Kebijakan
Perberasan Gagal
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat
|
TEMPO.CO, 23 Maret 2017
Cuaca
buruk, hujan, dan banjir yang melanda sebagian wilayah sentra produksi padi,
terutama di pantai utara Jawa, membuat kualitas gabah menurun. Kadar air
gabah dan bulir hampa tinggi. Ini membuat harga gabah kering panen (GKP)
hanya Rp 2.500-2.800 per kilogram, jauh di bawah harga pembelian pemerintah
(HPP) Rp 3.700 per kg, seperti tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun
2015. Presiden Joko Widodo meminta para menteri dan kepala lembaga terkait
segera mengambil langkah taktis agar petani padi tidak dirugikan.
Mengapa
harga kerap jatuh pada musim panen raya? Mengapa penggilingan padi tidak
mampu menyerap produksi? Tanam padi serentak telah menghasilkan irama panen
ajek: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65 persen dari total produksi
padi nasional), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total
produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari).
Irama
panen yang tidak merata membuat harga berfluktuasi. Harga gabah/beras melorot
ketika panen raya, sebaliknya harga gabah/beras naik tajam saat paceklik.
Daya tawar petani lemah dan kemampuan menyimpan gabah rendah, sementara
kebutuhan likuiditasnya tinggi. Petani menjual semua gabah segera setelah
panen dalam bentuk GKP. Kualitas gabah amat dipengaruhi cuaca. Saat hujan,
mutu GKP menurun. Dengan karakteristik itu, pasar gabah bersifat
monopsonistik dan tersegmentasi secara lokal.
Kualitas
gabah ditentukan dua faktor: kadar air dan kemurnian gabah. Kandungan air
normal pada GKP berkisar 20-27 persen bulir hampa atau kotoran kurang dari 10
persen dan bulir hijau atau kapur kurang dari 10 persen. GKP dengan kualitas
tersebut diperebutkan penggilingan padi yang memang haus gabah. Masalahnya,
iklim basah dan hujan masih turun sampai saat ini. Akibatnya, jika laku,
harganya amat rendah.
Agar
petani tidak merugi, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3
Tahun 2017 mewajibkan Bulog menyerap gabah petani berkadar air 25-30 persen
dengan harga Rp 3.700 per kg. Langkah ini akan menolong petani. Namun Bulog
sulit dalam menyerap gabah produksi petani karena sejak semula dirancang
membeli dari koperasi unit desa (KUD). Saat KUD berguguran pada awal 2000-an,
Bulog membeli beras dari penggilingan padi swasta, yang memproduksi beras
berkualitas rendah.
Jumlah
penggilingan padi kecil dan sederhana mendominasi. Sensus penggilingan padi
BPS (2012) menunjukkan 169.044 (92,8 persen) dari 182 ribu unit merupakan
penggilingan kecil dengan pangsa kapasitas 80 persen. Sedangkan jumlah
penggilingan besar hanya 2.075 buah (1,1 persen) dengan kapasitas 8 persen.
Penggilingan padi kecil tidak dilengkapi pengering mekanis. Karena itu,
penggilingan ini tak mampu menghasilkan beras kualitas baik dengan biaya
rendah (Sawit, 2014; Patiwiri, 2006).
Kewajiban
Bulog menyerap gabah berkadar air 25-30 persen sepertinya didasari keluarnya
dua produk hukum pada Mei 2016, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun
2016 tentang Perum Bulog yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
2003, dan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Perum
Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Dalam peraturan presiden itu,
Bulog tak hanya bertugas menjaga ketersediaan pangan, tapi juga harus
mengamankan harga di tingkat produsen dan konsumen.
Untuk
mendukung hal tersebut, tahun ini pemerintah menambah penyertaan modal ke
Bulog Rp 2 triliun untuk membangun gudang modern berkapasitas 45 ribu ton dan
penggilingan padi modern dengan kapasitas giling 1 juta ton gabah kering
giling. Kalau infrastruktur itu tersedia, secara teoretis, Bulog dapat
menyerap GKP 1,3 juta ton sehingga kejatuhan harga gabah sebagian dapat
teratasi. Masalahnya, infrastruktur ini masih dalam tahap pengkajian.
Di
luar itu, pertanyaan yang tidak kalah penting soal rancang bangun
infrastruktur yang hendak dibuat: apakah penggilingan padi modern Bulog akan
membeli gabah langsung dari petani atau kelompok tani, kemudian bersaing
dengan penggilingan padi yang ada? Ataukah Bulog bekerja sama dengan
penggilingan-penggilingan padi kecil untuk berbagi tugas? Pilihan kebijakan
akan membuahkan dampak yang berbeda.
Cara
pertama akan menambah sengit persaingan dalam memperebutkan gabah. Akibatnya,
harga gabah terangkat naik, apalagi pada musim panen gadu. Penggilingan padi
kecil yang jumlahnya puluhan ribu kalah bersaing dalam perebutan gabah. Pelan
tapi pasti, keberadaan penggilingan padi kecil akan mati.
Cara
kedua, Bulog dapat merancang penggilingan padi kecil sebagai rekan bisnis dan
pemasok beras pecah kulit. Selanjutnya, Bulog mengolahnya menjadi beras
berkualitas. Dengan cara ini, keberadaan Bulog dapat menekan kehilangan hasil
dan perbaikan mutu beras, serta memperkecil kompetisi dalam perebutan gabah.
Bulog tetap dapat membeli gabah dari kelompok tani/koperasi.
Cara
kedua ini diyakini akan menciptakan insentif bagi penggilingan padi kecil
untuk berinvestasi pada pengering mekanis karena pemasaran beras pecah kulit
telah terjamin. Apabila hal yang sama ditempuh, penggilingan padi besar
modern milik swasta ini akan mempercepat upaya menekan kerugian nasional pada
industri beras. Solusi itu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara membuat
kebijakan serampangan alias policy failure seperti diuraikan di atas.
Sepertinya tidak ada jalan pintas untuk menyelamatkan kejatuhan harga gabah
pada musim panen raya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar