Korupsi
Politik dalam Proyek E-KTP
Laode Ida ; Komisioner Ombudsman RI; Wakil Ketua DPD 2004–2014
|
JAWA
POS, 18
Maret 2017
Korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)
yang dalam hitungan KPK diperkirakan merugikan negara Rp 2,3 triliun
merupakan bukti nyata kejahatan penyelenggara negara yang sangat serius.
Betapa tidak. Jika merujuk isi surat dakwaan jaksa KPK tersebut, bisa
dikatakan telah terjadi perampokan uang negara yang dilakukan secara
terencana. Selain itu, ada kolaborasi eksekutif dan legislatif yang ditopang
jaringan pebisnis sebagai klien para oknum politisi dan pejabat pemerintah.
Dakwaan jaksa terhadap terdakwa Irman (mantan Dirjen
Dukcapil Kemendagri) dan Sugiharto (mantan direktur pengelola informasi
administrasi kependudukan Ditjen Dukcapil) –yang dibacakan pada sidang di
Pengadilan Tipikor Jakarta Kamis pekan lalu (9/3)– menggambarkan juga bahwa
kejahatan tersebut dimulai dari kesepakatan elitis yang hanya melibatkan
segelintir pejabat parpol, boleh disebut sebagai mastermind kejahatan. Yang
kemudian didiktekan atau dikoordinasikan dengan pihak pengambil kebijakan
terkait di Kemendagri untuk selanjutnya dijadikan agenda bersama antara
pemerintah dan DPR.
Pertanyaannya, mengapa begitu mulusnya meloloskan rencana
kejahatan perampasan uang negara itu? Terhadap pertanyaan tersebut, tentu tak
terlalu sulit menjelaskannya.
Pertama, parlemen sangat mudah dilakukan karena
koordinasinya cukup melibatkan pimpinan fraksi, pimpinan badan anggaran
(banggar), dan pimpinan komisi (II). Jika sudah pimpinan fraksi yang
menginstruksikan suatu rencana proyek berikut anggarannya, bisa dipastikan
tak akan ada pembangkangan dari para anggota DPR lainnya. Sebab, pimpinan
fraksi adalah perpanjangan tangan parpol asal para anggota DPR, pemegang
otoritas tertinggi yang mengendalikan setiap langkah kebijakan yang akan
diambil di parlemen. Dan akan selalu terancam posisi seorang anggota DPR jika
mencoba tidak setuju atau berlawanan dengan arahan pimpinan parpol (fraksi).
Kedua, pihak pemerintah, yakni pejabat yang terkait
(pejabat Kemendagri yang terdakwa) tentu tidak bisa mengelak kalau suatu
proyek sudah ditopang kekuatan besar di parlemen. Apalagi yang mengomando
adalah parpol dari pihak pemerintah (yang sedang berkuasa), bagian tak terpisahkan
dari pimpinan tertinggi eksekutif. Itu belum termasuk jika pimpinan langsung
para pejabat itu, yakni menteri, turut memerintahkan untuk manut saja pada
proyek yang digagaskan para politikus dan petinggi parpol tersebut. Tugas
para pejabat seperti Irman dan Sugiharto itu hanyalah bagaimana
mengoordinasikan teknis proyek berikut anggarannya. Termasuk di dalamnya
mengalkulasi atau menskenariokan agar semua yang diinginkan politisi dan atau
pimpinan mereka bisa direalisasikan.
Ketiga, para anggota parlemen yang diarahkan untuk
menyukseskan rencana proyek untuk membungkus atau melegitimasi kejahatan,
termasuk di dalamnya para pejabat di jajaran eksekutif yang secara teknis
mengoperasikan administrasinya, tentu akan sangat bergairah karena ada
iming-iming memperoleh materi. Bagi para politikus di Senayan, justru agenda
seperti itu yang boleh jadi sangat diharapkan.
Dalam konteks itulah, jika mengacu hasil penyelidikan dan
penyidikan JPU KPK, dapat dipahami jika menempatkan tiga figur penting (Setya
Novanto, Anas Urbaningrum, dan M. Nazaruddin) dari dua parpol (Golkar dan
Demokrat) yang lebih diposisikan sebagai mastermind termasuk terkait dengan
rencana penggunaan anggaran proyek e-KTP itu. Dapat dibayangkan begitu akan
kuatnya pengaruh dari berpadunya elite dari dua parpol besar yang sedang
berkuasa pada saat itu.
Namun, apa yang luput dipikirkan, baik oleh para politikus
maupun pejabat eksekutif itu, adalah agenda kejahatan dalam sebuah proyek
besar yang melibatkan banyak orang (korupsi berjamaah) berpeluang besar untuk
selalu bocor atau terungkap keluar. Sebab, kecuali akan ada saja pihak yang
kecewa dan lalu membocorkan dokumen rencana serta transaksi yang semua
dirahasiakan, mata publik juga niscaya akan selalu memelototinya. Jika pihak
kepolisian dan kejaksaan (sebagai bagian dari instrumen pemerintah untuk
pemberantasan korupsi) bisa ”diamankan”, berbeda halnya dengan KPK yang
secara relatif terus konsisten menjalankan tugasnya.
M. Nazaruddin (mantan bendahara umum Partai Demokrat) yang
sudah jadi terpidana dan atau klien KPK –KPK pun tampaknya menjadikan dia
justice collaborator dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani– tampaknya
merasa tidak adil jika hanya dirinya dan beberapa politikus serta pejabat
eksekutif yang menjadi penghuni hotel predeo. Ini tentu terkait dengan
dimensi keadilan dalam pemberantasan korupsi berjamaah di Indonesia.
Pertanyaan yang masih mengganjal sekarang, mengapa
kasus-kasus korupsi yang dirancang sejak awal melalui peran parlemen di
Senayan terus saja berulang? Pertanyaan itu sejatinya menjadi bagian dari
yang mestinya dijadikan dasar untuk mengevaluasi sistem dan kebijakan
penetapan APBN/APBD.
Pertama, para politikus di DPR tampaknya tidak memainkan
fungsi kontrol dalam proses-proses penyusunan anggaran negara. Sebaliknya,
barangkali, lebih memanfaatkan proses-proses penganggaran itu sebagai
kesempatan untuk memperoleh bagian, baik demi kepentingan memperkaya diri
maupun bagi sumbangsih materinya ke parpol asalnya. Lebih parah lagi, desain
parlemen kita tidak memberikan ruang bagi kekuatan oposisi yang bisa secara
efektif melakukan pengawasan melekat.
Kedua, setiap pembahasan dan penetapan (apalagi lobi-lobi
anggaran) antara pemerintah dan pihak DPR tidak pernah melibatkan pihak
ketiga sebagai pengawas eksternal, utamanya dari kalangan LSM. Kecenderungan
seperti itu barangkali bagian dari by design dari kedua pihak penyusun dan
penentu anggaran tersebut agar tidak direcoki dalam membuat berbagai
kesepakatan, termasuk permufakatan jahat seperti yang terjadi dalam megaskandal
proyek e-KTP itu.
Tentu saja yang dimaksud di sini bukan sekadar pelibatan
masyarakat sebagai performa, tapi lebih pada substansinya. Yakni menjadikan
masyarakat terlibat dalam mengkritisi dan sekaligus memberikan masukan
terhadap setiap program atau proyek berikut anggarannya. Serta juga melakukan
pemantauan langsung terhadap kemungkinan perilaku korup para pihak yang
terlibat dalam proses-proses pembahasan itu. Dan, ini yang harus dicatat,
keterlibatan publik sebenarnya merupakan bagian dari prinsip demokrasi dan
transparansi dalam proses-proses penganggaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar