Burung
Tiru
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 27 Maret 2017
Ini
kisah di sebuah kota yang panas dan lamban, yang penghuninya tak datang tak
pergi, yang hampir semuanya berkulit putih, hampir semuanya miskin dan
cemberut, tapi pada suatu hari jadi satu suara yang menuding: Dia bersalah!
Negro itu bersalah! Dia pemerkosa!
Dan
hanya ada seorang duda dengan dua anak, seorang advokat, yang dengan tenang
dan sopan berani membela Negro itu. Atticus Finch. Dan ia gagal.
Ceritanya
muram dalam To Kill a mockingbird. Tapi tak muram sepenuhnya. Harapan masuk
dan keluar seperti tak sengaja. Novel satu-satunya Harper Lee tentang
kehidupan kota fiktif Maycomb di daerah selatan Amerika pada tahun 1930-an
ini mungkin novel religius yang tak berbicara tentang agama dan mengutip
Tuhan. Novel itu terbit pada 1960, kini karya klasik di sastra Amerika, tapi
ia bisa menyentuh siapa saja. Ia menyajikan antithesis sederhana kepada
purbasangka dan kesewenang-wenangan--yang rasanya perlu dibaca (kembali) di
Jakarta hari-hari ini.
Harper
Lee mendeskripsikan rasialisme seakan-akan bagian hidup yang normal Kota
Maycomb. Yang berkisah dalam cerita ini Scout, anak Atticus yang perempuan,
yang ibunya meninggal ketika ia berumur dua tahun. Ia tak merasa ayahnya
seorang lelaki yang membanggakan: Atticus lebih tua ketimbang ayah-ayah lain
dan ia tak pernah pergi berburu seperti bapak-bapak lain. Hanya kemudian,
berangsur-angsur, gadis kecil itu tahu lebih banyak: masyarakat tempat
keluarganya hidup, retakan sosial, perbedaan kelas, amarah dan hipokrisi yang
tersembunyi di dalamnya--dan sikap Atticus di tengah itu.
Rumah
keluarga Finch di pinggir kota. Suatu hari Scout dan Jem menguntit ayah
mereka ke pusat, dan melihat Atticus duduk di depan penjara: ia di sana untuk
jadi penasihat hukum Tom Robinson.
Tom
orang hitam. Artinya ia penghuni kota yang di luar hitungan. Laki-laki itu
dituduh memerkosa seorang perempuan muda kulit putih dan Kota Maycomb
meyakini itu. Tapi Atticus tak membiarkan keyakinan itu jadi
kesewenang-wenangan. Bersedia membela si Negro, ia dimusuhi orang ramai.
Bahkan Scout dan kakaknya, Jem, ikut diejek teman-teman mereka: Ayah kalian
"si doyan-negro", nigger-lover.
"Ayah
bukan bener-bener doyan-negro, kan?"
"Kamu
salah; Ayah memang doyan-negro. Ayah berusaha sebaik-baiknya menyukai tiap
orang. Ayah degil, kadang-kadang--tapi, Neng, jangan merasa sakit hati jika
kita dipanggil dengan sebutan yang dianggap hinaan. Itu cuma menunjukkan
orang yang memanggilmu perlu dikasihani; kamu sendiri tak dilukai."
Dengan
kalem, Atticus adalah perlawanan. Ia keberanian.
Ia
memberi contoh kepada anak-anaknya bahwa keberanian berarti mengatasi
kebencian yang dilontarkan orang kepada kita dan memahami apa yang salah
dengan orang itu: Nyonya Dubose, tetangga mereka, bersikap jahat kepadanya,
tapi tiap hari Atticus memberinya hormat dan berbicara baik-baik
kepadanya--yang ternyata sedang menanggungkan sakit. "Pada saat seperti
itu," tutur Scout, "aku pikir Ayah, yang benci senjata dan tak
pernah ikut berperang, adalah laki-laki paling berani di dunia."
Keberanian
adalah menghadapi cercaan dengan kepala tegak tapi tinju diturunkan.
"Coba sesekali berkelahi dengan memakai isi kepalamu," nasihat
Atticus. Keberanian adalah menghormati pendapat orang lain seraya
mengedepankan prinsip: "Satu hal yang tak mengikuti aturan mayoritas
adalah hati nurani."
Dengan
itu semua Atticus bersedia mendampingi Tom Robinson di depan hakim ketika
mayoritas Kota Maycomb sudah memvonis orang yang sebenarnya tak melakukan
apa-apa itu.
Tapi
Atticus gagal. Bersama suara gemuruh di luar pengadilan, para juri menyatakan
Tom bersalah. Tak hanya itu. Sebelum ia dibawa ke penjara tempat ia akan
menjalani hukuman mati, Negro itu dibunuh ramai-ramai.
Dosa,
kata Atticus kepada anak-anaknya, jika kita membunuh burung tiru,
mockingbird. Burung itu, Mimus polyglottos, tak merusak apa-apa; ia hanya
bersuara menirukan burung-burung lain di pohon-pohon di luar. Ia tak akan
berdaya menghadapi sesuatu yang lebih kuat: bedil. Tom Robinson, orang yang
di luar itu, yang "bukan-kita" itu, juga tak akan bisa melawan
suara gemuruh yang menudingnya.
Dosa.
Itu, kata Scout, satu-satunya saat Atticus menyebut kata "dosa"
tentang sebuah perbuatan. Dan kita pun tahu sesuatu yang religius dalam diri
orang ini, yang berbeda dengan penduduk kota umumnya: ia hanya merasa pantas
bersembahyang di depan Tuhan jika ia berusaha membela Tom yang dizalimi. I
couldn't go to church and worship God if I did not try to help that man.
Atticus
pun jadi bagian dari harapan di tengah putus asa. Tanpa berkhotbah. Tanpa
didengarkan orang-orang yang mengukuhkan iman mereka dengan membenci. Kata
Miss Maudie: "Kadang-kadang kitab Suci di tangan seseorang lebih buruk
ketimbang sebotol wiski di tangan orang lain." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar