Senin, 27 Maret 2017

Meluruskan Informasi Aturan Taksi Online yang Merugikan Publik

Meluruskan Informasi Aturan Taksi Online
yang Merugikan Publik
Agus Pambagio  ;   Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
                                                    DETIKNEWS, 23 Maret 2017


                                                                                                                       
                                                                                                                                                           

Seperti kita ketahui bersama bahwa Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, tengah melakukan revisi Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No. 32 Tahun 2016 Tentang Penyelenggara Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. PM No. 32 Tahun 2016 dimaksudkan untuk menata angkutan umum tidak dalam trayek, seperti taksi, kendaraan antar jemput, kendaraan sewa dan sejenisnya. Tidak termasuk di dalamnya angkutan umum dalam trayek, seperti angkutan kota/desa, apalagi ojek.

Sayangnya sejak isu ini muncul menjelang akan diberlakukannya revisi PM No. 32/2016 pada 1 April 2017, masyarakat mendapatkan pemahaman yang salah dari berbagai sumber yang salah karena hampir semua media, baik konvensional, elektronik maupun online pemberitaannya salah dan menyesatkan publik. Kondisi runyam informasi ini bertambah parah ketika muncul pernyataan-pernyataan yang cenderung ngawur di berbagai media sosial, sayangnya informasi ngawur ini di teruskan secara masal baik melalui kelompok ataupun perorangan yang berperan sebagai buzzer sehingga menjadi trending topic di media sosial.

Sebagai contoh munculnya pertikaian brutal antara kelompok pengemudi angkot dan ojek online di lebih dari 11 daerah, seperti Bogor dan Tangerang dan sebagainya merupakan disiarkan secara gegap gempita di media sosial maupun media mainstream, merupakan bukti bahwa publik tidak paham apa isi dan tujuan Revisi PM No. 32/2016. Publik lebih percaya pada trending topic di media sosial. Sayangnya tidak ada penjelasan resmi dari Pemerintah/Pemerintah Daerah terkait dengan persoalan ini.

Padahal Revisi PM 32 Tahun 2016 bertujuan untuk membuat medan usaha menjadi adil tanpa menghancurkan salah satu dari 2 jenis taksi terebut. Di sisi konsumen juga mempunyai pilihan, keamanan dan kepastian yang baik karena semua taksi harus menerapkan standar pelayanan minimum.

Selain itu negara juga mendapatkan bagian pajak yang dibayarkan konsumen ke perusahaan aplikasi. Sebelas (11) poin di Revisi PM No. 32/2016 dimaksudkan untuk itu. Keributan antara sopir angkot dengan ojek online sudah pada tahap yang mengkhawatirkan dan berpotensi ke arah kerusuhan sosial atau social unrest jika tidak segera ditangani dengan serius oleh aparat keamanan dan masing-masing Pemerintah Daerah.

Apa yang Sebenarnya Terjadi di Lapangan?

Seperti kita ketahui PM No. 32 Tahun 2016 ditujukan untuk kendaraan umum roda empat bukan dalam trayek atau biasa disebut kendaraan taksi. PM No. 32 Tahun 2016 diterbitkan untuk supaya medan kompetisi antara taksi konvensional/resmi vs taksi onlne (Uber dan Grab) sama, sehingga mereka dapat bersaing dengan sehat dan konsumen mempunyai pilihan serta mendapatkan pelayanan yang baik.

Namun dalam perjalanannya taksi online, yang belum ada aturannya tetapi sudah beroperasi, menjadi lebih laris dicari konsumen karena tarifnya lebih murah. Mengapa bisa lebih murah? Mudah, karena taksi online tidak perlu keluar biaya untuk uji laik jalan, tidak perlu bayar berbagai perizinan (izin usaha taksi, izin taksi bandara, izin lingkungan untuk pool dsb), pengemudi tidak perlu pakai SIM khusus, tidak perlu bangun pool, tidak perlu bayar pajak, tidak perlu asuransi dsb. Ditambah lagi adanya subsidi tunai dari venture capitalist atau pemodalnya, jelas taksi online tarifnya lebih murah dari taksi konvensional/resmi.

Terkait dengan kondisi itu, maka Kementerian Perhubungan menerbitkan PM No. 32 Tahun 2016 supaya kondisi persaingan seimbang. Sayangnya karena menuai protes pengemudi taksi online, akibatnya PM tersebut tidak langsung diterapkan tetapi ditunda hingga 6 bulan untuk segera direvisi. Injury time ini ternyata dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak paham apa tujuannya angkutan umum tidak bertrayek diatur. Maka terjadi kegaduhan yang tidak membuat angkutan umum menjadi lebih baik, bahkan bertambah hancur.

Ini contoh bahwa bangsa Indonesia memang mudah dipecah belah dan dihasut. Kegaduhan Angkot vs Ojek tidak ada hubungannya dengan revisi PM No. 32 Tahun 2016 karena sekali lagi PM tersebut untuk mengatur kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek, seperti taksi, kendaraan antar jemput, kendaraan sewa termasuk kendaraan taksi online. Sedangkan angkot merupakan kendaraan bermotor umum dalam trayek dan ojek merupakan kendaraan ilegal karena dalam UU No. 22 Tahun 2009 tidak ada angkutran bermotor umum roda dua (motor), baik yang konvensional maupun online.

Bagaimana bisa ketika Revisi PM No. 32 Tahun 2016 akan diberlakukan pada tanggal 1 April 2017, lalu muncul berbagai keributan antara angkot dengan ojek? Sayangnya tidak ada satupun Menteri atau Kepala Daerah yang melakukaan tindakan komprehensif supaya tidak terjadi kerusuhan yang semakin meluas. Sampai hari ini kerusuhan angkot vs ojek sudah ada di 11 kota atau bahkan lebih.

Langkah-Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah

Pertama, pastikan bahwa tanggal 1 April 2017, Revisi PM No. 32 Tahun 2016 sudah berlaku. Posisi dokumen Revisi PM sampai hari ini masih di Kementerian Perhubungan dan belum ditandatangani oleh Menteri. Setelah Menhub tanda tangan, dokumen harus segera dikirim ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diverifikasi dan diberi nomor serta diberlakukan. Proses ini memerlukan waktu, sementara tanggal 1 April 2017 tinggal beberapa hari lagi, maka Kementerian Perhubungan dan Kementerian Hukum dan HAM harus bekerja cepat tapi akurat.

Setelah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, segera saja diberlakukan pada 1 April 2017. Jangan lagi ada tenggang waktu karena penundaan selama 6 bulan kemarin sudah cukup dan membuat banyak kegaduhan yang merugikan publik dan berdampak buruk pada penegakan hukum.

Berlakukan segera dan aparat Dinas Perhubungan dan Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Kepolisian Daerah segera melakukan penegakan hukum. Berhubung dashboard operasi taksi online belum diserahkan oleh pemilik aplikasi, maka penegakan hukum dapat dilakukan secara manual untuk sementara.

Kedua, supaya semua Pemerintah Daerah, yang memberi izin taksi online beroperasi, harus segera membuat Peraturan Daerah dan turunannya untuk penetapan batas atas dan bawah tarif serta kuota seusai kebutuhan masing-masing daerah.

Ketiga, sesuai dengan 11 poin di Revisi PM No. 32 Tahun 2016, masing-masing Pemda harus melakukan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada secara adil pada kedua jenis taksi. Salam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar