Ketimpangan
Perekonomian
Anton Hendranata ; Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia
Tbk
|
KOMPAS, 22 Maret 2017
Akhir-akhir
ini, isu ketimpangan perekonomian nasional kembali menghangat. Ini sebenarnya
lagu lama dengan topik yang timbul tenggelam.
Ketimpangan
dan ketidakadilan adalah hal yang sangat serius, mengingat beragamnya etnis,
agama, dan suku. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan
bagi semua pihak dan lapisan masyarakat.
Menurut
Amy Chua dalam bukunya World on Fire, pasar bebas dalam demokrasi yang
didominasi kelompok yang sedikit dapat berujung pada perpecahan. Oleh karena
itu, masalah ketimpangan dalam perekonomian sangatlah krusial dan perlu
ditangani segera oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan.
Terjadi di semua negara
Masalah
ketimpangan ekonomi ini ternyata bukan hanya terjadi di negara miskin dan
berkembang, melainkan juga negara maju yang berkecukupan dan lebih manusiawi.
Kita pikir, urusan perut hanyalah milik negara miskin ternyata dirasakan juga
oleh rakyat negara maju, terutama dalam hal kesempatan kerja.
Tilik
saja mengapa Presiden Donald J Trump terpilih menjadi Presiden Amerika
Serikat ke-45. Tidak lain adalah karena masalah ketimpangan ekonomi yang
berhasil dikemas dengan jitu dan "seksi" oleh Trump.
Slogan
"Beli Produk Amerika (Buy American)" dan "Pekerjakan Orang
Amerika (Hire American)" secara implisit menyatakan adanya ketimpangan
perekonomian di Amerika Serikat. Si kaya semakin kaya, sementara penduduk
miskin terperangkap dalam kemiskinan dan sulit bangkit karena energinya habis
untuk meratapi kemiskinannya.
Menurut
OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development),
ketimpangan di Amerika Serikat meningkat, terutama setelah krisis ekonomi dan
moneter global 2008. Ini sangat jelas ditunjukkan oleh angka koefisien gini
yang meningkat dari 0,374 pada 2007 menjadi 0,394 pada 2014.
Dunia
memang begitu ironis dan kontras. Ketika dunia lagi berbenah dan disibukkan
oleh pemulihan perekonomian global yang terasa amat lambat, yang terjadi
justru ketimpangan ekonomi yang makin melebar.
Mungkin
saya agak naif, ketimpangan perekonomian yang meningkat di dunia ada
kaitannya dengan kebijakan QE (quantitative easing atau pelonggaran
kuantitatif) oleh Amerika Serikat yang juga dilakukan Jepang dan Uni Eropa.
Bisa jadi, dugaan ini masih sangat prematur dan harus dibuktikan dengan
penelitian yang lebih dalam dan komprehensif. Meski demikian, kita perlu
mencermati secara hati-hati apa arti QE sesungguhnya?
QE
adalah kebijakan moneter nonkonvensional, di mana bank sentral membeli aset
keuangan dari bank komersial dan institusi swasta lainnya dengan harapan
meningkatkan uang beredar di perekonomian. Sangat jelas di sini, suntikan
dana yang dilakukan oleh bank sentral, tahap pertama melalui sektor
finansial, baru kemudian berlanjut menjadi stimulus ke sektor riil.
Kurang efektif
Pertanyaannya,
apakah setelah dari sektor finansial, transmisi berjalan lancar dan efektif
ke sektor riil? Ternyata QE kurang efektif mendorong pemulihan di sektor
riil, buktinya sangat jelas terhadap perekonomian Amerika Serikat.
Perekonomian
Amerika Serikat, setelah krisis ekonomi dan moneter global, sepanjang
2010-2016 rata-rata relatif sangat lambat pertumbuhannya. Hanya 2,1 persen,
jauh di bawah sektor finansial. Indeks harga saham Amerika Serikat (DJI) pada
periode yang sama rata-rata kenaikannya 10,7 persen. Dengan kata lain,
pertumbuhan DJI meningkat sangat cepat, yaitu lima kali lipat dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonominya.
Dengan
demikian, wajar jika Janet Yellen sebagai bos bank sentral Amerika Serikat
(The Fed) dalam pidatonya tahun 2014 mengangkat masalah sosial tentang jurang
yang makin lebar antara si kaya dan miskin saat pasar saham global mengalami
kenaikan signifikan.
Indeks
harga saham di Amerika Serikat melonjak 15,8 persen pada 2013, naik lagi 11,8
persen pada 2014. Perekonomian AS 2013 dan 2014 hanya tumbuh 1,7 persen dan
2,4 persen.
Tampaknya
dunia mulai terperangkap dalam ketimpangan perekonomian dan ini cukup
mengkhawatirkan jika terus berlanjut, termasuk Indonesia. Selama 71 tahun
Indonesia merdeka, ada kecenderungan keadilan sosial makin jauh dari
terwujud. Sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
terasa semakin jauh karena justru kesenjangan yang makin menghiasi
perekonomian domestik.
Kemiskinan menurun
Selama
periode 2007-2016, tingkat kemiskinan sebenarnya menurun cukup signifikan ke
10,7 persen pada 2016, dari 16,6 persen pada 2007. Begitu juga tingkat
pengangguran, turun dari 9,11 persen pada 2007 menjadi 5,61 persen pada 2016.
Sayangnya,
catatan positif dari kedua indikator ini tidak diikuti dengan perbaikan
tingkat pemerataan. Angka koefisien gini malahan naik dari 0,360 persen pada
2007 menjadi 0,394 persen pada 2016 walaupun sudah mulai ada tanda-tanda
penurunan koefisien gini sejak tiga tahun terakhir.
Mengapa
hal ini bisa terjadi? Mari kita bedah apa yang menjadi sumber ketimpangan
dalam perekonomian Indonesia. Secara ekonomi, paling tidak ada tiga
kemungkinan penyebab makin melebarnya ketimpangan di perekonomian nasional.
Pertama,
peranan sektor pertanian makin tergerus, padahal sektor ini yang paling
banyak menyerap tenaga kerja. Peranan PDB sektor pertanian turun dari 14,9
persen pada 2007 menjadi 12,8 persen pada 2016. Akibatnya, penyerapan tenaga
kerja sektor ini turun drastis menjadi 32 persen pada 2016 dari 41 persen
pada 2007.
Kedua,
upah sektor pertanian jauh di bawah sektor lainnya dan sangat tidak menarik.
Secara rata-rata selama periode 2007-2016 upah sektor pertanian hanya separuh
rata-rata upah nasional. Jadi, sangat jelas terlihat ada kesenjangan upah
yang terlalu tinggi antara sektor pertanian dan sektor lainnya. Bandingkan
dengan sektor finansial yang rata-rata penyerapan tenaga kerjanya sangat
rendah sekitar 2,2 persen. Ternyata upah sektor finansial sekitar tiga kali
lipat dari upah tenaga kerja di sektor pertanian.
Terakhir,
perkembangan harga saham melonjak tajam setelah krisis ekonomi global 2008.
Periode 2010-2014, harga saham tumbuh di kisaran 2 digit, kenaikan tertinggi
tahun 2010 sekitar 54 persen. Secara rata-rata harga saham naik sekitar 13
persen sepanjang 2010-2016.
Keuntungan
di pasar saham, tentunya yang menikmati adalah kalangan level atas, sehingga
yang kaya makin kaya, berbeda dengan si miskin yang kenaikan pendapatannya
sangat lambat. Kenaikan harga saham ini tidak lain karena derasnya arus modal
asing melalui investasi portofolio (saham dan obligasi) jangka pendek, jauh
melebihi investasi langsung jangka panjang (foreign direct investment).
Dengan
kondisi tersebut, bukan perkara mudah untuk memperbaiki ketimpangan yang ada.
Saya kira, pemerintah sudah melek akan masalah ini, bagaimana keadilan
(equity) harus ditegakkan. Keberpihakan pemerintah sangat dibutuhkan agar
masyarakat memperoleh yang dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas hidupnya,
bukan hanya sekadar kesamaan perlakuan (equality) antara si kaya dan miskin.
Miskin tertinggal
Faktanya
adalah orang yang lemah/miskin tidak memiliki aset (teknologi, pembiayaan,
sarana/prasarana), kemampuan terbatas, dan sering mengalami diskriminasi.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemihakan dari pemerintah, antara lain
bisa melalui redistribusi dan hibah aset, subsidi, dan fasilitasi.
Saya
kira pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Perekonomian sudah sangat
fasih memetakan persoalan ini yang menjadi akar utama ketimpangan. Kini, tiba
saatnya memperbaiki wajah ketimpangan ekonomi Indonesia, jangan biarkan
konflik sosial meletup dahsyat tidak terduga. Filsuf Jerman, Friedrich
Engels, mengatakan, "Satu ons aksi lebih berharga daripada satu ton
teori". Ini yang diperlukan rakyat miskin dari pemerintahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar