Benteng
Terakhir Kejujuran
Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan ;
Pengajar di Universitas
Multimedia Nusantara, Serpong
|
KOMPAS, 24 Maret 2017
Ketidakjujuran
telah menghancurkan sendi-sendi pembelajaran otentik yang menjadi fondasi
pendidikan. Apabila perhelatan ujian akhir sekolah berstandar nasional pun sudah
dikotori dengan maraknya ketidakjujuran dan kebocoran soal ujian, kebijakan
apa pun tentang evaluasi pendidikan pasti akan berakhir sia-sia. Di mana
benteng terakhir kejujuran bisa kita harapkan?
Ujian
akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) merupakan kebijakan Mendikbud
Muhadjir Effendy untuk meningkatkan kualitas ujian akhir sekolah (UAS).
Kebijakan UASBN muncul di tengah polemik moratorium ujian nasional (UN). UN
dimoratorium atau tidak, UASBN akan jalan terus, begitu ujar Mendikbud pada
kesempatan audiensi dengan para praktisi dan pemerhati pendidikan yang
prihatin tentang kebijakan UN.
”Kita
perlu mengembalikan kepercayaan penilaian pendidikan kepada guru,” ujarnya.
”Kalau dengan UASBN guru juga tidak bisa dipercaya, kita tidak tahu lagi di
mana harus memercayakan kualitas pendidikan kita.”
UASBN
merupakan terobosan untuk meningkatkan kualitas UAS yang selama ini
angka-angkanya penuh inflasi dan kental dengan ketidakjujuran. Fakta ini bisa
dilihat dengan gamblang dari tingginya rerata nilai rapor peserta didik
dibandingkan dengan hasil UN. Dengan memercayakan pembuatan soal pada
Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajar (MGMP) di tingkat
kabupaten/kota, Mendikbud berharap UAS lebih obyektif dan berkualitas.
Soal-soal
UAS yang biasanya dibuat para guru di setiap sekolah sekarang dibuat
bersama-sama dalam satu kolegialitas KKG/MGMP dengan harapan standar
pendidikan di kabupaten/kota bisa dipetakan dan ditingkatkan. Agar secara
nasional kualitas UAS bisa diperbandingkan, pemerintah pusat menitipkan 25
persen soal jangkar (anchor items) dalam UASBN. Melalui integrasi soal dari
pusat dan daerah, UAS diharapkan bisa memiliki standar secara nasional. Maka,
disebutlah kebijakan ini dengan UASBN.
Dalam
kebijakan ini, KKG/MGMP di tingkat kabupaten/kota membuat dan mengelola
soal-soal UASBN yang akan didistribusikan di sekolah-sekolah di daerahnya.
Soal-soal UASBN bukan sekadar pilihan ganda, melainkan juga berupa esai.
Pemerintah melakukan pelatihan khusus untuk pembuat soal UASBN ini.
Ide
UASBN sebagai sebuah kebijakan pendidikan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan perlu diapresiasi. Namun, pemerintah melupakan satu hal, yaitu
pengembangan kapasitas para pelaku pendidikan di tingkat unit sekolah.
Peningkatan kapasitas ini harus berkelanjutan, bukan karena ide atau
kebijakan mendadak.
Asumsi UASBN
Di
beberapa tempat, peserta yang sudah dilatih membuat soal UASBN tidak
dilibatkan dalam pengembangan soal UASBN, entah karena alasan keterbatasan
waktu atau minimnya komunikasi. Akhirnya, soal UASBN pun dibuat dalam
ketergesaan, ada kekeliruan tipologi di sana sini. Situasi ini tentu
merepotkan sekolah.
Di
Jakarta Barat, soal-soal UASBN baru diterima kepala sekolah pada hari Jumat,
tiga hari sebelum UASBN dilaksanakan. Format soal yang diberikan pun dalam
bentuk draf kasar yang perlu disesuaikan dan dirapikan lagi format dan
cover-nya oleh sekolah. Dengan kata lain, kepala sekolah hanya memiliki waktu
dua hari untuk menyesuaikan format UASBN dan menggandakannya untuk sekolah.
Ini tentu sangat merepotkan sekali.
Ironisnya,
pada Sabtu (18/3), soal-soal UASBN yang akan diujikan hari Senin sudah
beredar di dunia maya. Soal Paket B untuk mata pelajaran Biologi untuk
sekolah menengah atas di Jakarta Barat sudah bocor. Di beberapa daerah, kebocoran
soal UASBN juga terjadi. Padahal, sekolah sudah menggandakan bahan UASBN dan
siap melaksanakannya saja. Sekolah tidak mungkin mengganti soal dengan item
soal yang baru.
Kebocoran
soal-soal UASBN sangat rentan terjadi. Kebocoran bisa bermula dari oknum guru
di KKG/MGMP yang bertanggung jawab membuat soal, di kepala sekolah, dan
tempat-tempat penggandaan soal UASBN. Selama ujian sekolah dianggap sebagai
hal yang menentukan (high stakes testing), berbagai cara untuk memperbaiki
kualitas evaluasi sekolah akan sia-sia.
Kultur
ketidakjujuran telah menjadi semacam kanker yang menggerogoti tubuh
pendidikan Indonesia. Meskipun UN tidak lagi menjadi syarat utama kelulusan,
kebocoran soal UN tetap terjadi. Berbagai praktik kecurangan masif dan
sistematis selama UN pun tetap berlangsung. Jika para guru saja sudah tidak
dapat dipercaya lagi untuk menjadi benteng terakhir kejujuran, di mana lagi
lembaga pendidikan bisa berharap bagi peningkatan kualitas pendidikan?
Asumsi
di balik kebijakan UASBN adalah para guru tidak dapat dipercaya dalam membuat
soal ujian akhir sekolah dan memberikan penilaian pada hasil belajar peserta
didik. Nilai rapor sekolah terdistorsi karena ada katrol nilai. Singkatnya,
obyektivitas penilaian pendidikan di unit sekolah dipertanyakan.
Pola
pikir linear model UASBN yang implisit menyatakan bahwa UAS tidak kredibel,
karena itu perlu dibuat standar nasional untuk ujian sekolah agar kualitas
pendidikan meningkat merupakan sebuah ilusi. Faktanya, kebijakan evaluasi
pendidikan seperti UN dan UASBN pun tidak berdiri sendiri-sendiri. Ada satu
sistem yang telah membentuk budaya tidak jujur dalam keseluruhan sistem
pendidikan kita, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Kebijakan
seleksi masuk perguruan tinggi merupakan target utama sasaran evaluasi
pendidikan, karena kebijakan inilah yang secara faktual merusak seluruh
sistem penilaian dan meruntuhkan moral para pendidik.
Adanya
kuota seleksi masuk nasional perguruan tinggi (SNPMTN) jalur undangan yang
pada awal adalah 50 persen dan sekarang menjadi 30 persen telah memicu
sekolah mengatrol nilai rapor peserta didik. Jalur undangan masuk PTN tanpa
tes ini mempergunakan nilai rapor sebagai kriteria utama. Akibatnya, terjadi
inflasi nilai rapor.
Fenomena
ini semakin sah karena sekolah memiliki kewenangan untuk menentukan besaran
nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Kebijakan KKM yang terdistorsi dan
dalam praksis dipahami sebagai kebijakan penentuan nilai minimal dalam rapor
membuat peserta didik terdemotivasi dalam belajar. Alih-alih belajar rajin,
adanya kebijakan KKM tinggi dari sekolah membuat siswa semakin malas belajar.
Parahnya,
memperoleh nilai minimal KKM merupakan syarat agar peserta didik boleh
mengikuti UN. Akibatnya, betapapun tidak pantas peserta didik memenuhi
kriteria KKM, sekolah cenderung memberikan nilai KKM dalam rapor pada siswa
tersebut. Karena nilai rapor menjadi penentu seleksi masuk PTN jalur
undangan, sekolah pun berlomba-lomba meninggikan kriteria KKM. Siswa yang
tahu KKM sekolahnya tinggi akan terdemotivasi belajar. Tidak belajar pun
mereka akan dapat nilai rapor minimal KKM.
Mereka
yang lolos SNMPTN umumnya dari sekolah-sekolah negeri favorit. Tidak
mengherankan jika orangtua akan berusaha memasukkan anak-anaknya ke sekolah
negeri favorit karena jaminan masuk PTN tanpa tes yang menjanjikan. Fenomena
ini menimbulkan berbagai macam perilaku kecurangan dan manipulasi nilai serta
menyuburkan pungutan liar pada saat penerimaan siswa baru.
Hal
yang sama terjadi pada siswa SD yang ingin melanjutkan ke jenjang SMP. Bagi
mereka, ujian sekolah daerah (Usda) dan UN jelas menjadi hal yang sangat
penting untuk memperoleh tiket ke sekolah favorit.
Selama
sistem ini masih ada, ujian nasional tidak akan pernah bersih dari kecurangan
dan manipulasi. Urut-urutan persoalan inilah yang membuat sistem evaluasi
dalam pendidikan kita lumpuh. Siswa dan guru tak berdaya berhadapan dengan
sistem evaluasi pendidikan yang tidak ramah secara pedagogis dan moral.
Seleksi PTN
Satu-satunya
cara untuk menyelesaikan persoalan ini adalah dengan mengevaluasi secara
keseluruhan sistem evaluasi pendidikan, terutama dimulai dari seleksi masuk
perguruan tinggi. Kebijakan seleksi masuk perguruan tinggi jalur undangan
terbukti telah melahirkan berbagai macam manipulasi, ketidakjujuran, dan kecurangan
yang mencederai integritas lembaga pendidikan. Kebijakan seleksi PTN tanpa
tes, atau jalur undangan, perlu segera dihapus dan digantikan dengan tes
tertulis yang lebih obyektif.
Kalau
seleksi masuk PTN dilakukan melalui ujian tertulis, dan lembaga penyelenggara
seleksi PTN independen dan dapat dipercaya, kita bisa berharap PTN akan
memperoleh calon mahasiswa yang pantas dan layak. Sekolah tidak akan lagi
berlomba-lomba mengatrol nilai karena tidak ada artinya apabila dalam ujian
tulis PTN siswanya tidak lulus.
Guru
juga tidak perlu lagi menggadaikan integritas moralnya demi nama baik sekolah
melalui cara-cara curang katrol nilai. Sekolah tidak akan gelojoh meninggikan
KKM karena tidak akan ada artinya apabila kualitas pembelajaran sekolah
tersebut memang rendah. Dengan kebijakan ini, sekolah hanya akan fokus pada
peningkatan kualitas pembelajaran peserta didik.
Kalau
guru dan sekolah sudah tidak bisa lagi diharapkan sebagai benteng terakhir
kejujuran, sistem evaluasi yang obyektif, dapat dipercaya, meritokratis,
menghargai ketekunan, dan kerja keraslah yang akan bisa menyelamatkan
pendidikan kita dari keterpurukan tak kunjung henti ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar