Untuk
Siapa Revisi UU KPK?
Herie Purwanto ; Perwira Menengah Bareskrim Polri; Penyidik
KPK
|
SUARA
MERDEKA, 18 Maret 2017
RENCANA revisi UU KPK kembali menjadi polemik. Berbagai
wacana perubahan terhadap KPK dianggap akan melemahkan lembaga antirasuah
itu. Seperti soal penyadapan yang diperketat, dibentuknya dewan pengawas
untuk KPK, dan soal SP3 (penghentian kasus). Sejak Februari lalu, DPR melalui
Badan Keahlian DPR (BKD) mulai aktif ke kampus- kampus dengan ”misi”
menyosialisasikan revisi tersebut dengan bahasa yang lebih halus, yaitu
revisi UU KPK untuk memperkuat KPK.
Kembali mencuatnya wacana DPR merevisi Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap berkaitan
dengan penanganan kasus korupsi dalam pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis
elektronik (EKTP). Kasus itu kini telah masuk tahap persidangan.
Upaya revisi undang-undang dinilai cara legal untuk balik
menyerang KPK. ”Dakwaan EKTP memang menyebutkan nama-nama pejabat publik yang
diduga menerima aliran dana. Artinya, revisi UU KPK diduga keras merupakan
upaya melemahkan KPK dalam penanganan perkara tersebut,” ujar Kepala Divisi
Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Ester.
Febri Diansyah mengatakan, ada empat poin penting revisi
UU KPK yang dapat berimplikasi langsung terhadap kewenangan KPK dalam
melaksanakan tugasnya. Satu di antaranya yakni terkait penyadapan yang harus
dilakukan berdasarkan persetujuan dari Dewan Pengawas. Terlebih Dewan
Pengawas itu dibentuk oleh DPR. Lalu, penetapan tersangka harus diajukan di
tingkat penyidikan. Hal ini dinilai dapat mengurangi jumlah operasi tangkap
tangan (OTT). Pasalnya, OTT biasa dilakukan saat penyelidikan dan KPK harus
mengambil sikap 1×24 jam atas OTTtersebut. ”Kami berharap tidak ada pihak
yang berniat melemahkan KPK,” jelasnya, Senin (13/3) di Gedung KPK.
Menurut Febri, KPK tidak memerlukan adanya revisi
tersebut. Dalam artian, UU No 30/2002 itu telah mencukupi. ”Revisi ini
berpotensi melemahkan karena ada risiko yang besar. Substansinya dapat
membahayakan kerja KPK ke depan,” tutupnya. Dalam paradigma tersebut,
pertanyaan yang muncul adalah, untuk siapa revisi UU KPK? Tulisan ini lebih
pada pendapat pribadi penulis yang saat ini ditugaskan oleh Bareskrim Mabes
Polri sebagai penyidik KPK.
Akomodatif
Dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi, kewenangan
yang diberikan negara kepada KPK sudah lebih dari cukup. Pada kondisi seperti
sekarang, penulis sangat merasakan betapa bedanya kewenangan tersebut. Bahkan
bila dianalogkan, kewenangan penyidikan korupsi oleh KPK ibarat mobil yang
sudah dilengkapi dengan kapasitas silinder 2500 CC. Di bandingkan kewenangan
penyidikan oleh Kejaksaan maupun Kepolisian yang masih di bawah 2500 CC.
Artinya, proses pemberantasan korupsi oleh KPK (tanpa mengabaikan peran dan
fungsi pencegahan di dalamnya) yang menjadi core bisnis lembaga antirasuah
tersebut, berada pada sistem yang untuk saat ini, belum membutuhkan perubahan
regulasi. Kewenangan yang sekarang dimiliki KPK dan dipersepsikan sebagai
superbody, menjadi ciri khas dan peneguhan amanat negara, bahwa memang
sejatinya pembentukan KPK harus seperti itu. Konsep pembentuk undang-undang,
sudah mengakomodasi dinamika yang akan dihadapi KPK.
Kewenangan seperti penyadapan, tata cara pemanggilan
sebagai saksi atau tersangka para pejabat negara, ataupun penggunaan
anggaran, menjadikan penyidikan korupsi oleh penyidik KPK seperti berjalan di
ruas jalur tol. Bebas hambatan. Proses penyidikan yang independen, meskipun
di bawah pengendalian kelima pimpinan KPK, dijamin bebas intervensi. Pimpinan
yang bersifat kolektif kolegial, menutup peluang intervensi.
Setiap ekspose
perkara, baik level pimpinan maupun penyidik bisa langsung
berinteraksi, berargumentasi dan saling menguatkan pendapat hukum satu dengan
lainnya. Sehingga output dari ekspose atau gelar perkara adalah keputusan
yang memenuhi unsur dan fakta yuridis. Proses ini, bisa meletakkan KPK pada
level kepercayaan yang tinggi dari masyarakat dalam pemberantasan korupsi di
negeri ini. Bahkan, beberapa negara seperti Malaysia dan Hongkong mengakui
sepak terjang KPK yang kian menunjukkan integritasnya dalam pemberantasan
korupsi.
Hambatan dalam proses penyidikan korupsi yang penulis
alami saat sebelum bergabung di KPK, hampir tidak ditemui. Semua proses, dari
awal adanya laporan adanya dugaan tindak pidana korupsi, proses penyelidikan,
penyidikan hingga penuntutan sudah berjalan on the track. Menumpuknya perkara
di KPK, bukan karena adanya hambatan pada sisi teknis penyidikannya, namun
lebih pada kuantitas penyidiknya yang memang terbatas, dibanding dengan
kuantitas perkara yang harus ditangani. Jadi, apabila apa yang sudah ”pas”
sekarang dirasakan oleh jajaran KPK untuk menjalankan kewenangan sebagai
trigger mecanishm (menjadi stimulus) dalam pemberantasan korupsi, untuk apa
harus membahas revisi UU KPK? Justru yang ada dan sangat memungkinkan terjadi
adalah hasil yang kontraproduktif dari keadaan yang sekarang ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar