“Exit
Strategy” Kenaikan Fed Rate
Haryo Kuncoro ; Dosen Fakultas Ekonomi UNJ
|
KORAN
JAKARTA, 20 Maret 2017
Pascapelantikan
Donald Trump selaku Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS), perekonomian Paman
Sam terus mengalami pancaroba. Dengan jargon kampanye America First and only
America First, Trump cenderung lebih proteksionis dengan memberi ruang gerak
yang lebih besar pada pelaku ekonomi domestik.
Dari
perspektif fiskal, mazhab ekonomi Partai Republik pengusung Trump tipikal
menggunakan ekspansi fiskal melalui pemotongan pajak demi menstimulasi
pertumbuhan ekonomi. Agresivitas Trump diproyeksi masif menyerap pasar
keuangan dunia untuk membiayai defisit belanjanya.
Kendati
independen dari ranah politik, bank sentral AS tentu tidak tinggal diam.
Dalam pandangan bank sentral, ekonomi AS tidak boleh dibiarkan berjalan
“terlalu panas” agar tidak menimbulkan risiko yang merugikan pemulihan yang
telah diupayakan sejak krisis finansial global 2008.
Hasilnya,
Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), Janet Yellen, sudah memberi aba-aba akan
menaikkan kembali suku bunga acuannya tiga kali tahun ini. Dua kali pada
2018, dan satu kali 2019. Serial kenaikan Fed rate sudah diawali pada Maret
ini yang membuat Fed rate pada level 0,75–1 persen.
Bagi
Indonesia, kebijakan Trump dan Yellen akan berdampak signifikan pada
perekonomian nasional. Dari sisi sektor riil, arus transaksi perdagangan akan
tersumbat. Dari sisi finansial, arus modal akan keluar (capital outflow)
menuju AS. Akibatnya, nilai tukar rupiah terdepresiasi.
Risiko
capital outflow dan nilai tukar menjadi pertimbangan utama Bank Indonesia
(BI) meramu kebijakan moneter. Sinyal ini bisa ditangkap suku bunga acuan
tidak lagi untuk mendukung pertumbuhan, tapi stabilisasi. Implisit, BI
menggeser strategi menjadi stability over growth.
Kemudian,
pergeseran kebijakan moneter BI dari “bias longgar” menjadi akomodatif dengan
kehati-hatian. Hasilnya, BI konsisten mempertahankan suku bunga acuan 7-day
reverse repo rate pada level 4,75 persen enam bulan terakhir sebagai sinyal
pengondisian.
Lalu,
dari sisi pengelolaan likuiditas, operasi pasar terbuka untuk tenor selain
satu pekan diserahkan pada mekanisme pasar. Melalui lelang, suku bunga pasar
(discount rate) dimungkinkan bervariasi mengikuti ketersediaan likuiditas.
Sasarannya, suku bunga simpanan dan pinjaman perbankan bisa dikontrol.
Kebijakan
awal tadi tampaknya berhasil. Pada akhir Februari, cadangan devisa mencapai
119,9 miliar dollar AS miliar. Defisit transaksi berjalan menyusut hingga 1,8
persen atas PDB. Dana asing yang masuk 26 triliun rupiah. Maka neraca
pembayaran surplus, dan nilai tukar rupiah stabil di kisaran 13.400.
Persoalannya
kemudian, apakah sejumlah indikator fundamental ekonomi makro tersebut cukup
kuat untuk meredam kemungkinan arus modal keluar? Kalau kuat, berapa lama
tahan menghadapi ujian beruntun sampai akhir tahun?
Suku Bunga
Secara
konseptual, stabilisasi nilai tukar bisa ditempuh melalui kebijakan suku
bunga acuan. Kebijakan menaikkan suku bunga acuan, misalnya, mendorong suku
bunga diferensial lintas negara lebih tinggi. Selanjutnya, ini akan menarik
arus modal masuk dan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah.
Sayang,
BI tidak secara eksplisit mengumumkan nilai tukar sasaran. Artinya, BI tidak
memiliki rujukan yang kokoh waktu nilai tukar dikatakan tertekan dan saat
tekanan tersebut mengendor. Ini berbeda kasus dengan stabilitas harga di mana
tekanan inflasi diukur dari target. Komplikasi muncul saat tujuan stabilitas
inflasi dan nilai tukar hendak dicapai bersamaan. Inflasi dan kurs terkait
dalam kerangka exchange ratepass-through. Riset Taguchi and Sohn (2014)
menyimpulkan derajat pass-through nilai tukar sangat lemah. Artinya,
pergerakan nilai tukar rupiah tidak terwakili sepenuhnya oleh fluktuasi
inflasi.
Konsekuensinya,
beban suku bunga acuan dalam mengawal rupiah semakin berat. Maka, BI tidak
bisa semata-mata menggantungkan hanya pada BI repo rate tanpa menggunakan
instrumen lain sebagai komplemennya. Konkretnya, untuk mengendalikan
volatilitas nilai tukar BI harus intervensi di pasar valuta asing.
Ini
hanya bisa dilakukan andai BI memiliki cukup cadangan devisa yang kini
relatif kecil terhadap pasar valuta. Lagi pula, dalam rezim devisa bebas,
cadangan valuta asing lebih banyak dipegang masyarakat luas, bukan BI.
Agaknya,
BI perlu berkaca dari pengalaman negara berkembang lain yang mengadopsi
“ketat” dalam menjaga inflasi (sesuai target) dalam praktiknya malahan
“fleksibel” terhadap nilai tukar. Frekuensi campur tangan di pasar valuta
asing menjadi lebih sering dan lebih sensitif terhadap pergerakan nilai tukar
riil.
Beberapa
tesis tersebut memperlihatkan bahwa dalam menjaga stabilitas rupiah BI
terbelenggu the impossibility of trinity. Mereka adalah kemustahilan mencapai
nilai tukar stabil, kebijakan moneter yang akomodatif, dan sekaligus rezim
devisa bebas.
Maka,
ketika Indonesia tetap mengadopsi rezim devisa bebas, untuk membuat rupiah
stabil atau tidak terdepresiasi tajam, mau tak mau kebijakan moneter BI harus
ketat (hawkish). Opsinya, menaikkan BI repo rate atau membiarkan inflasi
dalam negeri sedikit lebih tinggi atau terus-menerus mengintervensi pasar
valuta asing.
Ringkasnya,
problema yang dihadapi adalah upaya untuk mengejar stabilitas internal
(inflasi, suku bunga perbankan, dan likuiditas sektor keuangan) niscaya akan
mengesampingkan stabilitas eksternal (aliran modal, cadangan devisa, dan
nilai tukar), demikian pula sebaliknya.
Maka,
setiap ada rumor kenaikan Fed rate, banyak energi terkuras guna meredam
dampaknya secara internal dan eksternal. Masalahnya, dalam jangka waktu
sempit, pelaku ekonomi nasional, pemerintah, dan BI tidak memiliki banyak
alternatif solusi.
Konsekuensinya,
penguatan pasar finansial domestik, dengan sedikit proteksi, sepertinya
menjadi exit strategy yang layak untuk keluar dari berbagai dampak setelah
kenaikan Fed rate. Sebab kebijakan AS secara prinsip memberi peluang lebih
besar pada pemain dalam negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar