Yaelahh.
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 26 Maret 2017
Waktu
seorang staf saya mengunggah foto dengan keterangan yang menggambarkan bahwa
ia tak mampu menaiki tangga sebanyak 250 di Gunung Bromo, tiga temannya memberikan
komentar seperti ini.
Satu
orang mengomentari seperti ini. "Gakberasa, kok." Satu lagi sangat
singkat. "Jompoooo!" Dengan tambahan emoticontertawa di
belakangnya. Yang terakhir menulis dengan tajam. "Yaelahhh cumasegitu
doang deh tangganya. Tanggung, deh!"
Aku bisa, kamu bisa
Sungguh
saya tertarik pada ketiga komentar itu, dan komentar itulah yang memberi ide
untuk menulis dan menyuguhkannya pada bapak, ibu, dan saudara-saudari
sekalian. Saya tak mengenal ketiga orang yang memberi komentar itu. Saya juga
tak mewawancarai mereka mengapa mereka sampai menulis komentar semacam itu.
Saya
berasumsi bahwa komentar yang pertama bertujuan meyakinkan bahwa menaiki
tangga dengan anak tangga sejumlah 250 itu tak akan membuat seseorang
kelelahan, dan itu akan dijalani dengan sangat cepat sampai tak berasa.
Komentar
kedua yang super singkat saya yakin itu hanya guyonan semata meski menyindir.
Saya tahu bahwa itu menyindir karena ada emoticon yang ditambahkan
setelahnya. Kadang untuk menetralkan komentar yang seperti belati paling
mudah menambahkan emoticon semacam itu.
Komentar
ketiga saya berasumsi bahwa ia melecehkan kemampuan staf saya. Cuma 250 anak
tangga doang saja tak bisa diselesaikan. Jenis komentar seperti yang terakhir
ini sering digunakan untuk menjadi pecut agar seseorang bisa menyelesaikan
apa pun sampai garis akhir.
Ketiga
komentar itu mengingatkan saya pada ungkapan, kalau aku bisa, kamu juga bisa.
Kalau aku kuat sampai ke puncak, kamu juga kuat dan bisa sampai ke puncak.
Kalau aku bisa juara satu, kamu juga bisa juara satu. Kalau aku merasa itu
cuma segitu doang, kamu juga bisa berpikir bahwa itu cuma segitudoang.
Namun,
benarkah demikian? Saya percaya bahwa ketiganya hanya mengomentari tanpa
berpikir panjang. Mereka mengomentari dari sudut pandang mereka semata. Saya
juga tak tahu, apakah mereka tahu bahwa pergelangan kaki staf saya baru
selesai sembuh dari keseleo gara-gara main basket karena kakinya tak kuat
menyanggah berat badannya.
Kebesaran atau kekecilan
Di
masa saya masih anak-anak dan remaja, saya sering dicekoki falsafahyaelah
cuma segitu doang. Falsafah enggak berasa kok. Gara-gara itu saya tumbuh
menjadi manusia yang malah tidak percaya diri.
Saya
acap kali memaksakan diri untuk bisa seperti mereka yang mengatakan dengan
ringan yaelah cuma segitu doang, padahal saya tahu kemampuan saya tak bisa
seperti mereka. Maka, saya tertatih-tatih oleh sebuah keadaan.
Sekarang
saya menyadari bahwa kepala sekolah saya di masa sekolah dasar dulu
mengatakan, kepandaian saya seperti ayam tanpa otak karena tidak pandai
berhitung. Itu mungkin ia berpikir seperti ketiga manusia di atas.
Bahwa
kalau murid yang lainnya bisa, saya juga seharusnya bisa. Mungkin di masa itu
kepala sekolah saya juga berkata dalam hati, yaelah cuma segitu doang masak
gak bisa. Tetapi, apa kenyataannya?
Yang
juara satu itu hanya ada satu. Berarti sisa murid lainnya tidak mampu menjadi
juara. Kalaupun juara, hanya di posisi dua atau tiga. Jadi, kalau aku bisa
juara, kamu belum tentu bisa jadi juara. Tetapi, rupanya dunia tak suka
dengan falsafah itu sehingga falsafah kalau aku bisa juara, kamu bisa juara
tetap dikakukan sampai hari ini meski memakan korban.
Bagaimana
kalau staf saya merasa bahwa Gunung Bromo itu tinggi untuk ukurannya? Mengapa
orang harus memaksakan ukuran mereka untuk staf saya yang berbeda dengan
mereka, dan mengatakan dengan ringan yaelahcuma segitu doang?
Bagaimana
kalau sekarang saya yang suka durian memaksa mereka yang tidak suka durian
untuk menyantapnya dengan mengatakan gak berasa, kok, baunya, enak banget.
Yaelah bau cuma segitu aja uda nyerah. Tanggung deh! Bagaimana kalau begitu?
Membaca
komentar tiga anak manusia itu mengingatkan saya pada kegiatan profesional
setiap hari. Ada klien yang selalu mengatakan bahwa kita mesti seperti bank
itu, mesti seperti perusahaan itu. Saya sampai berpikir mengapa harus begitu?
Mengapa senang sekali memakai pakaian orang lain untuk ukuran badan kita yang
berbeda?
Dan,
di sisi lain, mengapa orang lain juga merasa senang sekali mendandani diri
kita dengan menggunakan pakaian mereka, dengan cara mereka berdandan?
Bagaimana kalau nanti kekecilan atau bahkan kebesaran?
Apakah
mungkin kesenangan yang sesungguhnya itu justru melihat orang lain kesesakan
atau kebesaran? Melihat orang lain terengah-engah seperti orang jompo yang
dipaksa naik gunung? ●
|
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut