Pemilu
Timor Leste, Pertarungan Masa Depan
Ganewati Wuryandari ; Peneliti;
Kepala Pusat Penelitian Sumber
Daya Regional (P2SDR) LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Maret 2017
Timor Leste menggelar
pemilihan presiden. Negara yang terbentuk pada 2002 sejak lepas dari wilayah
kedaulatan RI melalui referendum ini menyelenggarakan pemilu presiden yang
ke-4 kalinya. Proses demokratisasi di negara termuda di Asia Tenggara ini
juga menunjukkan kematangan yang diindikasikan dengan keberhasilannya
menyelenggarakan pemilu dan pergantian kepemimpinan nasional yang berlangsung
relatif aman. Sejak kemerdekaannya, Timor Leste telah tiga kali mengalami
pergantian presiden, yaitu Xanana Gusmao, Ramos Horta, dan Taur Matan Ruak.
Ada delapan calon kandidat
presiden yang bertarung dalam pemilihan pada Senin lalu. Enam kandidat
diusung parpol, sementara tiga lainnya calon independen. Kedelapan kandidat
Presiden Timor Leste itu ialah Francisco Guterres ‘Lu-Olo’ (Fretilin), Jose
Luis Guterres (Frenti-Mudança), Antonio Maher Lopes (Sosialis Timor), Antonio
da Conceicao (Demokrat), dan Angela Freitas (Trabalhista). Yang berasal dari
independen, yakni Amorim Vieira, Luis Tilman, dan Jose Aniceto das Neves.
Semua calon baru, kecuali Lu-Olo pernah mencalonkan diri pada Pemilu 2012.
Dari delapan kandidat
menunjukkan pemilu presiden kali ini masih didominasi kelompok lama dan
senior mantan pejuang kemerdekaan Timor Leste. Lu-Olo dan Jose Luis Guterres,
misalnya, merupakan teman seperjuangan Xanana dan Ramos Horta dalam
memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste dan pembentukan Partai Fretilin.
Partai ini pecah, Xanana membentuk CNRT dan Luis Guterres mendirikan
Frenti-Mudanca. Jose Aniceto dari unsur independen juga mantan pemimpin
gerilya dan pernah menjadi deputi komisioner Komisi Anti-Korupsi hingga Juli
2016.
Karena itu, pemilu ini
sangat penting. Itu tidak saja akan menjadi kesempatan terakhir bagi calon
kandidat senior di arena pertarungan memperebutkan peluang mendapatkan posisi
politik penting di Timor Leste, sebelum akhirnya lengser memberikan
kesempatan pemimpin-pemimpin muda tampil. Dapat dipahami jika Francisco
Guterres alias Lu Olo, yang didukung Fretilin, merupakan kandidat favorit
menjadi Presiden Timor Leste.
Tidak saja berasal dari
partai dominan Fretilin, Lu Olo salah satu mantan pejuang yang hingga saat
ini belum mendapatkan ‘jatah’ duduk dalam jajaran pemerintahan Timor Leste.
Rekan seperjuangannya, antara lain Xanana, Mari Alkatiri, Taur Matan Ruak,
dan Ramos Horta pernah menduduki berbagai jabatan penting. Pada Pemilu
Parlemen 2007, Francisco Guterres sebagai pemimpin Partai Fretilin yang
memenangi pemilu itu sebetulnya memiliki peluang menduduki kursi PM. Namun,
partai yang menguasai mayoritas kursi di parlemen ini gagal meloloskannya.
Dia kalah suara dengan Xanana yang menggalang koalisi dengan parpol lainnya.
Dengan adanya dukungan
dari Xanana Gusmao dan Partai CNRT pada pilpres kali ini, kesempatan Lu Olo
untuk menang semakin mulus. Dukungan penuh Partai CNRT itu, dengan tidak ada
satu pun anggotanya yang dicalonkan untuk kandidat capres pemilu kali ini.
Padahal, kemungkinan untuk menang juga terbuka lebar karena CNRT partai
terkuat kedua setelah Fretilin pada Pemilu 2012 lalu.
Namun, peta politik bisa
saja berubah. Jalan menuju kursi Presiden 2017 ini tidak semudah di atas
kertas untuk Lu Olo. Antonio da Conceicao dan Luis Guterres, misalnya,
merupakan dua calon kandidat yang diusung dua partai kuat, yaitu Partai
Demokrat Timor Leste dan Frenti-Mudanca yang menduduki urutan ke-3 (delapan
kursi di parlemen) dan ke-4 (dua kursi di parleman) pemenang Pemilu 2012.
Selain didukung partainya
sendiri, Conceicao juga didukung Partai Pembebasan Rakyat (PLP) yang baru
terbentuk dan mendapat dukungan Presiden Timor Leste saat ini, 'Taur Matan
Ruak'. Taur Matan Ruak tidak mencalonkan kembali pada pilpres kali ini.
Diprediksi, dia akan maju pada pencalonan PM dalam pemilu parlemen Juli 2017.
Siapa pun yang memenangi
pemilu presiden kali ini, presiden terpilih akan menghadapi tantangan sangat
berat. Negara termuda di Asia ini ke depannya akan menghadapi masa kritis.
Terutama masih harus berjuang melawan kemiskinan, korupsi, patrimonialisme,
dan ketergantungan pada minyak. Hampir separuh populasi penduduknya yang
berjumlah 1,1 juta jiwa masih hidup miskin.
Timor Leste yang menggantungkan
sumber pendapatan utama dari minyak dan gas juga menghadapi persoalan serius.
Sejak 2014, Kitan yang menjadi ladang minyak Timor Leste berhenti beroperasi.
Perjanjian Timor Leste dan Australia untuk kerja sama eksplorasi minyak dan
gas sudah habis. Sementara, upaya pemerintah Timor Leste negosiasi perbatasan
maritimnya secara permanen dengan negara itu juga belum direspons baik.
Di tengah ketidakpastian
dan kegagalan melakukan diversifikasi sumber pendanaan selain minyak, Timor
Leste menghadapi masa yang kian sulit di masa depan. Apalagi, jika belanja
pengeluaran pemerintah seperti yang dilakukan selama ini, menurut La’o
Hamutuk, sebuah organisasi nonpemerintah di Timor Leste, diperkirakan dana
yang diperoleh dari minyak pemerintah akan habis dalam 12 tahun mendatang.
Timor
Leste telah berjuang dan bersusah payah untuk membangun konsolidasi demokrasi
melalui pemilu yang berjalan aman dan ini semakin diperkuat dengan Pilpres
2017 yang berjalan kondusif. Namun, demokrasi yang semakin matang yang didukung
dengan stabilitas keamanan yang mantap itu juga bisa berubah drastis, jika
Timor Leste dihadang krisis sosial ekonomi yang pada akhirnya akan
memunculkan instabilitas. Ini tentu merupakan pertaruhan masa depan Timor
Leste. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar