Mimpi-Mimpi
KH Hasyim Muzadi
Abdul Mu'ti ; Sekum PP Muhammadiyah; Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 17
Maret 2017
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun Artikel ini saya tulis
di Kompleks Pondok Pesantren al-Hikam 2, Depok. Selanjutnya disebut pondok.
Saya menulis di tengah ribuan manusia yang berkumpul untuk menyalatkan dan
mengikuti pemakaman KH Hasyim Muzadi.
Selanjutnya saya sebut Kiai Hasyim–sapaan akrab dan hormat
saya kepada beliau. Sejak pagi ribuan pelayat sudah menunggu kedatangan
jenazah pendiri dan pengasuh Pondok al-Hikam itu. Walaupun sudah sering
sekali mendengar perihal Pondok al-Hikam dari Kiai Hasyim sendiri maupun dari
anak dan menantu beliau, saya baru berkesempatan berkunjung pada saat
takziah, ketika Kiai Hasyim sudah wafat, kembali ke haribaan Allah, Sang
Khalik, yang menciptakan kehidupan dan kematian.
Saya mengenal beliau secara pribadi sejak 2002. Waktu itu
saya menjadi ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah dan Kiai Hasyim menjadi ketua
umum TanfidhiyahNU. Sejakitusaya sering bersama beliau dalam berbagai
kesempatan sebagai naib amirul haj, anggota Indonesia- United Kingdom Islamic
Advisory Board, seminar, dan kesempatan lainnya. Beberapa kali Kiai Hasyim
saya undang mengisi pengajian di PP Muhammadiyah, Jakarta.
Melalui berbagai pertemuan itulah, saya mengingat dengan
baik mimpi-mimpi Kiai Hasyim. Dalam berbagai kesempatan Kiai Hasyim
menceritakan panjang lebar tentang mimpimimpinya mengenai umat, bangsa, dan
alasan beliau mendirikan pondok. Pertama, mimpi tentang persatuan umat Islam.
Sebagai tokoh dan pemimpin NU, Kiai Hasyim sangat dekat dengan Muhammadiyah.
Semasa kepemimpinan Kiai Hasyim, hubungan NU dengan Muhammadiyah sangat
dekat.
Antara Kiai Hasyim dan Pak Din Syamsuddin terjalin
komunikasi yang akrab. Selain sama-sama alumnus Pondok Gontor, visi keumatan
dan kebangsaan keduanya banyak persamaan. Kata Kiai Hasyim dalam sebuah
kesempatan, Muhammadiyah dan NU itu ibarat sepasang sandal. Keduanya tidak
mungkin bertukar posisi, tapi tidak mungkin dipisahkan. Kalau antara sandal
kanan dan kiri tidak serasi, akan terlihat aneh dan ganjil.
Karena itu, semasa kepemimpinan Kiai Hasyim sering ada pernyataan
bersama antara Muhammadiyah dan NU. Pemimpin Muhammadiyah dan NU saling
mengunjungi tidak sebatas acara seremonial, tetapi juga personal, nonformal.
Kedua, mimpi membangun generasi muslim yang kuat. Mereka adalah generasi
muslim yang taat beribadah, mendalami agama, berakhlak mulia, menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta kekuatan ekonomi.
Atas dasar itulah, Kiai Hasyim mendirikan Pondok al-Hikam
dan sebuah sekolah tinggi agama. Santri Pondok al-Hikam adalah para mahasiswa
Universitas Indonesia (UI). Di kampus ternama ini para mahasiswa mempelajari
ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai bidang. Dari kampus mereka
mendapatkan bekal dan modal untuk memasuki dunia profesional dan global.
Bekal dan modal modernitas itu diperkuat dengan ilmu agama
yang memungkinkan mereka melakukan integrasi keilmuan dan memperkuat
keagamaan serta kepribadian muslim. Kiai Hasyim mendirikan sekolah tinggi
agama untuk anakanak muslim penghafal Alquran dari keluarga tidak mampu.
Mereka tidak dipungut biaya. Kiai Hasyim ingin sekali mengangkat
kesejahteraan ekonomi dan kehidupan melalui pendidikan.
Karena mereka belajar agama, Kiai Hasyim ingin memberikan
keterampilan hidup sehingga ketika kelak lulus mereka menjadi ulama yang
mandiri secara ekonomi. Dalam sebuah kesempatan Kiai Hasyim mengutarakan
niatnya mendirikan pabrik dan industri yang menampung para santri dari
keluarga tidak mampu. Ketiga, mimpi menjadikan Indonesia sebagai model Islam
rahmatan lil alamin.
Kiai Hasyim berkeinginan kuat meningkatkan rasa percaya
diri umat Islam Indonesia dan mengembangkan Islam yang ramah dan rahmah ala
Indonesia ke mancanegara. Kiai Hasyim tidak setuju dengan istilah dan konsep
Islam Nusantara yang menurutnya problematik. Membangun Islam yang rahmatan
lil alamin dimulai dari penampilan yang rapi dan tidak eksklusif. Kiai Hasyim
mengkritik penampilan muslim yang berjenggot dan jambang panjang, berewok,
dan pakaian yang kumal.
Kata Kiai Hasyim, penampilan tersebut tidak menarik dan
tidak membuat orang simpatik baik bagi sesama muslim apalagi bagi nonmuslim.
Mimpi Kiai Hasyim menjadikan Islam rahmatan lil alamin diwujudkan melalui
berbagai ikhtiar. Salah satunya membuka cabang istimewa NU di luar negeri.
Sekarang sudah berdiri cabang NU 20 negara lebih. Memang belum semua aktif,
tetapi sudah cukup menjadi awal internasionalisasi NU.
Bersama Din Syamsudin, Kiai Hasyim berusaha membawa
Indonesia berperan aktif dalam perdamaian internasional. Jika Din Syamsudin
mendirikan Centre for Dialogue and
Cooperation Among Civilization (CDCC) yang rutin menyelenggarakan World Peace Forum (WPF), Kiai Hasyim
mendirikan International Conference of
Islamic Scholar (ICIS).
Dengan dukungan pemerintah, khususnya Kementerian Luar
Negeri, dan berbagai pihak, ICIS berhasil menghadirkan para ulama dan umara
muslim dari berbagai negara untuk menyampaikan gagasan-gagasan besarnya
tentang dunia Islam yang damai dan maju. Kiai Hasyim bersama Din Syamsuddin
aktif di World Conference of Religion
for Peace (WCRP), sebuah forum lintas iman yang aktif menggalang
perdamaian dunia. Kini Kiai Hasyim sudah tiada.
Sekarang ini beliau mungkin sudah tersenyum bahagia
menggapai impiannya masuk surga. Tinggal bagaimana generasi bangsa, khususnya
umat Islam, dapat melanjutkan perjuangan dan mewujudkan mimpi-mimpinya.
Selamat jalan Kiai Hasyim Muzadi. Beristirahatlah dalam damai dan rida Allah
yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Sekarang atau nanti kami akan menyusulmu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar