Bumi-Datar
Goenawan Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 20 Maret 2017
Columbus mengarungi samudra dan menemukan sebuah benua
yang ia sangka Asia. Ia tidak sedang menyangkal Injil.
Memang sampai hari ini banyak yang percaya (termasuk
Presiden Obama), ia telah menangkis orang-orang kolot, terutama di Gereja
Katolik, yang menganggap bumi datar seperti cakram. Tapi tak demikian sejarah
mencatat. Pada 3 Agustus 1492 itu, ketika kapal Santa Maria dan dua kapal lain
angkat sauh dari Palos de la Frontera menuju Asia melalui Atlantik, 88 awak
kapal itu, seperti umumnya orang awam maupun cendekiawan zaman itu-juga
hierarki Gereja-sudah biasa dengan pengetahuan bahwa bumi berbentuk bola.
Tak ada kaum "bumi-datar" yang sekarang
terdengar suaranya. Sudah 2.000 tahun lamanya bentuk bumi disepakati.
Pada abad ke-5 sebelum Masehi, Plato-yang pernah belajar
matematika Pythagoras di Italia Selatan-sudah mengatakan sesuatu yang 25 abad
kemudian dibuktikan para astronaut: andai orang bisa terbang mengatasi awan,
ia akan melihat "bumi seperti salah satu bola yang berselaput
kulit".
Gambaran itu kemudian diperkuat para pakar astronomi Islam
dengan matematika dan kecermatan empiris.
Syahdan, di tahun 830, di Bagdad, Khalif al-Maâmun
mendirikan Bayt-al-Hikmah, "Balai Kearifan". Bagi sang Khalif, ilmu
memang harus menempuh perjalanan ("Sampai ke Negeri Cina," sabda
Rasulullah), berani menemui sumber kafir maupun tak kafir. Di Balai itulah ia
himpun para ilmuwan. Ia undang pakar dari luar, dari India, misalnya. Di sana
juga karya ilmiah Yunani, India, dan Persia diterjemahkan.
Dari komunitas ilmu ini bermunculan astronom dan
matematikawan termasyhur. Ada Al-Khwarizmi (780-850), penemu aljabar yang
bisa menghitung secara detail posisi matahari, bulan, dan sejumlah planet. Ia
juga menyusun satu tabel garis bujur dan garis lintang 2.402 kota dan tempat
terkenal, yang jadi dasar peta bumi awal.
Ada juga Al-Farghani. Karyanya antara lain membahas garis
lingkar bumi, penemuan yang dipakai di seluruh dunia Islam dan diterjemahkan
ke bahasa Latin.
Para astronom ini memang masih berangkat dari paradigma
pra-Kopernikus yang menunjukkan bahwa bumilah yang mengitari matahari dan
bukan sebaliknya; tapi sudah mulai tampak kritik kepada sistem Ptolemaus. Di
dasawarsa kedua abad ke-11, misalnya, terbit karya Ibn al-Haytham, Al-Shukuk
ala Batlamyus ("Keraguan atas Ptolemaus").
Persoalan yang dihadapi jelas bukan lagi perihal bumi
datar atau bulat. Tak ada lagi perdebatan tentang itu, juga di luar dunia
Islam. Bersama masuknya pengaruh Al-Khwarizmi dan lain-lain ke dunia ilmu
Eropa di abad ke-11, sisa-sisa kepercayaan bumi-datar terkikis. Ada satu
kutipan dari Thomas Aquinas, theolog dan pemikir Gereja Katolik di abad ke-13
yang berpengaruh itu: "Fisikawan membuktikan bumi bulat dengan satu
cara, pakar astronomi membuktikannya dengan cara lain."
Di pertengahan abad ke-13, seorang astronom muslim tinggal
di Beijing. Ia membantu Maharaja Khubilai Khan membangun "biro astronomi
Islam" di ibu kota itu. Orang Cina memanggilnya "Zhamaluding".
Nama aslinya Jamal ad-Din Muhammad al-Zaydi al-Bukhari-orang dari Bukhara.
Kepada Khubilai Khan ia persembahkan seperangkat peranti ilmu perbintangan.
Salah satunya sebuah bola dunia terbuat dari kayu, dan agaknya merupakan
globe pertama dalam sejarah Tiongkok.
Globe (bukan cakram, bukan telur dadar) memang
menggambarkan bentuk bumi-itulah konsensus ilmiah berabad-abad. Maka tak
perlu Columbus membawa teori baru untuk mencapai Asia di Timur dengan
mengarungi lautan ke Barat. Memang, seperti sudah disebut di atas, ada kisah
ia diserang dengan ayat-ayat Injil yang menegaskan bumi datar. Itu konon
terjadi di Majelis Salamanca, tempat ia diuji sejumlah pakar dan pembesar
Gereja. Tapi peristiwa ini, disebut dalam The Life and Voyages of Christopher
Columbus karya Washington Irving di tahun 1828, kini dianggap bagian dari
fiksi. Irving hanya ingin mendramatisasi peran sang penjelajah sebagai
pembangkang.
Cerita seperti itu memang menarik bagi semangat rasionalis
abad ke-19: bentrok antara ilmu yang piawai dan agama yang konyol.
Tapi kita tahu konflik itu tak terjadi dalam astronomi
Islam. Ironisnya, kini justru ada orang yang membenarkan prasangka modern
yang memuja ilmu. Mereka yakin bumi datar sebagaimana diisyaratkan Injil dan
Quran. Mereka yakin pendapat bumi-bulat hanyalah persekongkolan dusta NASA,
para penganut Freemason, dan entah apa lagi.
Bisakah paranoia ini lenyap? Mungkin tidak. Tapi mungkin
ada yang berguna dari kaum bumi-datar: sikap kritis kepada otoritas ilmu yang
belum tentu sumber kebenaran.
Sayangnya, sikap kritis itu berhenti di sana, mandek dalam
pikiran yang keras dan tertutup. Kita kehilangan Columbus, kehilangan
keberaniannya menjelajah, meskipun salah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar