Meluruskan
Informasi Aturan Taksi Online
yang
Merugikan Publik
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan
Konsumen
|
DETIKNEWS, 23 Maret 2017
Seperti
kita ketahui bersama bahwa Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan,
tengah melakukan revisi Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No. 32 Tahun 2016
Tentang Penyelenggara Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak
Dalam Trayek. PM No. 32 Tahun 2016 dimaksudkan untuk menata angkutan umum
tidak dalam trayek, seperti taksi, kendaraan antar jemput, kendaraan sewa dan
sejenisnya. Tidak termasuk di dalamnya angkutan umum dalam trayek, seperti
angkutan kota/desa, apalagi ojek.
Sayangnya
sejak isu ini muncul menjelang akan diberlakukannya revisi PM No. 32/2016 pada
1 April 2017, masyarakat mendapatkan pemahaman yang salah dari berbagai
sumber yang salah karena hampir semua media, baik konvensional, elektronik
maupun online pemberitaannya salah dan menyesatkan publik. Kondisi runyam
informasi ini bertambah parah ketika muncul pernyataan-pernyataan yang
cenderung ngawur di berbagai media sosial, sayangnya informasi ngawur ini di
teruskan secara masal baik melalui kelompok ataupun perorangan yang berperan
sebagai buzzer sehingga menjadi trending topic di media sosial.
Sebagai
contoh munculnya pertikaian brutal antara kelompok pengemudi angkot dan ojek
online di lebih dari 11 daerah, seperti Bogor dan Tangerang dan sebagainya
merupakan disiarkan secara gegap gempita di media sosial maupun media
mainstream, merupakan bukti bahwa publik tidak paham apa isi dan tujuan
Revisi PM No. 32/2016. Publik lebih percaya pada trending topic di media
sosial. Sayangnya tidak ada penjelasan resmi dari Pemerintah/Pemerintah
Daerah terkait dengan persoalan ini.
Padahal
Revisi PM 32 Tahun 2016 bertujuan untuk membuat medan usaha menjadi adil
tanpa menghancurkan salah satu dari 2 jenis taksi terebut. Di sisi konsumen
juga mempunyai pilihan, keamanan dan kepastian yang baik karena semua taksi
harus menerapkan standar pelayanan minimum.
Selain
itu negara juga mendapatkan bagian pajak yang dibayarkan konsumen ke
perusahaan aplikasi. Sebelas (11) poin di Revisi PM No. 32/2016 dimaksudkan
untuk itu. Keributan antara sopir angkot dengan ojek online sudah pada tahap
yang mengkhawatirkan dan berpotensi ke arah kerusuhan sosial atau social
unrest jika tidak segera ditangani dengan serius oleh aparat keamanan dan
masing-masing Pemerintah Daerah.
Apa yang Sebenarnya
Terjadi di Lapangan?
Seperti
kita ketahui PM No. 32 Tahun 2016 ditujukan untuk kendaraan umum roda empat
bukan dalam trayek atau biasa disebut kendaraan taksi. PM No. 32 Tahun 2016
diterbitkan untuk supaya medan kompetisi antara taksi konvensional/resmi vs
taksi onlne (Uber dan Grab) sama, sehingga mereka dapat bersaing dengan sehat
dan konsumen mempunyai pilihan serta mendapatkan pelayanan yang baik.
Namun
dalam perjalanannya taksi online, yang belum ada aturannya tetapi sudah
beroperasi, menjadi lebih laris dicari konsumen karena tarifnya lebih murah.
Mengapa bisa lebih murah? Mudah, karena taksi online tidak perlu keluar biaya
untuk uji laik jalan, tidak perlu bayar berbagai perizinan (izin usaha taksi,
izin taksi bandara, izin lingkungan untuk pool dsb), pengemudi tidak perlu
pakai SIM khusus, tidak perlu bangun pool, tidak perlu bayar pajak, tidak
perlu asuransi dsb. Ditambah lagi adanya subsidi tunai dari venture
capitalist atau pemodalnya, jelas taksi online tarifnya lebih murah dari
taksi konvensional/resmi.
Terkait
dengan kondisi itu, maka Kementerian Perhubungan menerbitkan PM No. 32 Tahun
2016 supaya kondisi persaingan seimbang. Sayangnya karena menuai protes
pengemudi taksi online, akibatnya PM tersebut tidak langsung diterapkan
tetapi ditunda hingga 6 bulan untuk segera direvisi. Injury time ini ternyata
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak paham apa tujuannya angkutan umum
tidak bertrayek diatur. Maka terjadi kegaduhan yang tidak membuat angkutan
umum menjadi lebih baik, bahkan bertambah hancur.
Ini
contoh bahwa bangsa Indonesia memang mudah dipecah belah dan dihasut.
Kegaduhan Angkot vs Ojek tidak ada hubungannya dengan revisi PM No. 32 Tahun
2016 karena sekali lagi PM tersebut untuk mengatur kendaraan bermotor umum
tidak dalam trayek, seperti taksi, kendaraan antar jemput, kendaraan sewa
termasuk kendaraan taksi online. Sedangkan angkot merupakan kendaraan
bermotor umum dalam trayek dan ojek merupakan kendaraan ilegal karena dalam
UU No. 22 Tahun 2009 tidak ada angkutran bermotor umum roda dua (motor), baik
yang konvensional maupun online.
Bagaimana
bisa ketika Revisi PM No. 32 Tahun 2016 akan diberlakukan pada tanggal 1
April 2017, lalu muncul berbagai keributan antara angkot dengan ojek?
Sayangnya tidak ada satupun Menteri atau Kepala Daerah yang melakukaan
tindakan komprehensif supaya tidak terjadi kerusuhan yang semakin meluas.
Sampai hari ini kerusuhan angkot vs ojek sudah ada di 11 kota atau bahkan
lebih.
Langkah-Langkah yang Harus
Dilakukan Pemerintah
Pertama,
pastikan bahwa tanggal 1 April 2017, Revisi PM No. 32 Tahun 2016 sudah berlaku.
Posisi dokumen Revisi PM sampai hari ini masih di Kementerian Perhubungan dan
belum ditandatangani oleh Menteri. Setelah Menhub tanda tangan, dokumen harus
segera dikirim ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diverifikasi dan diberi
nomor serta diberlakukan. Proses ini memerlukan waktu, sementara tanggal 1
April 2017 tinggal beberapa hari lagi, maka Kementerian Perhubungan dan
Kementerian Hukum dan HAM harus bekerja cepat tapi akurat.
Setelah
disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, segera saja diberlakukan pada 1
April 2017. Jangan lagi ada tenggang waktu karena penundaan selama 6 bulan
kemarin sudah cukup dan membuat banyak kegaduhan yang merugikan publik dan
berdampak buruk pada penegakan hukum.
Berlakukan
segera dan aparat Dinas Perhubungan dan Pemerintah Daerah bersama-sama dengan
Kepolisian Daerah segera melakukan penegakan hukum. Berhubung dashboard
operasi taksi online belum diserahkan oleh pemilik aplikasi, maka penegakan
hukum dapat dilakukan secara manual untuk sementara.
Kedua,
supaya semua Pemerintah Daerah, yang memberi izin taksi online beroperasi,
harus segera membuat Peraturan Daerah dan turunannya untuk penetapan batas
atas dan bawah tarif serta kuota seusai kebutuhan masing-masing daerah.
Ketiga,
sesuai dengan 11 poin di Revisi PM No. 32 Tahun 2016, masing-masing Pemda
harus melakukan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang ada secara adil pada kedua jenis taksi. Salam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar