Memimpin
Kota yang Beradab
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga; Direktur Centre
of Statecraft and Citizenship Studies Universitas Airlangga
|
KOMPAS, 22 Maret 2017
Di tengah gempuran
berbagai tantangan besar yang dihadapi warga dunia, seperti perubahan iklim,
kesenjangan sosial, fanatisisme golongan, dan krisis solidaritas bersama,
Benjamin Barber (2013) membangunkan kita lewat pernyataannya bahwa solusi
berbagai tantangan global itu terletak di kota dan daya hidup warganya.
Kota-kota di seluruh dunia
dapat menjadi menara peradaban manusia apabila kehidupan di dalamnya sanggup
merawat semangat pluralisme sosial, partisipasi yang setara, dan inovasi
sebagai buah dari solidaritas sosial yang saling menghodinamika politik di kota-kota besar Indonesia, terutama seperti Jakarta
sebagai ibu kota dan jantung yang merawat eksistensi kehidupan Republik,
menjadi sangat penting dipantau. Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah DKI
Jakarta 2017, hasil dari kontestasi politik yang tengah berlangsung akan
sangat menentukan peran Jakarta sebagai garda depan yang mampu merawat
peradaban yang manusiawi di bumi Indonesia.
Relevansi kota sejalan
dengan pergeseran besar dalam corak tatanan politik dunia. Apabila dahulu
negara bangsa dianggap sebagai penggerak utama keadaban publik, maka di era
globalisasi, entitas negara dianggap terlalu besar dan lamban untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan kompleks dunia.
Meski demikian, secara
paradoks, justru kota sebagai entitas mikroskopik dalam arena politik menjadi
harapan baru untuk merawat peradaban demokratik.
Pernyataan ini tentunya
tidak ditujukan untuk menisbikan keseluruhan peran negara, tetapi daya tahan
hidup negara, baik secara internal maupun dalam hubungan dengan bangsa-bangsa
lain ditentukan oleh geliat dinamika kemajuan dari kota-kota yang ada di
dalamnya.
Meski demikian,
keberhasilan kota mengemban tanggung jawab sosial barunya di era global tidak
terjadi secara otomatis. Keberhasilan tersebut sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya untuk mengusung kerangka kerja progresif yang melibatkan
partisipasi warga untuk menyelesaikan berbagai masalah penting di dalamnya,
seperti meningkatkan kualitas hidup warganya, menata keseimbangan ekologis,
melayani kebutuhan publik, serta menciptakan ruang sosial yang menghargai
kebinekaan dan anti diskriminasi.
Pemimpin
inklusif
Pada kenyataannya, tidak
semua kota mampu mengemban tanggung jawab sosial barunya untuk menopang
peradaban manusia yang progresif, demokratis, dan manusiawi.
Seperti diutarakan oleh
Wakil Presiden World Bank Institute Frannie A Leautier, beberapa kota,
seperti Nairobi di Kenya, Lagos di Nigeria, ataupun Mumbai di India, adalah
contoh dari kota-kota yang gagal merealisasikan tanggung jawabnya menjadi
kota yang mengawal peradaban yang manusiawi diukur dari indeks kualitas
hidup, keseimbangan ekologis, ataupun pemerintahan yang bersih.
Meski demikian, beberapa
kota lain, seperti Bogota di Kolombia, Rio de Janeiro di Brasil, sampai
dengan Surabaya ataupun Jakarta adalah kota-kota di negara berkembang yang
perlahan-lahan berusaha mengatasi tantangannya.
Seiring dengan
transformasi politik global dari negara-bangsa menuju kota sebagai pusat
peradaban dunia, karakter kepemimpinan baru dibutuhkan untuk memimpin sebuah
kota, apalagi ibu kota negara seperti Jakarta.
Pada situasi sosial baru
di mana pemimpin kota bukan lagi sekadar ambtenaar penyambung kebijakan
pusat, maka pemimpin sebuah kota memiliki peran penting sebagai pusat
perubahan di mana dirinya harus mampu melakukan inovasi, bersih, dan
berkarakter pluralis dalam mendorong inisiatif warga kota ataupun
merealisasikan keadilan bersama.
Kesemua kriteria untuk
menjadi pemimpin kota di dalam perubahan besar-besaran politik dunia bertumpu
pada corak karakter inklusif yang terbuka terhadap keragaman dan anti
diskriminasi. Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Edward Glaeser
(2011), Triumph of the City, bahwa kekuatan yang lahir dari kolaborasi
antarwarga yang beragam latar belakang sosial budaya adalah energi utama dari
suksesnya sebuah peradaban dan eksistensi sebuah kota.
Keadilan
dan toleransi
Secara sosiologis, kota
sendiri memiliki archetype sosial yang bercorak multikultur karena kota
adalah tempat pertemuan dari berbagai macam manusia dari latar belakang
agama, ras, etnis, dan golongan. Dengan demikian, apabila seorang pemimpin
kota berinisiatif untuk menggerakkan partisipasi warga, membangun inovasi,
dan menghadirkan keadilan sosial, maka seluruh upaya itu harus didahului oleh
kesadaran pemimpin menempatkan setiap warganya dalam posisi yang setara dan
terbuka.
Sehubungan dengan
orientasi membangun kota, muara dari pembangunan di kota adalah keadilan
sosial. Seperti diuraikan Nancy Fraser (2001), keadilan sosial berpijak pada
tiga dimensi yang saling terkait satu sama lain, yaitu redistribusi sumber
daya secara adil, pengakuan sosial terhadap berbagai identitas sosial yang
eksis (recognition), dan partisipasi politik untuk menggerakkan pembangunan
kota sesuai dengan kehendak bersama dari setiap warga kota.
Dengan demikian, maka
karakter pemimpin yang toleran dan anti diskriminasi adalah inheren di dalam
kehendak merealisasikan keadilan sosial. Dari prinsip keadilan ini, maka
tidak mungkin pemimpin merealisasikan keadilan sosial ketika di dalam dirinya
tidak memiliki sikap toleran atau justru mengakomodasi kelompok-kelompok
intoleran. Hal ini karena sejak awal di dalam pikirannya sudah bersemi sikap
diskriminatif dan membatasi posisi dari setiap orang berdasarkan latar
belakang sosial.
Pentingnya menimbang
pemimpin yang inklusif ini sejalan pula dengan perkembangan aktual, ketika
dunia tengah menghadapi ancaman populisme konservatif. Sebuah ekspresi
politik yang membalut kekecewaan rakyat terhadap elite dengan
sentimen-sentimen kebencian berbasis antagonisme kultural agama, ras, dan
etnis. Kecenderungan seperti ini memiliki efek buruk bagi tujuan menjadikan
kota sebagai tulang punggung peradaban demokratis.
Ketika
sebuah kota didikte oleh sentimen-sentimen antagonisme budaya, maka
diskriminasi sosial akan terjadi dan ketika diskriminasi sosial terjadi, maka
kehidupan publik yang merdeka, beragam, dan terbuka akan menemui jalan
suramnya di bawah bayang-bayang bendera gelap fanatisisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar