Pasang
Surut Relasi Turki-Eropa
Myrna Ratna M ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 18 Maret 2017
Saling kecam antara Turki dan Uni Eropa marak lagi setelah
dua menteri Turki dilarang berkampanye di Belanda dan Jerman terkait dengan
referendum konstitusi Turki. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan para
menterinya menyebut kedua negara itu "fasis" dan "neo
Nazi". Tuduhan yang "sangat berat" dalam tata krama diplomasi.
Jika menilik persoalannya, sebetulnya masuk akal jika
sebuah negara melarang pihak asing berkampanye politik. Apalagi Undang-Undang
Pemilu Turki sendiri dengan gamblang menyatakan hal itu. Dalam Pasal 94/A UU
Pemilu disebutkan larangan untuk berkampanye di luar negeri atau di misi-misi
diplomatik asing. Ironisnya, UU ini dikukuhkan oleh pemerintahan Erdogan
(DPA, 9/3).
Jadi, mengapa Erdogan harus murka? Sejumlah pengamat
menilai, itu adalah strategi Erdogan untuk menciptakan "musuh
bersama" guna membangkitkan semangat nasionalisme. Dengan begitu,
dukungan bagi kekuasaan Erdogan makin kuat dan masyarakat akan memilih
"Ya" dalam referendum.
Sejak kudeta militer gagal tahun lalu, Erdogan melakukan
sapu bersih terhadap institusi atau gerakan yang dicurigai menentangnya.
Lebih dari 100.000 orang ditahan atau dicopot dari jabatan. Lebih dari 100
jurnalis dipenjara dan puluhan media diberangus. Intinya, Erdogan tidak ingin
menyisakan ruang bagi "pembangkangan" terhadap dirinya. Jika
referendum April 2017 diterima, presiden memiliki kekuasaan penuh menunjuk
menteri, merancang bujet, memilih hakim dan jaksa, dan mengeluarkan dekret.
Kekuasaan Erdogan bertambah 10 tahun.
Sorotan
Langkah-langkah Erdogan pasca kudeta inilah yang menjadi
sorotan Eropa. Gebrakannya dinilai telah melanggar hak asasi manusia (HAM),
setidaknya itu yang dilaporkan oleh Rapporteur Kati Piri kepada parlemen
Eropa. Ini menjadi alasan UE untuk menghentikan sementara pembicaraan
keanggotaan Turki di UE.
Seperti kita ketahui, pembicaraan keanggotaan Turki
merupakan bagian dari "paket" kesepakatan pengungsi antara UE-Turki
pada 2016. Isinya, Turki akan mencegah migran menyeberang ke Eropa melalui
pantai-pantai Turki. Sebagai imbalannya, Turki akan memperoleh dana pengungsi
6 miliar euro, bebas visa bagi warga Turki untuk memasuki Eropa, dan
keanggotaan Turki di UE dipertimbangkan kembali.
Sejak kesepakatan itu diterapkan, arus migran ke Yunani
turun drastis. Namun, perkembangan politik di Turki pasca kudeta membuat UE
mengulur pembicaraan soal pemberian bebas visa bagi warga Turki.
Kenyataan ini membuat Erdogan murka dan menuduh Eropa
ingkar janji. Erdogan mengancam akan membatalkan kesepakatan dan
"membuka gerbang bagi jutaan pengungsi yang ada di Turki untuk
menyeberang ke Eropa".
Saling kecam dan gertak antara Erdogan dan pimpinan UE
mulai mereda setelah pertemuan Kanselir Jerman Angela Merkel dengan Erdogan
awal Februari lalu. Situasi kembali memanas pekan lalu menjelang pemilu di
Belanda.
Ancaman?
Seberapa mengkhawatirkan ancaman Erdogan ini bagi UE?
Menurut The New York Times, Selasa (14/3), penyeberangan pengungsi
besar-besaran dari Suriah ke Turki memang terjadi pada 2015, antara lain
karena warga Suriah relatif mudah memasuki Turki dari Suriah, Lebanon,
ataupun Jordania. Pada saat itu, perbatasan Turki-Suriah mudah ditembus dan
warga Suriah juga bisa terbang ke Turki tanpa harus memiliki visa.
Akan tetapi, kini situasinya berubah. Warga Suriah kini
memerlukan visa untuk masuk ke Turki dan perbatasan Turki-Suriah sudah dijaga
dengan lebih ketat.
Para pengungsi yang berniat menyeberang ke Eropa juga kini
akan berpikir panjang mengingat begitu banyaknya kisah "mengerikan"
yang terjadi, mulai dari perahu karet yang terbalik di Mediterania, perlakuan
para penyelundup yang kejam, perbatasan yang ditutup di sepanjang
negara-negara Balkan, sampai para pengungsi yang dideportasi dari Eropa
meskipun sudah menyabung nyawa untuk sampai ke sana.
Hampir semua fasilitas penampungan pengungsi di Yunani dan
Italia juga kelebihan daya tampung sehingga kualitas pelayanan menurun.
Intinya, pesan yang ingin disampaikan kepada pengungsi: "Jangan datang
ke Eropa."
Namun, mengingat langkah Erdogan sulit ditebak, bisa saja
kemudian Pemerintah Turki yang saat ini menampung sekitar 2,5 juta pengungsi
mencabut peraturan visa bagi warga Suriah dan membuka perbatasan. Meski
begitu, Ankara tetap harus mempertimbangkan faktor keamanan dalam negeri,
khususnya penyusupan dari para aktivis NIIS yang bertanggung jawab atas
sejumlah serangan bom di sejumlah kota di Turki sehingga menghancurkan
industri pariwisata Turki.
Dengan demikian, bisa jadi saling gertak antara Turki dan
Eropa saat ini masih sebatas konsumsi untuk kepentingan politik tiap-tiap
pihak dan belum menjadi ancaman bagi kawasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar