Setengah
Hati Pengadilan Tipikor
Aradila Caesar Ifmaini Idris ; Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS, 18 Maret 2017
Pengadilan tipikor kembali menunjukkan ketidakberpihakan
terhadap upaya pemberantasan korupsi. Beberapa tahun terakhir, pengadilan
tipikor cenderung menjatuhkan hukuman ringan bagi pelaku korupsi. Kini, vonis
ringan bagi koruptor kembali terulang.
Dalam penelitian Tren Vonis Pengadilan Tipikor Tahun 2016,
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 448 terdakwa kasus korupsi divonis
ringan (pidana penjara satu tahun hingga empat tahun) oleh pengadilan
tipikor. Kondisi ini tidak mengalami perubahan selama lebih dari empat tahun.
Vonis ringan pengadilan tipikor kepada terdakwa kasus
korupsi bukan hanya terjadi pada 2016. ICW mencatat sejak 2012 fenomena
penjatuhan hukuman ringan bagi pelaku korupsi terus terjadi dan menunjukkan
peningkatan. Pada 2013, ICW mencatat ada 395 terdakwa yang divonis ringan
dari total 501 terdakwa yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan tipikor.
Tahun 2014, sedikitnya ada 372 terdakwa yang divonis ringan dan pada 2015 ada
400 terdakwa.
Penjatuhan vonis ringan bagi mayoritas pelaku korupsi
menunjukkan adanya persoalan serius di tubuh pengadilan tipikor. Publik
pantas kecewa dengan pengadilan tipikor, mengingat kehadirannya diharapkan
mampu membawa perubahan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Namun, pada praktiknya, pengadilan tipikor tidak
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Pengadilan tipikor justru cenderung menjatuhkan hukuman ringan bagi pelaku
korupsi. Dalam konteks penjatuhan hukuman, hampir tidak ada perbedaan
signifikan antara korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan kejahatan biasa
lainnya, seperti pencurian atau penipuan.
Lahirnya pengadilan
tipikor sebagai pengadilan yang khusus menangani perkara tindak pidana
korupsi tidak bisa dilepaskan dari semangat pemberantasan korupsi yang masif.
Hal ini karena korupsi sudah dipandang sebagai kejahatan serius yang memiliki
dampak sangat luas dan merusak. Korupsi juga telah menjelma menjadi kejahatan
terhadap hak asasi manusia. Sayangnya, pengadilan tipikor belum berhasil
menjalankan mandat pembentukannya. Fenomena penjatuhan hukuman ringan jelas
kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi secara lebih luas.
Fenomena vonis ringan bagi pelaku korupsi bertentangan
dengan rasa keadilan masyarakat sebagai korban korupsi. Masyarakat tentu
berharap pengadilan tipikor dapat menjatuhkan hukuman lebih berat kepada
pelaku korupsi, mengingat korupsi berdampak luas dan merupakan kejahatan
terhadap hak asasi manusia.
Memberikan hukuman yang lebih berat kepada pelaku korupsi
merupakan bentuk keberpihakan pengadilan kepada masyarakat yang menjadi
korban korupsi. Selain mempertimbangkan keadilan bagi pelaku, pengadilan
tipikor sudah sewajibnya mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Maka,
tidak berlebihan kiranya jika publik mengharapkan adanya pemberatan hukuman
bagi pelaku korupsi.
Akar masalah
Persoalan vonis ringan bagi pelaku korupsi tentu perlu
ditinjau secara lebih mendalam yang menjadi penyebabnya. Namun, secara
sederhana persoalan vonis ringan dapat disebabkan alasan non-teknis dan
teknis. Dalam hal non-teknis, pola perekrutan dan pembinaan hakim tipikor
memainkan peran penting. Mustahil mendapatkan hakim yang kompeten dengan
proses perekrutan dan pembinaan yang kurang berkualitas.
ICW mencatat, selama lebih dari dua tahun terakhir proses
perekrutan hakim ad hoc tipikor tidak memuaskan. Hal ini disebabkan hampir
tidak ada calon yang memenuhi kriteria sebagai hakim ad hoc tipikor.
Rendahnya kualitas keilmuan dan integritas yang belum teruji membuat kriteria
utama seorang hakim ad hoc tipikor sulit dipenuhi.
Sayangnya, meski minim kualitas, Mahkamah Agung tetap
memilih calon untuk diangkat menjadi hakim ad hoc tipikor. Padahal,
eksistensi hakim ad hoc tipikor sangatlah penting, mengingat hakim ad hoc
adalah hakim khusus yang diperlukan keahliannya dalam memutus perkara tipikor
dan dapat berkontribusi optimal dalam proses ajudikasi di pengadilan tipikor.
Tak heran jika putusan pengadilan tipikor hingga saat ini tidak sejalan
dengan semangat pemberantasan korupsi karena dihasilkan dari hasil seleksi
yang tidak mengedepankan kualitas individu.
Selain itu, proses pembinaan hakim tipikor juga kurang
memadai. Hakim tipikor yang berasal dari hakim karier ataupun hakim ad hoc
tipikor tidak mendapat waktu dan pembinaan yang cukup komprehensif untuk
memperkaya dirinya dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang tindak pidana
korupsi. Pembinaan hakim tipikor nyatanya belum mampu membangun komitmen dan
semangat pemberantasan korupsi para hakim tipikor. Sebaliknya, justru sudah
ada delapan hakim tipikor yang tertangkap tangan menerima suap oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari segi teknis, setidaknya ada dua hal penting yang
perlu menjadi perhatian. Pertama, rendahnya vonis pengadilan tipikor tak
dapat dipisahkan dari rendahnya tuntutan jaksa penuntut umum. Sama halnya
dengan vonis ringan pelaku korupsi, tuntutan rendah juga sering terjadi
selama tiga tahun terakhir. Jaksa cenderung menuntut pelaku korupsi dengan
tuntutan rendah dan sering kali memunculkan disparitas dalam penuntutan.
Kedua, ketiadaan pedoman pemidanaan bagi hakim dalam
memutus perkara korupsi. Undang-undang memberikan kebebasan yang sangat luas
bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku. Namun, sering
kali pilihan hukuman itu sulit dipertanggungjawabkan dan justru menimbulkan
disparitas pemidanaan.
Persoalan ketidakadilan
Praktik ini pada akhirnya melahirkan persoalan ketidakadilan
bagi pelaku dan korban korupsi. Idealnya, diskresi hakim dalam menjatuhkan
hukuman perlu rambu-rambu yang jelas. Bukan dalam rangka membatasi kebebasan
dan kemandirian hakim, melainkan semata-mata menjaga agar putusan dapat
dipertanggungjawabkan oleh pengadilan, selain menghindari praktik abusive dan
jual-beli putusan.
Pada prinsipnya, pedoman pemidanaan tidak mengurangi
kebebasan dan kemandirian hakim. Hakim tetap memiliki kebebasan dan
kemandirian dalam menentukan pidana yang harus dijalani pelaku, tetapi tetap
bergerak dalam koridor kategori hukuman yang ditetapkan dalam pedoman
pemidanaan.
Komitmen pemberantasan korupsi pengadilan tipikor bukan
semata-mata diwujudkan dengan menyatakan pelaku korupsi bersalah dan
menjatuhkan hukuman bagi semua pelaku di persidangan. Yang lebih substansial
adalah menjatuhkan hukuman yang adil bagi pelaku dan juga masyarakat luas
sebagai korban kejahatan korupsi. Yang lain tentu saja adalah mendorong hakim
memperberat hukuman sebagai konsekuensi logis korupsi merupakan kejahatan
serius yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar