Selasa, 21 Maret 2017

Yang Menghidupkan Hidup

Yang Menghidupkan Hidup
Hasanudin Abdurakhman  ;   Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
                                                  KOMPAS.COM, 03 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada anak orang kaya. Mereka dari kecil sudah kaya. Sampai besar dan dewasa, mereka tetap kaya. Bahkan tambah kaya. Lalu kita lihat diri kita. Kita tidak kaya sejak kecil. Hidup begini-begini saja, tidak ada perubahan. Kita ditakdirkan untuk hidup seperti ini.

Hidup sepertinya diikat oleh takdir. Kita bukan pengendali hidup kita. Hidup kita ditentukan oleh banyak faktor. Di keluarga mana kita lahir. Siapa saja yang ada di sekitar kita. Dengan siapa saja kita bertemu dan bergaul. Kebetulan apa saja yang pernah kita dapatkan dan menguntungkan kita. Pendek kata, kita ini makhluk tak berdaya dalam lautan takdir.

Benarkah?

Sebenarnya kita perlu melihat hidup dengan lebih lengkap. Ada anak orang kaya, dan tetap kaya, bahkan jadi lebih kaya. Tapi ada banyak juga anak orang kaya yang jatuh miskin semiskin-miskinnya.

Saya pernah menyaksikan sendiri, anak orang kaya, yang harta orang tuanya saya kira tak akan habis untuk beberapa keturunan. Tapi akhirnya saya menyaksikan anak tadi meninggal sebagai orang miskin.

Sebaliknya, ada begitu banyak anak orang miskin yang kemudian menjadi kaya raya. Atau, tadinya anak orang biasa, yang berubah jadi kaya raya.

Mari kita ambil contoh yang sangat terkenal, Bill Gates. Siapa dia? Dia bukan anak orang miskin. Bapaknya pengacara. Tapi orang tuanya bukan orang yang masuk dalam daftar orang terkaya dunia. Bill Gates sendiri yang memasukkan dirinya ke daftar itu.

Sebenarnya ini bukan sekadar soal kaya miskin. Kita sebenarnya tak perlu peduli soal kekayaan Bill Gates, karena juga tak mempengaruhi hidup kita.

Tapi siapa dari kita yang tak pernah bersentuhan dengan produk Microsoft, perusahaan yang didirikan Bill Gates? Ada milyaran penduduk dunia pernah memakainya.

Apa yang membuat Bill Gates menjadi seperti itu? Ada keluarga yang mendidiknya. Ada pula guru-guru dia, teman-teman dia, lingkungannya.

Tapi kenapa hanya Bill Gates yang jadi seperti itu, tidak semua orang di lingkungan itu? Karena faktor terbesar dari sukses Bill Gates, ada di tangannya sediri.

Sama halnya, anak-anak orang kaya yang saya sebut di awal tulisan ini, juga demikian. Yang bisa bertahan tetap kaya, atau menjadi lebih kaya, adalah yang melakukan sesuatu. Yang salah dalam menjalankan hidup, akan terjerembab.

Ya, demikian pula dengan saya dan Anda. Sukses atau terjerembab, ditentukan oleh tangan kita sendiri. Saya tahu, akan banyak orang yang mencoba membantah ini. Banyak orang percaya bahwa sukses itu adalah hasil dari berbagai kebetulan yang ada di sekitar kita. Baiklah. Kalau itu yang Anda harapkan, silakan tunggu kebetulan-kebetulan itu.

Kalau Anda tidak mau menunggu, maka kita harus bergerak. Kita tak boleh lagi menunggu kebetulan-kebetulan. Kita harus bergerak, membuat berbagai kesempatan datang kepada kita.

Di suatu kuliah saya di kampus, saya bicara tentang pentingnya penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Saya tekankan bahwa kunci penguasaan bahasa itu adalah memakainya dalam keseharian. Saya contohkan bagaimana para santri di Gontor, yang umumnya mahir berbahasa Inggris dan Arab, karena mereka setiap hari menggunakannya.

Seorang mahasiswa berkomentar. Menurut dia, lingkunganlah yang membuat anak-anak di Gontor itu menjadi mahir. Yang tidak berada di lingkungan itu, tidak akan mahir. Bagi dia, orang harus berada di lingkungan yang memaksa, untuk bisa melakukan sesuatu.

Saya ingatkan dia bahwa para santri itu berada di Gontor bukan kebetulan. Mereka ingin berada di sana, karena memang ingin bisa. Mereka tidak dipaksa. Mereka punya tujuan, lalu mereka pergi ke Gontor.

Tidak hanya itu. Perjanjian untuk selalu pakai bahasa Inggris dan Arab itu adalah sebuah komitmen. Yang memaksa bukan orang lain, tapi santri yang mengikatkan diri pada komitmen itu.

Nah, para mahasiswa di kelas saya tadi, yang tidak berada di Gontor, sebenarnya tinggal membuat komitmen yang sama. Mereka bisa bersepakat untuk bersama berbicara dalam bahasa Inggris. Yang melanggar dikenai sanksi, misalnya denda. Maka mereka akan mendapatkan lingkungan yang persis sama seperti Gontor.

Itulah contoh bagaimana perbedaan cara berpikir yang secara fundamental menentukan seseorang akan sukses atau tidak.

Ada orang-orang yang menganggap hidup ini ditentukan oleh berbagai faktor di luar dia. Singkat kata, ia menyerahkan kemudi kehidupannya kepada pihak lain. Atau, ia menyerahkan remote control kehidupannya kepada pihak lain.

Tidak. Jangan lakukan itu. Rebut kendali itu. Rebut kemudi atau remote control itu, kendalikan hidup dan nasib Anda sendiri.

Tapi bukankah lingkungan juga berpengaruh pada hidup kita? Ya, lingkungan berpengaruh. Tapi, bagaimana pengaruh lingkungan terhadap diri kita, lagi-lagi tetap tergantung pada bagaimana kita bersikap.

Saat Anda tercemplung di tengah laut, Anda berada pada suatu lingkungan. Apakah Anda akan mati tenggelam atau selamat, sangat tergantung pada bagaimana Anda bersikap saat itu.

Ringkasnya, jangan berfokus pada lingkungan, karena ia berada di luar kontrol kita. Fokuslah pada bagaimana kita bersikap terhadap lingkungan. Dalam hal itu, kita sepenuhnya memegang kendali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar