Bisakah
China Gantikan AS
Mira Murniasari ; Alumnus S-3 Hubungan Internasional
Southeast Asia Studies Xiamen University, Fujian,
Tiongkok
|
KOMPAS, 22 Maret 2017
Banyak
pakar memprediksi China akan menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai
negara adidaya nomor satu dunia pada 2025-2030.
Berbagai
langkah kebijakan luar negeri yang ditempuh Donald John Trump, antara lain
menarik keanggotaan AS dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), bahkan dapat
menjadi pintu masuk dan jalan bebas hambatan bagi China untuk segera
menggantikan posisi AS dalam percaturan dunia.
Dalam
pidato inaugurasi sebagai Presiden AS, Trump menegaskan visi "America
First" dengan mengembalikan kejayaan Amerika, baik di dalam maupun luar
negeri. Visi itu didasarkan pada tetap mempertahankan hubungan baik dengan
banyak negara dan mengutamakan kepentingan AS, terutama rakyat AS.
Langkah
pertama yang diambil Trump dalam mewujudkan ambisinya tersebut adalah dengan
keluar dari TPP. Langkah kedua Trump juga sejak awal terus membangun hubungan
bersitegang dengan China. Hal ini justru berbanding terbalik dengan visi
teori "America First" Trump. Kedua langkah Trump itu justru
mencerminkan AS menarik diri dari hubungan baik dengan banyak negara,
khususnya China.
Mimpi dan kekuatan China
Sebenarnya,
jika diamati, teori Trump sangat dekat dengan konsep "China Dream"
yang dicetuskan Xi Jinping ketika terpilih sebagai kepala negara China dalam
Kongres Rakyat Nasional (KRN) China pada 13 Maret 2013. Berbeda dengan
langkah Trump, langkah Xi Jinping untuk mencapai mimpi China sebagai bangsa
yang besar, negara yang kuat dan kaya, serta rakyat yang bahagia, adalah
dengan realisasi yang bersifat internasional meski manfaat konsep bersifat ke
dalam negeri.
Berbagai
kebijakan Xi Jinping yang memilih berkembang dan maju bersama dengan negara
sekitar, antara lain dengan membangun
kekuatan dengan negara sekitar (zhoubian waijiao), "One Belt One Road
(OBOR)", dan The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang
merupakan bagian dari grand design China membangun "Jalur Sutra Maritim
Abad-21" dan "Zona Ekonomi Jalur Sutra Baru".
OBOR-lah
saat ini yang dijadikan China sebagai langkah strategis mendekati
negara-negara di sekitarnya. Meski tidak dapat dimungkiri kebijakan OBOR ini
tidak semua negara menyambut baik, setidaknya langkah China ini lebih halus
dan tidak mengkhawatirkan dunia seperti "America First"-nya Trump.
Keluarnya
AS dari TPP mendorong Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Singapura
mendekati China dan negara-negara Asia lain, termasuk Indonesia, mengajak
bergabung dalam TPP. Namun, China terlihat "dingin" menanggapi
permintaan ini.
China
seolah menyadari posisi strategisnya. Sikap "kalem" menghadapi
serangan Trump dan beberapa pembantunya menjadikan China sebagai pemegang
kartu "As" dalam percaturan internasional. China akan memanfaatkan
posisi ini dengan mengajak negara-negara sekitarnya terlibat dalam OBOR dan
AIIB. Dengan demikian, China tentu akan memilih untuk tidak bergabung dalam
TPP. Kendali memang ada di tangan China. OBOR dan AIIB tidak tertutup
kemungkinan akan semakin mendunia, sedangkan TPP akan kehilangan kekuatan dan
pengaruhnya jika tidak ada negara besar menopangnya.
Bahkan,
kolom tajuk rencana koran Pemerintah China, People's Daily, pada 25 Januari
2015, secara khusus membahas tentang TPP dengan judul "Sudah Saatnya
Mengucapkan Selamat Tinggal TPP".
China
mempunyai "modal" besar untuk menggantikan posisi AS dalam mewujudkan mimpinya. Modal pertama,
China mempunyai dana besar dengan cadangan devisa 3,2 triliun dollar AS tahun
2016, terbesar di dunia, turun dari tahun 2015 yang mencapai 3,89 triliun
dollar AS.
Kedua, kekuatan militer yang juga relatif
besar dan dilengkapi dengan peralatan militer yang canggih. Kekuatan militer
China semakin tidak terbantahkan dengan rencana China meluncurkan kapal induk
asli buatan sendiri pada 2017 ini.
Ketiga,
dunia mengakui kekuatan dan pertumbuhan ekonomi China yang tertinggi di
dunia. Keempat, China mempunyai kekuatan jaringan Overseas Chinese yang
banyak menguasai ekonomi dunia. Kekuatan Overseas Chinese yang menjadi pilar
diplomacy public China efektif membawa OBOR mendunia.
Perdana
Menteri China Li Keqiang pada 6 Juli 2015 dalam konferensi pengusaha Overseas
Chinese dan keturunan Tionghoa Dunia di Beijing menegaskan bahwa Overseas
Chinese dan keturunan Tionghoa yang jumlahnya 60 juta orang adalah bagian
penting dari keluarga besar China, dan perannya membantu China mewujudkan
mimpi, adalah dengan menjadi "jembatan pelangi" bagi China dengan negara di mana para
Overseas Chinese dan keturunannya tinggal.
Mata uang China
Selain
itu, pada peringatan 67 tahun berdirinya China, 1 Oktober 2016, mata uang
renminbi (RMB), oleh lembaga keuangan dunia, Dana Moneter Internasional
(IMF), juga resmi dijadikan sebagai mata uang internasional. Bukan tidak
mungkin RMB akan dapat menggantikan posisi dollar AS sebagai mata uang
internasional utama dunia.
Indonesia
mempunyai sekitar 20 juta keturunan Tionghoa. Tidak sedikit dari mereka yang
masuk daftar orang terkaya dunia dengan jaringan bisnis yang mendunia.
Jika
Pemerintah Indonesia jeli memanfaatkan potensi mereka, Indonesia sepertinya
tidak perlu lagi mengandalkan investasi asing untuk membangun infrastruktur
atau sektor-sektor lainnya agar dapat mendorong perkembangan ekonomi.
Berbagai
keunggulan China seperti tersebut di atas sepertinya tidak dimiliki AS di
bawah Trump saat ini. Meski demikian, China masih belum percaya diri dapat
menggantikan posisi AS seraya menyatakan bahwa sampai 50 tahun ke depan pun
China tidak akan mampu menggantikan posisi AS.
Jika
benar ke depan China dapat menggantikan AS, ini menjadi catatan sejarah dunia
baru bahwa Xi Jinping, hanya dalam hitungan jari tangan, berhasil membawa
China mewujudkan "China Dream". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar