Arah
Suku Bunga Acuan
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI
|
KOMPAS, 21 Maret 2017
Akhirnya
bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga acuan (The Fed Fund Rate/FFR)
25 basis poin dari 0,75 persen menjadi 1 persen pada 15 Maret 2017 atau 16
Maret 2017 waktu Indonesia. Bahkan, FFR diprediksi akan naik tiga kali pada
2017. Inilah yang menjadi pusat perhatian mata pasar keuangan global,
termasuk Indonesia. Mengapa? Karena kenaikan FFR bisa memengaruhi suku bunga
acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI 7-Days RR), suku bunga deposito, suku
bunga kredit, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, cadangan devisa, bahkan
modal keluar dari pasar keuangan.
Lantas,
bagaimana arah BI 7-Days RR ke depan?Sidang Dewan Gubernur Bank Sentral AS,
13-14 Desember 2016, telah memutuskan kenaikan FFR 25 basis poin (bps) dari
0,50 persen menjadi 0,75 persen yang bisa memengaruhi tingkat BI 7-Days RR.
Tetapi, BI tetap mempertahankannya pada level 4,75 persen pada Sidang Dewan Gubernur
BI pada medio Desember 2016 serta Januari, Februari, dan Maret 2017.
Pun
BI mempertahankan suku bunga deposit facility 4 persen dan lending facility
5,5 persen. Deposit facility adalah fasilitas simpanan bank di bank sentral.
Sebaliknya, lending facility fasilitas pinjaman dari bank sentral kepada bank
yang perlu tambahan likuiditas harian. Hal itu bertujuan untuk mengantisipasi
berbagai potensi risiko global dan dalam negeri.
Aneka implikasi
Terbuka
kemungkinan BI tak akan mampu terus-menerus mempertahankan suku bunga acuan,
terlebih ketika rencana kenaikan FFR menjadi kenyataan. Saya prediksi FFR
akan mendaki lagi pada kuartal II-2017 dengan syarat indikator ekonomi AS
kian membaik. Sebut saja pertumbuhan ekonomi yang makin subur, tingkat pengangguran
membaik, jumlah pengangguran menurun, dan tawaran lowongan kerja
naik.Berdasarkan pertimbangan itu, kemungkinan besar FFR hanya akan naik dua
kali pada 2017.
Mengapa?
Lantaran inilah tahun orientasi bagi Trump setelah program kerja 100 hari
sebagai pengusaha yang langsung menjadi orang nomor wahid di AS.Dengan bahasa
lebih lugas, ia masih butuh banyak waktu untuk menyesuaikan segala
kebijakannya yang radikal dengan birokrasi, parlemen, dan UU yang
memagarinya. Contoh konkret, larangan imigran masuk ke AS selama tiga bulan
dari tujuh negara (Iran, Irak, Suriah, Yaman, Lebanon, Sudan, dan Somalia)
akhirnya dilawan Mahkamah Agung sehingga tidak bisa jalan. Alhasil, setiap
kenaikan FFR saya prediksi berkisar 25 bps. Sekali lagi, itu sejauh The Fed
menilai indikator ekonomi AS menunjukkan perbaikan cukup signifikan.
Lalu,
apa implikasi kenaikan FFR bagi Indonesia?Pertama, manakala FFR naik terus,
BI 7-Days RR bisa jadi terpaksa naik. Sekalipun FFR diprediksi ”hanya” akan
naik dua kali, tak ada jaminan BI 7-Days RR pun akan naik dua kali atau
bahkan bisa lebih sehingga bisa mencapai kisaran 5-6 persen 2017. Hal itu
juga amat bergantung pada inflasi dan nilai tukar rupiah.Akibatnya, penurunan
suku bunga deposito yang terjadi selama ini akan terhambat. Padahal, selama
ini suku bunga deposito sudah turun cukup tajam 146 bps (1,46 persen) untuk
tenor satu bulan karena biaya dana (cost of fund) sudah turun pula.
Statistik
Perbankan Indonesia yang terbit 16 Februari 2017 menunjukkan suku bunga
rata-rata deposito (rupiah) bank umum turun signifikan secara tahunan dari
7,58 persen per Desember 2015 menjadi 6,45 persen per Desember 2016 untuk
tenor satu bulan. Untuk tenor tiga bulan, suku bunga rata-rata deposito turun
dari 8,15 persen menjadi 6,79 persen dan dari 8,54 persen menjadi 7,08 persen
(enam bulan). Untuk tenor 12 bulan, bunga rata-rata deposito turun dari 8,58
persen menjadi 7,35 persen pada periode sama.
Sebaliknya,
suku bunga rata-rata kredit bank umum turun lebih rendah paling tinggi 110
bps (1,10 persen) untuk kredit modal kerja dan 91 bps (0,91 persen) untuk
kredit investasi. Sementara suku bunga rata-rata kredit untuk kredit konsumsi
hanya 29 bps (0,29 persen).
Perbedaan
penurunan antara suku bunga deposito dan kredit itu mendorong margin bunga
bersih (net interest margin/ NIM) bank umum justru naik 24 bps (0,24 persen)
dari 5,39 persen per Desember 2015 menjadi 5,63 persen per Desember 2016.
Inilah berkah dalam musibah (blessing indisguise), terutama bagi bank
nasional papan atas untuk meraih keuntungan berupa kenaikan margin bunga
bersih dalam ekonomi yang sedang lesu saat ini.Lihat saja, NIM kelompok bank
umum kegiatan usaha (BUKU) 1 dengan modal inti kurang dari Rp 1 triliun naik
dari 6,14 persen per Desember 2015 menjadi 6,30 persen per Desember 2016,
BUKU 2 (modal inti Rp 1 triliun hingga kurang dari Rp 5 triliun) dari 4,74
persen menjadi 5,08 persen. Demikian pula NIM BUKU 3 (modal inti Rp 5 triliun
hingga kurang dari Rp 30 triliun), meningkat dari 4,49 persen menjadi 4,77
persen dan BUKU 4 (modal inti di atas Rp 30 triliun) dari 6,36 persen menjadi
6,50 persen. Ini salah satu sebab bank nasional tetap mampu menggapai laba
tinggi meski dalam kondisi prihatin.
Padahal,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang berupaya keras supaya bank nasional
menurunkan NIM hingga 4-5 persen di tengah rata-rata industri 5,63 persen
saat ini. Untuk itu, OJK menawarkan insentif berupa kemudahan dalam membuka
kantor baru. Ajakan itu bertujuan agar bank nasional mampu bersaing dengan
bank-bank di negara ASEAN dengan NIM 2-4 persen. Namun, dalam kondisi ekonomi
yang kurang bergairah ini, insentif itu kurang menarik, mengingat kini bukan
saatnya untuk menambah kantor, melainkan untuk berbenah diri.
Kedua,
pelan tetapi pasti kenaikan BI 7- Days RR akan mendorong kenaikan bunga
deposito. Sepanjang 2016, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) 9,25 persen,
lebih tinggi daripada pertumbuhan kredit 7,58 persen.Meski DPK mulai naik,
itu simbol likuiditas perbankan nasional masih ketat. Dapat diduga ada
beberapa alasan, yakni deposan kelas kakap, seperti BUMN, dana pensiun, dan
perusahaan asuransi, menarik sebagian dana mereka karena suku bunga deposito
makin tipis. Tambah lagi aturan OJK mewajibkan dana pensiun pemberi kerja dan
perusahaan asuransi jiwa menempatkan minimal 20 persen ke Surat Berharga
Negara (SBN) paling lambat 31 Desember 2016 dan 30 persen pada 31 Desember
2017.
Ketiga,
ketatnya likuiditas itu bisa membuat bunga deposito kembali menebal yang bisa
mendorong terjadinya perang suku bunga deposito. Celakanya, perang itu akan
membuat suku bunga kredit enggan turun, tetapi naik meski pelan namun pasti.
Akibat logisnya, target suku bunga kredit single digit alias di bawah 10
persen yang dicanangkan pemerintah sulit terwujud. Pemerintah berharap suku
bunga kredit yang lebih terjangkau akan menarik sektor riil untuk lebih
banyak menikmati kredit perbankan guna ekspansi usaha sehingga menyuburkan
pertumbuhan ekonomi. Namun, harapan itu belum menjadi kenyataan.
Itu
menunjukkan suku bunga kredit yang terjangkau ternyata bukan satu-satunya
faktor yang menarik bagi sektor riil. Sejatinya, pemerintah sudah meluncurkan
selusin lebih paket kebijakan ekonomi, tetapi sebagian besar belum menyentuh
langsung kebutuhan dasar sektor riil. Selain itu, harus diakui penurunan
gairah ekonomi mendorong produsen mengerem produknya. Gejala itu tersirat
pada kredit kepada nasabah yang belum ditarik (undisbursed loan) yang naik
6,95 persen dari Rp 1.219,52 triliun per Desember 2015 menjadi Rp 1.304,24
triliun per Desember 2016. Bahkan, kredit pada bank lain yang belum ditarik
terbang tinggi 64,28 persen dari Rp 7,53 triliun ke Rp 12,37 triliun.
Keempat,
kenaikan BI 7-Days RR pun dapat mendorong dana panas keluar dari pasar
keuangan. Dengan demikian, posisi BI seolah berada di jalan labirin. Artinya,
sikap mempertahankan, apalagi menurunkan atau menaikkan bunga acuan akan
menjadi sorotan tajam banyak kalangan.
Ketika
kenaikan BI 7-Days RR dinilai ”terlalu kecil” oleh investor asing, hal itu
bisa mengakibatkan dana panas kian kencang terbang kembali ke AS atau mencari
pasar yang menawarkan margin yang lebih gurih. Tengok saja, negara berkembang
lain menawarkan suku bunga acuan yang lebih tinggi, seperti Argentina 24,75
persen, Venezuela 22,48 persen, Mesir 14,75 persen, Nigeria 14 persen, Brasil
13 persen, Kazakhstan 12 persen, Afrika Selatan 7 persen, Banglades 6,75
persen, Vietnam 6,50 persen, dan India 6,25 persen, bandingkan dengan
Indonesia 4,75 persen.
Kelima,
terkurasnya dana asing di pasar keuangan bisa mendorong nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS melemah. Ujungnya, BI harus melakukan intervensi pasar
dengan menggelontorkan dana. Langkah ini akan menekan cadangan devisa yang
kini mencapai 119,86 miliar dollar AS per akhir Februari 2017 menebal dari
116,89 miliar dollar AS per akhir Januari 2017.
Menanti langkah sakti
Oleh
karena itu, bank sentral dituntut memainkan peran penting sebagai pendekar
moneter yang sakti. Dengan bahasa lebih bening, langkah BI harus lebih
strategis dalam menetapkanBI 7-Days RR. Putusan BI dalam mempertahankan,
menurunkan atau menaikkan bunga acuan wajib mempertimbangkan empat mata
angin, yakni aneka implikasidi atas dan kondisi ekonomi dalam negeri. Ingat
pencabutan subsidi listrik golongan 900 VA, kenaikan harga BBM, dan tarif
pengurusan kendaraan bermotor dapat memicu laju inflasi.Pun BI wajib
mempertimbangkan aneka kondisi global yang terus berubah, seperti efek Trump,
langkah antisipatif China terhadap ancaman perdagangan AS yang proteksionis,
dan efek Brexit. Langkah BI yang diharapkan ramah pasar (market friendly) dan
searah dengan langkah pendekar fiskal akan menjadi salah satu pilar dalam
memacu pertumbuhan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar