Selasa, 21 Maret 2017

“Exit Strategy” Kenaikan Fed Rate

“Exit Strategy” Kenaikan Fed Rate
Haryo Kuncoro  ;   Dosen Fakultas Ekonomi UNJ
                                               KORAN JAKARTA, 20 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pascapelantikan Donald Trump selaku Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS), perekonomian Paman Sam terus mengalami pancaroba. Dengan jargon kampanye America First and only America First, Trump cenderung lebih proteksionis dengan memberi ruang gerak yang lebih besar pada pelaku ekonomi domestik.

Dari perspektif fiskal, mazhab ekonomi Partai Republik pengusung Trump tipikal menggunakan ekspansi fiskal melalui pemotongan pajak demi menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Agresivitas Trump diproyeksi masif menyerap pasar keuangan dunia untuk membiayai defisit belanjanya.

Kendati independen dari ranah politik, bank sentral AS tentu tidak tinggal diam. Dalam pandangan bank sentral, ekonomi AS tidak boleh dibiarkan berjalan “terlalu panas” agar tidak menimbulkan risiko yang merugikan pemulihan yang telah diupayakan sejak krisis finansial global 2008.

Hasilnya, Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), Janet Yellen, sudah memberi aba-aba akan menaikkan kembali suku bunga acuannya tiga kali tahun ini. Dua kali pada 2018, dan satu kali 2019. Serial kenaikan Fed rate sudah diawali pada Maret ini yang membuat Fed rate pada level 0,75–1 persen.

Bagi Indonesia, kebijakan Trump dan Yellen akan berdampak signifikan pada perekonomian nasional. Dari sisi sektor riil, arus transaksi perdagangan akan tersumbat. Dari sisi finansial, arus modal akan keluar (capital outflow) menuju AS. Akibatnya, nilai tukar rupiah terdepresiasi.

Risiko capital outflow dan nilai tukar menjadi pertimbangan utama Bank Indonesia (BI) meramu kebijakan moneter. Sinyal ini bisa ditangkap suku bunga acuan tidak lagi untuk mendukung pertumbuhan, tapi stabilisasi. Implisit, BI menggeser strategi menjadi stability over growth.

Kemudian, pergeseran kebijakan moneter BI dari “bias longgar” menjadi akomodatif dengan kehati-hatian. Hasilnya, BI konsisten mempertahankan suku bunga acuan 7-day reverse repo rate pada level 4,75 persen enam bulan terakhir sebagai sinyal pengondisian.

Lalu, dari sisi pengelolaan likuiditas, operasi pasar terbuka untuk tenor selain satu pekan diserahkan pada mekanisme pasar. Melalui lelang, suku bunga pasar (discount rate) dimungkinkan bervariasi mengikuti ketersediaan likuiditas. Sasarannya, suku bunga simpanan dan pinjaman perbankan bisa dikontrol.

Kebijakan awal tadi tampaknya berhasil. Pada akhir Februari, cadangan devisa mencapai 119,9 miliar dollar AS miliar. Defisit transaksi berjalan menyusut hingga 1,8 persen atas PDB. Dana asing yang masuk 26 triliun rupiah. Maka neraca pembayaran surplus, dan nilai tukar rupiah stabil di kisaran 13.400.

Persoalannya kemudian, apakah sejumlah indikator fundamental ekonomi makro tersebut cukup kuat untuk meredam kemungkinan arus modal keluar? Kalau kuat, berapa lama tahan menghadapi ujian beruntun sampai akhir tahun?

Suku Bunga

Secara konseptual, stabilisasi nilai tukar bisa ditempuh melalui kebijakan suku bunga acuan. Kebijakan menaikkan suku bunga acuan, misalnya, mendorong suku bunga diferensial lintas negara lebih tinggi. Selanjutnya, ini akan menarik arus modal masuk dan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah.

Sayang, BI tidak secara eksplisit mengumumkan nilai tukar sasaran. Artinya, BI tidak memiliki rujukan yang kokoh waktu nilai tukar dikatakan tertekan dan saat tekanan tersebut mengendor. Ini berbeda kasus dengan stabilitas harga di mana tekanan inflasi diukur dari target. Komplikasi muncul saat tujuan stabilitas inflasi dan nilai tukar hendak dicapai bersamaan. Inflasi dan kurs terkait dalam kerangka exchange ratepass-through. Riset Taguchi and Sohn (2014) menyimpulkan derajat pass-through nilai tukar sangat lemah. Artinya, pergerakan nilai tukar rupiah tidak terwakili sepenuhnya oleh fluktuasi inflasi.

Konsekuensinya, beban suku bunga acuan dalam mengawal rupiah semakin berat. Maka, BI tidak bisa semata-mata menggantungkan hanya pada BI repo rate tanpa menggunakan instrumen lain sebagai komplemennya. Konkretnya, untuk mengendalikan volatilitas nilai tukar BI harus intervensi di pasar valuta asing.

Ini hanya bisa dilakukan andai BI memiliki cukup cadangan devisa yang kini relatif kecil terhadap pasar valuta. Lagi pula, dalam rezim devisa bebas, cadangan valuta asing lebih banyak dipegang masyarakat luas, bukan BI.

Agaknya, BI perlu berkaca dari pengalaman negara berkembang lain yang mengadopsi “ketat” dalam menjaga inflasi (sesuai target) dalam praktiknya malahan “fleksibel” terhadap nilai tukar. Frekuensi campur tangan di pasar valuta asing menjadi lebih sering dan lebih sensitif terhadap pergerakan nilai tukar riil.

Beberapa tesis tersebut memperlihatkan bahwa dalam menjaga stabilitas rupiah BI terbelenggu the impossibility of trinity. Mereka adalah kemustahilan mencapai nilai tukar stabil, kebijakan moneter yang akomodatif, dan sekaligus rezim devisa bebas.

Maka, ketika Indonesia tetap mengadopsi rezim devisa bebas, untuk membuat rupiah stabil atau tidak terdepresiasi tajam, mau tak mau kebijakan moneter BI harus ketat (hawkish). Opsinya, menaikkan BI repo rate atau membiarkan inflasi dalam negeri sedikit lebih tinggi atau terus-menerus mengintervensi pasar valuta asing.

Ringkasnya, problema yang dihadapi adalah upaya untuk mengejar stabilitas internal (inflasi, suku bunga perbankan, dan likuiditas sektor keuangan) niscaya akan mengesampingkan stabilitas eksternal (aliran modal, cadangan devisa, dan nilai tukar), demikian pula sebaliknya.

Maka, setiap ada rumor kenaikan Fed rate, banyak energi terkuras guna meredam dampaknya secara internal dan eksternal. Masalahnya, dalam jangka waktu sempit, pelaku ekonomi nasional, pemerintah, dan BI tidak memiliki banyak alternatif solusi.

Konsekuensinya, penguatan pasar finansial domestik, dengan sedikit proteksi, sepertinya menjadi exit strategy yang layak untuk keluar dari berbagai dampak setelah kenaikan Fed rate. Sebab kebijakan AS secara prinsip memberi peluang lebih besar pada pemain dalam negeri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar