Jumat, 24 Maret 2017

Kebijakan Perberasan Gagal

Kebijakan Perberasan Gagal
Khudori  ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
                                                     TEMPO.CO, 23 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Cuaca buruk, hujan, dan banjir yang melanda sebagian wilayah sentra produksi padi, terutama di pantai utara Jawa, membuat kualitas gabah menurun. Kadar air gabah dan bulir hampa tinggi. Ini membuat harga gabah kering panen (GKP) hanya Rp 2.500-2.800 per kilogram, jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 3.700 per kg, seperti tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. Presiden Joko Widodo meminta para menteri dan kepala lembaga terkait segera mengambil langkah taktis agar petani padi tidak dirugikan.

Mengapa harga kerap jatuh pada musim panen raya? Mengapa penggilingan padi tidak mampu menyerap produksi? Tanam padi serentak telah menghasilkan irama panen ajek: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65 persen dari total produksi padi nasional), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari).

Irama panen yang tidak merata membuat harga berfluktuasi. Harga gabah/beras melorot ketika panen raya, sebaliknya harga gabah/beras naik tajam saat paceklik. Daya tawar petani lemah dan kemampuan menyimpan gabah rendah, sementara kebutuhan likuiditasnya tinggi. Petani menjual semua gabah segera setelah panen dalam bentuk GKP. Kualitas gabah amat dipengaruhi cuaca. Saat hujan, mutu GKP menurun. Dengan karakteristik itu, pasar gabah bersifat monopsonistik dan tersegmentasi secara lokal.

Kualitas gabah ditentukan dua faktor: kadar air dan kemurnian gabah. Kandungan air normal pada GKP berkisar 20-27 persen bulir hampa atau kotoran kurang dari 10 persen dan bulir hijau atau kapur kurang dari 10 persen. GKP dengan kualitas tersebut diperebutkan penggilingan padi yang memang haus gabah. Masalahnya, iklim basah dan hujan masih turun sampai saat ini. Akibatnya, jika laku, harganya amat rendah.

Agar petani tidak merugi, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2017 mewajibkan Bulog menyerap gabah petani berkadar air 25-30 persen dengan harga Rp 3.700 per kg. Langkah ini akan menolong petani. Namun Bulog sulit dalam menyerap gabah produksi petani karena sejak semula dirancang membeli dari koperasi unit desa (KUD). Saat KUD berguguran pada awal 2000-an, Bulog membeli beras dari penggilingan padi swasta, yang memproduksi beras berkualitas rendah.

Jumlah penggilingan padi kecil dan sederhana mendominasi. Sensus penggilingan padi BPS (2012) menunjukkan 169.044 (92,8 persen) dari 182 ribu unit merupakan penggilingan kecil dengan pangsa kapasitas 80 persen. Sedangkan jumlah penggilingan besar hanya 2.075 buah (1,1 persen) dengan kapasitas 8 persen. Penggilingan padi kecil tidak dilengkapi pengering mekanis. Karena itu, penggilingan ini tak mampu menghasilkan beras kualitas baik dengan biaya rendah (Sawit, 2014; Patiwiri, 2006).

Kewajiban Bulog menyerap gabah berkadar air 25-30 persen sepertinya didasari keluarnya dua produk hukum pada Mei 2016, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perum Bulog yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003, dan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Dalam peraturan presiden itu, Bulog tak hanya bertugas menjaga ketersediaan pangan, tapi juga harus mengamankan harga di tingkat produsen dan konsumen.

Untuk mendukung hal tersebut, tahun ini pemerintah menambah penyertaan modal ke Bulog Rp 2 triliun untuk membangun gudang modern berkapasitas 45 ribu ton dan penggilingan padi modern dengan kapasitas giling 1 juta ton gabah kering giling. Kalau infrastruktur itu tersedia, secara teoretis, Bulog dapat menyerap GKP 1,3 juta ton sehingga kejatuhan harga gabah sebagian dapat teratasi. Masalahnya, infrastruktur ini masih dalam tahap pengkajian.

Di luar itu, pertanyaan yang tidak kalah penting soal rancang bangun infrastruktur yang hendak dibuat: apakah penggilingan padi modern Bulog akan membeli gabah langsung dari petani atau kelompok tani, kemudian bersaing dengan penggilingan padi yang ada? Ataukah Bulog bekerja sama dengan penggilingan-penggilingan padi kecil untuk berbagi tugas? Pilihan kebijakan akan membuahkan dampak yang berbeda.

Cara pertama akan menambah sengit persaingan dalam memperebutkan gabah. Akibatnya, harga gabah terangkat naik, apalagi pada musim panen gadu. Penggilingan padi kecil yang jumlahnya puluhan ribu kalah bersaing dalam perebutan gabah. Pelan tapi pasti, keberadaan penggilingan padi kecil akan mati.

Cara kedua, Bulog dapat merancang penggilingan padi kecil sebagai rekan bisnis dan pemasok beras pecah kulit. Selanjutnya, Bulog mengolahnya menjadi beras berkualitas. Dengan cara ini, keberadaan Bulog dapat menekan kehilangan hasil dan perbaikan mutu beras, serta memperkecil kompetisi dalam perebutan gabah. Bulog tetap dapat membeli gabah dari kelompok tani/koperasi.

Cara kedua ini diyakini akan menciptakan insentif bagi penggilingan padi kecil untuk berinvestasi pada pengering mekanis karena pemasaran beras pecah kulit telah terjamin. Apabila hal yang sama ditempuh, penggilingan padi besar modern milik swasta ini akan mempercepat upaya menekan kerugian nasional pada industri beras. Solusi itu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara membuat kebijakan serampangan alias policy failure seperti diuraikan di atas. Sepertinya tidak ada jalan pintas untuk menyelamatkan kejatuhan harga gabah pada musim panen raya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar