Minggu, 19 Maret 2017

Hasyim Muzadi

Hasyim Muzadi
Putu Setia  ;   Pengarang;  Wartawan Senior Tempo
                                                     TEMPO.CO, 18 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seorang tokoh terlihat dari bagaimana perhatian masyarakat kepada orang itu ketika meninggal. Bahkan ketika makamnya dikunjungi banyak orang setelah berbulan-bulan kemudian. Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, yang meninggal dunia pada Kamis lalu dan dimakamkan di pesantrennya di Depok, Jawa Barat, tergolong dalam kelompok ini.

Tak ada yang ragu akan ketokohan beliau. Ribuan pelayat, dari pejabat negara, politikus, tokoh agama, hingga tentu para santri, hadir dalam acara pemakamannya. Perhatian negara pun besar, Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin upacara di liang lahad dan Presiden Joko Widodo sempat mengunjungi Hasyim Muzadi beberapa hari sebelum wafat di Malang.
Kematian memanglah misteri, tak ada seorang pun yang tahu kapan datangnya. Ini hak prerogatif Yang Maha Kuasa, Tuhan Semesta Alam. Kita semua akan menempuh jalan yang sama, kita menunggu sesuatu yang sudah amat pasti, kematian. Hidup panjang, bahkan "aku mau hidup seribu tahun lagi" sebagaimana yang ditulis penyair Chairil Anwar, hanyalah angan-angan. Chairil sendiri justru meninggal di usia muda, jauh lebih muda dari Hasyim Muzadi yang pada usia 72 tahun.

Waktu yang dipilih Hasyim Muzadi meninggalkan dunia ini bersamaan dengan keprihatinan kita akan hiruk-pikuk masalah politik yang membawa-bawa agama. Pilkada DKI Jakarta jadi ladang subur bagaimana agama dibawa masuk ke ranah politik, bukan dalam fungsinya sebagai sesuatu yang menenteramkan, melainkan yang mencemaskan.

Memang kehebohan yang sudah melecehkan kejernihan cara pandang kita ini hanya terjadi di sebuah provinsi dari 33 provinsi yang ada. Tapi Jakarta adalah pusat segala informasi. Dari sini, tayangan televisi dan media massa mengaduk-aduk provinsi lainnya, yang membuat seluruh negeri terjangkit wabah kehebohan. Apalagi tokoh-tokoh nasional terlibat di pusaran itu, bahkan tokoh daerah pun ditarik pula untuk meramaikan ketidakjernihan ini.

Hasyim Muzadi, seorang ulama yang lurus, seorang pendidik yang memiliki pesantren di dua kota-Depok dan Malang-barangkali termasuk yang prihatin akan kebablasannya cara berdemokrasi di Jakarta yang riuh ini. Bukankah Hasyim Muzadi sampai akhir hayatnya adalah anggota Dewan Pertimbangan Presiden? Karena kesehatannya yang menurun, barangkali pertimbangan apa yang hendak disampaikan ulama ini kepada presiden belum pernah ada, terutama dalam kaitan dengan pilkada DKI Jakarta. Kita juga tidak tahu pertimbangan apa yang disampaikan anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang masih sehat bugar. Lembaga ini tampaknya bekerja dengan sunyi, syukur kalau memang sudah bekerja dengan baik.

Hasyim Muzadi justru memberikan pesan penting dengan memilih waktu untuk menghadap Sang Khalik. Yakni yang dibutuhkan negeri ini adalah kerukunan, silaturahmi, saling bertegur sapa, bersalaman di antara para tokoh bangsa. Lihatlah suasana di Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok, sejumlah tokoh yang terkesan selama ini berseberangan hadir bersama. Ada calon Gubernur DKI, ada politikus dari kedua pendukung pasangan calon, ada pimpinan ormas Islam yang selama ini dikenal dengan kekhususan karakter, tak terhitung orang-orang yang mungkin punya keberpihakan buta kepada masing-masing pasangan calon. Juga orang-orang yang prihatin atas situasi politik di Jakarta namun tak bisa berbuat apa-apa.

Jika begitu halnya, Hasyim Muzadi tak hanya di masa hidupnya memberi teladan bagaimana kita harus hidup rukun. Di ujung usianya pun, beliau juga tetap ingin merukunkan umat. Selamat jalan, Kiyai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar