Mendaki
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 19 Maret 2017
Sekitar tiga minggu yang lalu, saya bersama seluruh
karyawan kantor berwisata ke Gunung Bromo. Setelah menikmati indahnya bukit
kehijauan dan gurun pasir kehitaman, tibalah waktunya mendaki ke kawah Gunung
Bromo yang buat saya lumayan tinggi.
Singkat cerita, dari 23 manusia yang awalnya bercita-cita
ingin menaklukkan gunung, 12 menyerah sebelum perang. Tentu, saya termasuk
yang menyerah dan memilih leyeh-leyeh di sebuah warung kecil.
Malas bayar
Saya menyerah bukan karena keder melihat gunung yang
tinggi dan tangga yang berjumlah 250 unit itu. Bukan juga karena saya tidak
kuat karena suka terengah- engah kalau menaiki tangga, tetapi lebih karena
rasa malas yang tiba-tiba muncul. Masalah malas inilah yang saya ingin
ceritakan kepada Anda sekalian.
Mengapa rasa malas itu tiba-tiba muncul? Karena teriknya
matahari meski angin dingin bertiup cukup kencang, karena dari kejauhan,
gunung ini terlihat begitu tinggi meski teman-teman yang pernah mendakinya
mengatakan tinggi tetapi pemandangannya luar biasa. Bahkan, ada yang
mengatakan, kalau jarak tangganya pendek dan saya bisa beristirahat kalau
kelelahan.
Hal kedua yang membuat malas, gara-gara salah satu rekan
mengusulkan melihat dulu seperti apa keindahan kawah Gunung Bromo itu. Maka
kami mencari gambar-gambar di internet melalui telepon genggam. Setelah
melihat gambar-gambar itu, rasa malas saya malah menjadi-jadi dan kalimat
seperti ini yang keluar sebagai reaksi dari melihat foto-foto itu. "Oh.
gakusa kali, ya?"
Maka, siapakah yang bisa melawan rasa malas kalau ia
muncul tiba-tiba, bukan? Maka, saya bersama 12 manusia lainnya memilih
bersenda gurau di sebuah warung kecil bersama ibu pemilik warung. Setelah
itu, kami kembali ke tempat penginapan dan kemudian makan siang karena perut
sudah mulai bernyanyi.
Buat mereka yang mendaki dan berhasil melihat kawah Gunung
Bromo itu, ceritanya berbeda dengan gambar yang saya lihat sebelumnya.
"Bagus banget, Mas." Ada rasa sesal yang
menyelinap di dalam hati. Bukan menyesal karena tak dapat menikmati keindahan
alam dari ketinggian itu, tetapi menyesal tak kuasa melawan rasa malas yang
sangat.
Harus bayar
Sejujurnya, saya adalah orang yang pada awalnya mengajak
untuk berwisata ke gunung. Alhasil, yang mengajak yang menyerah. Saya
bertujuan menguji kegigihan setiap tim, ternyata sebagai pimpinan saya yang
diuji bukan melalui pendakian, melainkan melalui rasa malas hanya melihat
gambar dan teriknya matahari yang menyengat.
Dalam hidup, saya ini acapkali berdoa agar Tuhan
mengaruniakan saya kesuksesan supaya bisa memiliki usaha seperti
perusahaan-perusahaan raksasa. Saya ingin seperti mereka. Namun, setelah
dipikir-pikir, saya ini hanya keseringan punya keinginan, tetapi keseringan
ambruk di tengah jalan hanya karena persoalan-persoalan yang membuat rasa
malas timbul.
Saya ini cuma keseringan berdoa dan keseringan memelihara
rasa malas pada waktu yang bersamaan. Saya sendiri suka bingung dan sering
bertanya kalau melihat perusahaan-perusahaan yang begitu raksasanya, apakah
para konglomerat atau pemiliknya itu tak pernah memiliki rasa malas. Kalaupun
mereka punya rasa itu, bagaimana cara mengatasinya?
Mendaki ke puncak sudah saya ketahui bahwa ada harga yang
harus dibayar. Contoh sederhana saja, saya harus bangun tengah malam untuk
pergi ke tempat pendakian hanya untuk melihat matahari terbit yang
menyuguhkan pemandangan yang luar biasa.
Saya harus terkantuk-kantuk memakai baju dan berangkat,
belum lagi diselimuti udara dingin yang betul menusuk tulang. Meski
mendakinya sama sekali tidak terlalu tinggi, saya pun sudah tersengal-sengal.
Saya harus mengakui bahwa bangun tengah malam, kedinginan,
dan terengah-engah itu memberikan pengalaman yang mengesalkan meski saya tahu
selalu ada hasil dari sebuah pegorbanan apa pun bentuknya itu.
Kalau saja saya memilih tidak bangun tengah malam, dan
memilih tidur nyenyak di ranjang empuk, saya tak akan mampu menikmati
indahnya Gunung Semeru, hijaunya savana, saya tak akan mampu membagi
kebahagiaan dan keindahan itu kepada banyak orang melalui akun media sosial
saya.
Sekarang saya sadari bahwa rasa malas itu timbul karena
saya malas membayar harga dari sebuah pendakian, dari sebuah kesuksesan yang
ingin saya capai. Saya malas berjalan di bawah terik matahari, saya malas
membayar harga atas doa-doa yang saya panjatkan agar bejana-bejana saya diisi
dengan berlimpah oleh Tuhan Yang Maha Segalanya.
"Ya enggak papa sih bro kalau elo malas. Cuma doa elo
itu mesti diganti. Gak usa lagi minta mau sukses, mau kaya raya, mau
berhasil. Mending sekarangelo berdoa minta kemurahan Tuhan untuk diberi
pencerahan agar elo bisa melihat kalau tempat tidur memang enak, tetapi
disengat matahari dan kedinginan itu juga tak kalah nikmatnya. Malu kali minta
sukses, tapi bayar harganya di tempat tidur." Begitu kata nurani saya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar