Sengkarut
Taksi Online
Tulus Abadi ; Ketua Pengurus Harian YLKI
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Maret 2017
PERSOALAN
transportasi berbasis aplikasi, khususnya taksi online, tampaknya kian
memanas. Di sejumlah kota terjadi eskalasi penolakan yang berbuntut konflik
horizontal. Bahkan, di Kota Tangerang sopir angkot nekat menabrak tukang ojek
online hingga tewas, walau sopir angkot tersebut harus dibui dengan ancaman
hukuman seumur hidup, bahkan hukuman mati. Eskalasi ini terjadi karena
pemerintah lambat mengantisipasi kehadiran taksi berbasis aplikasi.
Kendati
terlambat, pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan mulai menggeliat
dengan aturan baru, yakni revisi Permenhub No 32 Tahun 2016, yang akan
diberlakukan per 1 April 2017. Dalam konteks perlindungan konsumen dan dalam
rangka sistem transportasi yang keberlanjutan.
Regulasi
baru tersebut bisa dipahami tapi dengan beberapa catatan kritis, yakni
pertama, prinsip dasar dalam bertransportasi adalah keselamatan,
aksesibilitas, keterjangkauan, terintegrasi, kenyamanan, dan keberlanjutan.
Sejauh ini taksi berbasis aplikasi baru menjawab terhadap satu poin saja,
yakni aksesibilitas. Konsumen dengan (relatif) mudah mendapatkan taksi online
daripada taksi konvensional.
Kedua,
aspek yang lain, taksi online belum mampu menjawab kebutuhan dan perlindungan
pada konsumen yang sebenarnya. Misalnya, belum mempunyai standar pelayanan
minimal yang jelas, baik untuk armada maupun sopirnya. Tarif taksi online
juga tidak bisa dibilang murah, bahkan bisa lebih mahal daripada taksi
konvensional sebab taksi online memberlakukan tarif berdasarkan jam sibuk
(rush hour) dan non- rush hour. Pada rush hour tarif taksi online jauh lebih
mahal apalagi dalam kondisi hujan. Jadi, untuk diberlakukan tarif bawah taksi
online secara praktis tidaklah kesulitan karena selama ini secara tidak
langsung justru sudah menerapkan tarif batas bawah dan atas.
Ketiga,
justru yang harus disorot adalah bagaimana mekanisme pengawasan terhadap
implementasi tarif batas atas dan bawah tersebut. Aparat penegak hukum akan
kesulitan melakukan pengawasan dan penegakkan hukum jika terjadi pelanggaran.
Keempat,
taksi online juga belum memberikan perlindungan kepada konsumennya jika
terjadi kehilangan barang atau terjadi kecelakaan. Bahkan, jika terjadi
sengketa keperdataan dengan konsumen akan diselesaikan via abritase
internasional di Singapura. Ini jelas tidak adil dan tidak masuk akal, bahkan
merugikan konsumen.
Kelima,
operator taksi online juga belum memberikan jaminan perlindungan data pribadi
konsumennya. Bahkan, dalam term of contract-nya, mereka bahkan akan
menjadikan data pribadi konsumen untuk di-share ke mitra bisnisnya, misalnya
untuk objek promosi. Oleh karena itu, Kemenhub dalam revisinya Permenhub No
32/2016 seharusnya mengatur poin-poin tersebut. Bukan hanya mengatur soal uji
kir, proses balik nama STNK, atau bahkan soal tarif.
Keenam,
dalam konteks persaingan usaha, tidak boleh ada operator/ pelaku usaha yang
menerapkan kebijakan predatory tariff sebab jika dibiarkan predatory tariff
akan membunuh operator yang lain sehingga mematikan operator lainnya. Dalam
hal ini operator taksi resmi yang sudah eksis. Oleh karena itu, pemerintah
harus melakukan intervensi jika ada operator yang menerapkan predatory
tariff.
Ketujuh,
di sisi lain, YLKI mendesak kepada operator taksi konvensional untuk
meningkatkan pelayanannya, misalnya kemudahan mengakses bagi konsumen semudah
taksi online. Jika perlu Kemenhub juga mengaudit tarif taksi konvensional,
harus dibebaskan dari unsur inefisiensi sehingga konsumen tidak menanggung
tarif/ongkos kemahalan karena ada unsur inefisiensi dalam tarif taksi
konvensional.
Secara
umum, revisi Permenhub No 32/2016 sebenarnya sudah terlalu permisif dan
kompromistis. Misalnya, soal akomodasi/pembolehan terhadap mobil LCGC sebagai
taksi. Padahal, mobil LCGC yang hanya 1.000 cc seharusnya tidak laik untuk
angkutan umum karena tidak safety. Uji kir juga cukup dengan stiker tidak
harus diketok di mesinnya sehingga tidak menimbulkan bekas. Hal ini dilakukan
karena pemilik taksi online tidak ingin mesinnya diketok karena takut harga
jualnya turun atau bahkan tidak laku.
Pada
akhirnya, bahwa keberadaan taksi online tidak mungkin dilarang. Aksi beberapa
kepala daerah, termasuk Gubernur DIY, yang melarang taksi online ialah
langkah mundur sebab penggunaan teknologi informasi dalam bertransportasi
ialah keniscayaan. Namun demikian, tapi juga tidak mungkin dibiarkan
beroperasi tanpa adanya regulasi yang jelas dan komprehensif.
Persoalan
taksi online tidak bisa hanya diatur oleh satu kementerian, dalam hal ini
Kemenhub sebab banyak persoalan konsumen dan nonkonsumen yang harus segera
diatur, misalnya menyangkut hak-hak driver sebagai tenaga kerja. Itu ranah
Kementerian Tenaga Kerja. Kementerian Kominfo juga tidak bisa berpangkau
tangan terkait dengan perlindungan data pribadi konsumen. Ingat, siapa yang
menjamin keamanan perlindungan data pribadi konsumen dalam bertransaksi
dengan provider taksi online?
Pemerintah
daerah juga seharusnya bergerak cepat membuat peraturan daerah sebagai aturan
turunan di atasnya. Sekali lagi, regulasi taksi berbasis aplikasi harus
komprehensif, cepat, dan akurat. Jangan sampai konflik horizontal meluas
karena pemerintah lamban atau bahkan tidak mengantisipasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar