
affective intelligence ini.
Pemilih
tidak semata-mata mengkalkulasi pilihannya maupun terjebak identitas dalam
pilihannya. Pemilih akan terpengaruh nuansa sosial dan politik serta perasaan
terhadap kedua kandidat menjelang pemilihan. Faktor apakah yang akan
menentukan nuansa dan psikologis tersebut? Itulah hal yang menarik dan perlu
ditelusuri lebih lanjut oleh peneliti perilaku politik di Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar