Hasyim
Muzadi
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 18 Maret 2017
Seorang tokoh terlihat dari bagaimana perhatian masyarakat
kepada orang itu ketika meninggal. Bahkan ketika makamnya dikunjungi banyak
orang setelah berbulan-bulan kemudian. Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, yang meninggal dunia pada Kamis lalu dan
dimakamkan di pesantrennya di Depok, Jawa Barat, tergolong dalam kelompok
ini.
Tak ada yang ragu akan ketokohan beliau. Ribuan pelayat,
dari pejabat negara, politikus, tokoh agama, hingga tentu para santri, hadir
dalam acara pemakamannya. Perhatian negara pun besar, Wakil Presiden Jusuf
Kalla memimpin upacara di liang lahad dan Presiden Joko Widodo sempat
mengunjungi Hasyim Muzadi beberapa hari sebelum wafat di Malang.
Kematian memanglah misteri, tak ada seorang pun yang tahu
kapan datangnya. Ini hak prerogatif Yang Maha Kuasa, Tuhan Semesta Alam. Kita
semua akan menempuh jalan yang sama, kita menunggu sesuatu yang sudah amat
pasti, kematian. Hidup panjang, bahkan "aku mau hidup seribu tahun
lagi" sebagaimana yang ditulis penyair Chairil Anwar, hanyalah
angan-angan. Chairil sendiri justru meninggal di usia muda, jauh lebih muda
dari Hasyim Muzadi yang pada usia 72 tahun.
Waktu yang dipilih Hasyim Muzadi meninggalkan dunia ini
bersamaan dengan keprihatinan kita akan hiruk-pikuk masalah politik yang
membawa-bawa agama. Pilkada DKI Jakarta jadi ladang subur bagaimana agama
dibawa masuk ke ranah politik, bukan dalam fungsinya sebagai sesuatu yang
menenteramkan, melainkan yang mencemaskan.
Memang kehebohan yang sudah melecehkan kejernihan cara
pandang kita ini hanya terjadi di sebuah provinsi dari 33 provinsi yang ada.
Tapi Jakarta adalah pusat segala informasi. Dari sini, tayangan televisi dan
media massa mengaduk-aduk provinsi lainnya, yang membuat seluruh negeri
terjangkit wabah kehebohan. Apalagi tokoh-tokoh nasional terlibat di pusaran
itu, bahkan tokoh daerah pun ditarik pula untuk meramaikan ketidakjernihan
ini.
Hasyim Muzadi, seorang ulama yang lurus, seorang pendidik
yang memiliki pesantren di dua kota-Depok dan Malang-barangkali termasuk yang
prihatin akan kebablasannya cara berdemokrasi di Jakarta yang riuh ini.
Bukankah Hasyim Muzadi sampai akhir hayatnya adalah anggota Dewan
Pertimbangan Presiden? Karena kesehatannya yang menurun, barangkali
pertimbangan apa yang hendak disampaikan ulama ini kepada presiden belum
pernah ada, terutama dalam kaitan dengan pilkada DKI Jakarta. Kita juga tidak
tahu pertimbangan apa yang disampaikan anggota Dewan Pertimbangan Presiden
yang masih sehat bugar. Lembaga ini tampaknya bekerja dengan sunyi, syukur
kalau memang sudah bekerja dengan baik.
Hasyim Muzadi justru memberikan pesan penting dengan
memilih waktu untuk menghadap Sang Khalik. Yakni yang dibutuhkan negeri ini
adalah kerukunan, silaturahmi, saling bertegur sapa, bersalaman di antara para
tokoh bangsa. Lihatlah suasana di Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok, sejumlah
tokoh yang terkesan selama ini berseberangan hadir bersama. Ada calon
Gubernur DKI, ada politikus dari kedua pendukung pasangan calon, ada pimpinan
ormas Islam yang selama ini dikenal dengan kekhususan karakter, tak terhitung
orang-orang yang mungkin punya keberpihakan buta kepada masing-masing
pasangan calon. Juga orang-orang yang prihatin atas situasi politik di
Jakarta namun tak bisa berbuat apa-apa.
Jika begitu halnya, Hasyim Muzadi tak hanya di masa
hidupnya memberi teladan bagaimana kita harus hidup rukun. Di ujung usianya
pun, beliau juga tetap ingin merukunkan umat. Selamat jalan, Kiyai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar