Tim
Khusus Penataan Regulasi
Feri Amsari ; Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
DETIKNEWS, 22 Maret 2017
Sengkarut
disharmonisnya produk perundang-undangan (regulasi) bagai benang kusut. Sulit
diurai dan ditemukan solusinya. Padahal sebagai negara hukum, produk
perundang-undangan adalah alat ketertiban hidup berbangsa dan bernegara.
Alih-alih
menertibkan, produk perundang-undangan kerap bermasalah dan menciptakan
kebisingan baru di tengah masyarakat. Sebut saja rencana DPR yang hendak
mengubah UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keributan rencana mengubah UU
KPK itu merupakan pertentangan antara kehendak politik dengan kehendak
publik.
Permasalahan
perundang-undangan juga terjadi hingga tingkat pemerintahan daerah. Tidak
hanya soal pembentukan produk perundang-undangan (misalnya, Peraturan
daerah/Perda) tetapi juga terhadap cara pembatalan produk perundang-undangan
itu juga ditengarai bermasalah.
Misalnya,
banyak sekali pemerintahan daerah yang "ribut" ketika Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) membatalkan 3.143 Perda bermasalah pada 2016 lalu.
Penyebab pembatalan lebih karena ketidak-harmonisan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, bertentangan dengan isi putusan MK
terhadap sebuah undang-undang, dan telah diubahnya undang-undang yang menjadi
dasar terbentuknya Perda tersebut.
Kondisi
tersebut menunjukan pembentukan Perda kerap mengabaikan aturan-aturan hukum
yang lebih tinggi. Tidak hanya Perda, bahkan produk perundang-undangan
sederajat antar lembaga negara juga kerap berseberangan. Baru-baru ini kita
disuguhkan pertikaian Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan terkait
produk perundang-undangan.
Keadaan
demikian tentu menimbulkan keributan dan menciptakan kerancuan penegakan
hukum. Lalu, bagaimanakah solusi pembenahan karut-marut perundang-undangan di
Tanah Air?
Tim Khusus
Menyerahkan
perbaikan perundang-undangan kepada lembaga legislatif, seperti DPR, tentu
sulit. Tidak saja kerap politis, pembentukan undang-undang di DPR kerap
ditanggapi publik dengan negatif.
Apalagi
jika DPR melakukan evaluasi, pengkajian, dan harmonisasi terhadap produk
perundang-undangan yang berkaitan dengan undang-undang berdasarkan
kewenangannya. Apalagi, DPR dianggap tidak terlalu produktif dalam
pembentukan undang-undang. Agar tidak menjadi beban, DPR tidak perlu masuk ke
ranah tersebut.
Menurut
saya, Pemerintah harus lebih berperan dalam menata peraturan
perundang-undangan, khususnya terhadap lembaga-lembaga yang berada di ranah
eksekutif. Apalagi tugas pengkajian dan harmonisasi produk
perundang-undangan, terutama dalam ranah eksekutif dari tingkat pusat hingga
daerah berada di tangan eksekutif.
Namun
masalahnya, undang-undang juga kerap rancu menentukan lembaga mana yang
berwenang menata regulasi yang ada. Setidaknya terdapat dua "rezim yang
berkuasa" dalam penataan produk perundang-undangan pada kekuasaan
pemerintah. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (P3), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham)
diberikan kewenangan untuk melakukan pengkajian, penyelarasan,
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan peraturan perundang-undangan
dalam ranah eksekutif.
Sedangkan
berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terhadap
produk perundang-undangan daerah yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Kerancuan akan timbul
apabila dua menteri berbeda pandangan dalam menilai produk peraturan
perundang-undangan yang bermasalah, dalam hal ini adalah Perda.
Menkum
HAM dapat menilai Perda sudah sesuai dengan produk perundang-undangan lebih
tinggi dan harmonis dengan perundang-undangan lainnya, namun setelah
disetujui ternyata dibatalkan Mendagri dengan alasan yang abstrak, seperti
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Tentu hal yang
seperti itu menimbulkan kerancuan berhukum.
Itu
sebabnya, pemerintah dapat membenahi hal yang seperti itu dengan membentuk
tim khusus di bawah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) sebagai
kementerian bidang hukum. Sedangkan peran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
adalah memberikan saran terkait Perda yang diduga bermasalah untuk ditelaah
Kemenkum HAM. Jika Tim Khusus Kemenkumham menyatakan Perda terkait memang
bermasalah, barulah Kemendagri dapat membatalkan Perda tersebut.
Beberapa
ahli tidak menyetujui tim khusus mengevaluasi Perda. Namun, hemat saya, tim
khusus harus diberikan kewenangan mengevaluasi Perda bermasalah meskipun ada
pendapat yang menyatakan bahwa Perda merupakan produk legislasi lokal yang
menampung aspirasi publik melalui lembaga perwakilan di daerah.
Meskipun
menjunjung tinggi prinsip-prinsip otonomi daerah, tim khusus harus tetap
mengevaluasi Perda demi menjaga semangat negara kesatuan. Jika Perda yang
dianggap merupakan bagian dari prinsip-prinsip otonomi daerah diusulkan tim
khusus, pemerintah daerah terkait dapat mengajukan permohonan didengarkan
pandangannya sebagai pihak berkepentingan oleh tim khusus. Seandainya tidak
ditemukan kesepakatan, pemerintah didaerah dapat mempertanyakan pembatalan
Perda melalui proses peradilan.
Tim
khusus harusnya memang memiliki kewenangan menata peraturan
perundang-undangan, terutama yang di bawah undang-undang, namun kewenangan
tersebut harus dibatasi. Misalnya, tim khusus tidak dapat mengevaluasi
peraturan yang diterbitkan oleh lembaga negara lain, seperti komisi, lembaga,
dan badan lain yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk membentuk
peraturan tersendiri. Namun jika tim khusus menemukan peraturan bermasalah
dan/atau disharmonis, maka dapat tim khusus dapat memberikan rekomendasi pada
lembaga terkait.
Target Awal
Setidaknya
terdapat 62 ribu produk perundang-undangan yang berlaku saat ini dari tingkat
pusat hingga daerah. Tim Khusus yang akan melakukan penataan peraturan
perundang-undangan tersebut tidak mungkin secara menyeluruh dan tuntas dapat
mampu bertugas menata seluruh regulasi yang ada tersebut. Untuk itu perlu
target awal bagi tim khusus tersebut.
Saya
pikir, tim khusus penataan regulasi dapat fokus pada pembenahan peraturan
perundang-undangan tingkat pusat yang berada di ranah eksekutif saja.
Penataan pada tingkatan tersebut penting agar produk perundang-undangan yang
berada di bawahnya tidak rancu memahami kehendak undang-undang dan berpotensi
pihak-pihak tertentu hanya akan mentaati aturan yang sesuai dengan
kepentingan politiknya saja.
Dengan
penentuan target awal tersebut, hasil dari penataan peraturan
perundang-undangan akan lebih terlihat dampaknya. Jika memang hendak
melakukan penataan perundang-undangan yang semrawut, ada baiknya Presiden
Joko Widodo segera membentuk tim tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar