Khilafah,
Mataram Islam, dan Indonesia
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam; Guru
Ngaji di Kampung; Dosen UIN Sunan Kalijaga
|
SUARA
MERDEKA, 20 Maret 2017
“Hubungan antara Turki Ustmani
dengan Mataram Islam dan kerajaan lain di Nusantara tak lebih seperti
hubungan Indonesia dengan negara-negara Muslim lain dalam bingkai OKI saat
ini”
SALAH satu argumentasi pendukung gagasan khilafah di Tanah
Air adalah sejarah. Yakni adanya hubungan kuat antara kerajaan di nusantara
dan Turki Ustmani. Bahkan penulis memeroleh kesan kuat adanya semangat untuk
membuktikan bahwa kerajaan-kerajaan di nusantara adalah bagian dari
kekhilafahan Islam. Tema lawas ini menarik dibicarakan kembali pada bulan
Maret ini.
Sebab tanggal 03 Maret 1924 adalah tanggal runtuhnya
khilafah Ustmani secara resmi. Para pendukung khilafah di tanah air dan di
negara lain meratapi peristiwa tersebut dengan berbagai peringatan kendati
pelaksanaan peringatan sering menggunakan kalender hijriyah (Rajab).
Hubungan Indonesia-Timur Tengah pada masa
kerajaan-kerajaan Islam tercermin dari gelar para rajanya. Sebagian raja-raja
Kerajaan Islam di Jawa menggunakan gelar yang ada kata khalifatullah. Gelar
itu misalnya kemudian lestari hingga Kesultanan Yogyakarta saat ini dan
sempat menyulut kontroversi ketika ada upaya penghapusan kata itu. Kesultanan
Yogyakarta dipandang sebagai salah satu penerus Kerajaan Mataram Islam yang
berjaya pada pertengahan abad ke-17 di Jawa bagian tengah dan Timur.
Hubungan Nusantara-Timur Tengah juga tercermin dari adanya
para pendakwah yang berasal dari Timur Tengah. Sebagian tokoh-tokoh itu
kemudian dikenal sebagai para wali. Di Tanah Jawa dikenal istilah Walisongo
yang demikian terkenal hingga sekarang.
Namun ada perbedaan pembacaan terhadap fakta itu yang
sangat berpengaruh terhadap upaya merekonstruksi islamisasi Nusantara
khususnya Pulau Jawa pada masa lalu dan juga upaya merumuskan identitas umat
Islam sekarang dan agenda masa depan. Kalau dirapikan dengan hati-hati,
setidaknya ada dua pandangan mengenai hal itu.
Pandangan pertama berupaya mengarahkan pandangan
islamisasi di Nusantara dan Jawa khususnya dilakukan melalui perencanaan dan
proses politik yang terstruktur dan jelas. Yaitu para sultan di Jawa yang
bergelar khalifatullah itu secara struktur memang berada di bawah kekuasaan
Kesultanan besar (pusat) yang disebut dengan khalifah di Istanbul, Turki.
Gelar khalifatullah atau kesultanan itu konon memang
diberikan oleh Sultan di Turki Ustmani kepada para raja Jawa mulai Pajang
hingga Mataram Islam. Hal itu dianggap sebagai bukti adanya hubungan
strukural-politik bahwa Nusantara sesungguhnya berada dalam dekapan kesatuan
wilayah Khilafah Islam yang berpusat di Istanbul (baca Turki Ustmani).
Dan para wali pun demikian. Sesungguhnya para pendakwah
itu adalah petugas kekhalifahan yang dikirimkan ke tanah Jawa untuk melakukan
dakwah Islam. Jadi, mereka adalah bawahan khalifah. Islamisasi Nusantara,
Jawa khususnya, dengan demikian adalah islamisasi yang dilakukan secara
sistematis, terencana, dan diorganisasi secara langsung oleh kekuatan politik
Islam yaitu kekhalifahan pusat.
Gagasan ini terus dikembangkan dan dipromosikan oleh
kelompok-kelompok yang memiliki proyek ”khilafah” di tanah air. Ada kesan,
apa pun persoalan umat Islam saat ini seolah bisa diselesaikan atau
setidaknya ditangani secara baik jika khilafah itu kembali tegak. Karena itu,
restorasi khilafah menjadi pusat ideologi mereka. Sebab sumber dari segala
sumber persoalan umat Islam sekarang ini adalah karena tiadanya khilafah. Kesan
saya sesederhana itu, titik.
Kultural
Pandangan lain cenderung mengabaikan adanya hubungan
antara para sultan Jawa itu dengan Kekhalifahan di Turki Ustmani. Buktinya,
para raja muslim di Tanah Jawa dan Nusantara pada umumnya tidak mengirimkan
pajak atau upeti kepada mereka. Juga tak ada utusan dari Kekhalifahan di
Istanbul yang kemudian memerintah negeri Jawa atau bagian nusantara yang lain
sebagaimana kebiasaan Turki Ustmani di wilayah bawahannya.
Yang terjadi bahkan sebaliknya. Khalifah di Istanbul
memberikan hadiah kepada raja kerajaan Islam di Jawa. Jadi tak pernah ada
penaklukan (fath) kekhalifahan di Istanbul terhadap kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa baik melalui diplomasi maupun perang. Jadi, hal yang aneh dan
berlebihan jika kita memandang bahwa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
adalah bagian dari kekhalifahan besar di Istanbul.
Pandangan semacam ini terus dikembangkan oleh kelompok
luas umat Islam Indonesia terutama yang sedang dalam euforia kebangkitan
”Islam Nusantara”.
Manakah dari dua pandangan itu yang benar? Apakah
pandangan pertama yang meletakkan negeri ini sebagai bagian dari struktur
kekhilafahan di Istanbul ataukah pandangan kedua yang cenderung mengabaikan
hubungan keduanya?.
Keduanya menurut hemat penulis memiliki sisi kebenarannya
dan kelemahannya masing-masing. Pengabaian terhadap adanya hubungan
kerajaan-kerajaan muslim Nusantara dengan kekhilafahan Istanbul adalah sikap
ahistoris. Sebab, faktanya interaksi itu benar-benar ada baik melalui
utusan-utusan politik, perdagangan dan lainnya. Kekuatan-kekuatan politik di
dunia Islam hampir dipastikan mengetahui bahwa ada kekhalifahan besar masa
itu yakni di Ustmani Istanbul dan Mughal di New Delhi, di samping Kerajaan
Syiah Syafawiyah di Iran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar