Nasionalisme
Baru di Eropa
A Agus Sriyono ; Diplomat; Pengamat Masalah-masalah Eropa
|
KOMPAS, 21 Maret 2017
Di
luar dugaan banyak pengamat, Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi
(VVD) memenangi pemilihan umum di Belanda, 15 Maret 2017. Partai ini mengungguli Partai Kebebasan
(PVV) yang dipimpin Geert Wilders yang semula diperkirakan akan menang.
Kekalahan Partai Kebebasan yang berhaluan populis kanan-ekstrem menimbulkan
pertanyaan: bagaimana prospek nasionalisme baru di Belanda dan Eropa serta
sejauh mana dampaknya bagi keutuhan Uni Eropa (UE)?
Kekalahan
Partai Kebebasan merupakan indikasi meredupnya nasionalisme baru yang sempat
dikhawatirkan mayoritas rakyat Belanda. Berbeda dengan nasionalisme
kewarganegaraan (civic nationalism) yang menghargai toleransi, persamaan, dan
hak- hak individu; nasionalisme baru berakar pada nasionalisme yang berbasis
etnisitas dan rasial. Meminjam pemikiran Benedict Anderson, nasionalisme
etnik dan ras merekonstruksi nation sebagai imagined community berdasarkan
kesamaan bahasa, keyakinan, dan keturunan sehingga berciri anti imigran.
Partai
Kebebasan menjadi ikon nasionalisme baru Belanda karena sikapnya yang anti
imigran, anti Uni Eropa, dan anti Islam. Geert Wilders, yang konon berdarah
Indonesia dari sisi ibu, dikenal mempunyai kesamaan ideologi dengan Marine Le
Pen (pemimpin Partai Front Nasional di Perancis), Norbert Hofer (pemimpin
Partai Kebebasan di Austria), dan Frauke Petry (pemimpin Partai Alternatif
Jerman).
Dengan
kekalahan ini, sulit bagi Partai Kebebasan untuk memegang kendali
pemerintahan karena partai-partai lain enggan berkoalisi. Selama ini,
pemerintahan Belanda senantiasa ditopang koalisi karena belum pernah terjadi
sebuah partai politik mendapatkan kursi di Parlemen (Tweede Kamer) setengah
plus satu (76 kursi) atau lebih. Dalam pemilu Belanda kali ini, dari 150
kursi di Parlemen, VVD memperoleh 33 kursi, sementara Partai Kebebasan 20
kursi.
Kilas balik
Nasionalisme
baru Belanda sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini
dianut dan diyakini. Bangsa Belanda pasca kolonialisme dikenal memiliki sikap
toleran serta menghargai persamaan antarmanusia dan keragaman budaya. Sejauh
ini, kaum pendatang dari kawasan Mediterania, Afrika, Antiles, dan Indonesia
umumnya hidup dalam harmoni dengan warga setempat.
Munculnya
populisme, xenofobia, dan rasisme di Belanda diperkirakan mulai muncul 1980
ketika Partai Sentral (CP) yang berhaluan sayap-kanan nasionalis untuk
pertama kali memperoleh kursi di Parlemen. Kampanye yang diusung saat itu
antara lain ”Our own people first” dan ”The Netherlands is only for the
Dutch”. Saat itu, CP ditentang sebagian besar masyarakat Belanda karena
dinilai fasis dan diskriminatif.
Dua
puluh tahun kemudian, Pim Fortuyn mendirikan Partai Pim Fortuyn List (LPF).
Melalui tema kampanye anti imigran Muslim, LPF untuk pertama kalinya
mengalahkan Partai Buruh dalam pemilihan lokal di Rotterdam pada 2002. Namun,
karena pandangannya, Fortuyn kemudian tewas dibunuh oleh Volkert van der
Graaf. Sejak itu, gerakan populis kanan-ekstrem justru berkembang dan
aspirasi mereka kemudian ditampung Partai Kebebasan.
Dari
kajian sejumlah ahli, seperti Benedict Anderson, Roger Smith, dan Andreas
Wimmer, dapat ditarik benang merah bahwa nasionalisme baru di Belanda tumbuh
kerena adanya pergeseran imajinasi tentang ”nasion” akibat meningkatnya
jumlah kaum imigran yang dinilai tidak mampu berintegrasi dengan bangsa
Belanda.
Kaum
pendatang yang dibayangkan sebagai komunitas non-Belanda dilihat sebagai
ancaman budaya, identitas nasional, bahkan kesejahteraan bangsa Belanda.
Mereka dianggap bukan pemilik sah negeri Belanda.
Dalam
perspektif universal, memang nasionalisme baru tidak sejalan dengan
nilai-nilai kemanusiaan karena sifatnya yang diskriminatif dan rasistis.
Hasil pemilihan umum di Belanda baru-baru ini mengindikasikan bahwa mayoritas
rakyat menolak partai politik populis kanan-ekstrem yang bercita-cita
menciptakan nasionalisme baru.
Namun,
perlu dicatat, meski Partai Kebebasan tidak memenangi pemilihan umum kali ini,
perolehan kursi mereka bertambah dari 15 kursi (2012) menjadi 20 kursi. Ini
berarti Partai Kebebasan masih eksis di tengah tarik-menarik antara paham
nasionalisme konvensional dan nasionalisme baru.
Efek domino
Kekalahan
Partai Kebebasan diperkirakan akan punya efek domino terhadap negara-negara
lain di Eropa. Di samping Belanda, saat ini benih gerakan populis
kanan-ekstrem juga berkembang di Perancis, Jerman, Spanyol, Yunani, Italia,
Inggris, dan Austria. Sebelumnya, calon presiden Partai Kebebasan di Austria,
Norbert Hofer, juga kalah dalam pemilu 4 Desember 2016. Ini berarti dalam
empat bulan terakhir sudah dua partai populis kanan-ekstrem di Eropa kalah
dalam pemilihan nasional.
Meski
konstelasi politik berbeda, kekalahan Partai Kebebasan Belanda diperkirakan
akan memengaruhi pemilih di Perancis dan Jerman. Pemilu Perancis akan
diselenggarakan pada 23 April 2017, sementara di Jerman 24 September 2017.
Jika dalam pemilu di kedua negara partai-partai populis kanan-ekstrem juga
mengalami kekalahan, hampir dipastikan nasionalisme baru Eropa akan pudar.
Potensi disintegrasi
Dampak
lain yang mungkin ditimbulkan, apabila partai-partai populis kanan-ekstrem
kalah dalam pemilihan umum, adalah potensi disintegrasi UE yang semakin kecil
atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Hal ini karena partai-partai populis
kanan-ekstrem memiliki kebijakan anti Uni Eropa. Kalau UE tetap bersatu,
Inggris yang segera meninggalkan UE niscaya terisolasi dari komunitas Eropa.
Geert
Wilders selama kampanye berjanji memperjuangkan ”Nexit” (Netherlands Exit),
sebuah ajakan agar Belanda keluar dari UE melalui sebuah referendum,
sebagaimana dilakukan Inggris. Alasannya, UE telah merampas uang, identitas,
demokrasi, dan kedaulatan Belanda serta Eropa.
Bagi
Wilders, keluar dari UE berarti mengembalikan kedaulatan negara. Wilders
ingin mencontoh Swiss, negara yang independen dan berdaulat tanpa perlu
bergabung dengan UE. Namun, dengan kekalahan Partai Kebebasan, ”Nexit”
menjadi jauh dari harapan.
Dengan
redupnya nasionalisme baru, baik di Belanda maupun Eropa serta tetap kokohnya
UE, diharapkan ke depan stabilitas kawasan Eropa tetap terjaga dan benturan
peradaban dapat dihindari. Intoleransi, xenofobia, diskriminasi, dan rasisme
merupakan sumber konflik dan instabilitas. Keberadaan UE dapat merupakan
salah satu forum pencegahan dan penyelesaian konflik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar