Mendesak,
Buku
Pendidikan Seks yang Disertifikasi MUI
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial; Penulis Buku "Out
of The Truck Box"; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan
bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 21 Maret 2017
"Bu',
what is sex?" tanya anak saya suatu malam. Gara-garanya, terbuka olehnya
halaman buku yang memuat kata 'sex' pada judul salah satu bab. Itu adalah
buku berjudul Question Children Asks karya Dr. Miriam Stoppard, sebuah buku
bagus yang ditujukan untuk dibaca bersama-sama oleh anak dan orang tua.
"Seks
itu jenis kelamin. Ada laki-laki, ada perempuan. Itu namanya seks,"
jawab istri saya. Anak saya pun manggut-manggut dan tidak lagi bertanya.
Saya
mendengar obrolan mereka. Tentu jawaban istri saya benar, bahwa seks adalah
jenis kelamin. Namun sebenarnya pembahasan di halaman buku yang tertangkap
mata anak saya lebih jauh dari itu. Ada ulasan tentang bagaimana caranya
muncul adik bayi di dalam perut ibu, tentang fungsi organ genital, tentang
rangsangan-rangsangan seksual, dan beberapa subtopik lainnya terkait seks.
Sebenarnya,
itu pintu masuk yang bagus untuk memberikan penjelasan lebih jauh kepada anak
kami. Umurnya sudah tujuh tahun lebih, dan sudah saatnya mulai memahami
hal-hal semacam ini. Apalagi dalam buku yang saya sebut itu ada pembagian
tipe jawaban untuk empat rentang usia, yakni 2-4 tahun, 4-6 tahun, 6-8 tahun,
dan 8-11 tahun. Jadi sebenarnya malah sudah sangat terlambat.
Entah,
apakah istri saya melanjutkan obrolan mereka di lain waktu atau tidak. Tapi
saya sendiri sih sampai sekarang belum mengajak anak kami bicara soal itu.
Alasan saya sangat ideologis: malas dan malu heuheuheu.
Saya
yakin, problem malas dan malu itulah yang kerap terjadi manakala orang tua
Indonesia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan anak tentang seks. Bahkan
saya yang tidak soleh-soleh amat ini pun merasakan hal serupa. Rasanya,
selama masih ada bahan obrolan lain dengan anak di luar soal itu, mendingan
yang lain-lain itu dulu deh yang dibicarakan.
Sialnya,
sementara kita membiarkan rasa sungkan semacam itu terus ngendon di kepala
kita, perkembangan di luar rumah berjalan jauh lebih cepat daripada yang kita
duga. Bukan lagi sekadar tantangan, melainkan sudah dalam wujud
ancaman-ancaman mengerikan.
Apa
yang terjadi kemarin hari sudah begitu nyata menampar kita, ketika jaringan
pedofil yang berkumpul di grup Facebook Official Lolly Candy's terbongkar.
Korban-korban mereka adalah anak-anak berusia 3-9 tahun, satu fakta yang
membuat kita harus melemparkan jauh-jauh jawaban "Ah ngomongin soal itu
nanti aja lah, kalau dia udah agak gedean dikit." Orang tua menunda
sampai anak gedean dikit, sementara para iblis itu tak sudi menanti.
Selama
ini, agaknya kita takut dengan pengetahuan. Kita selalu mengira bahwa pengetahuan
tak lebih dari "sarana untuk melakukan". Jarang terpikir oleh kita,
bahwa pengetahuan pun merupakan instrumen dasar untuk menangkal kekeliruan.
Coba
diingat, bagaimana respons publik terbanyak pada kasus buku berjudul Aku
Belajar Mengendalikan Diri karya Fita Chakra yang tempo hari bikin heboh dan
membuatnya ditarik dari peredaran. Ya, publik menyebutnya sebagai "buku
yang mengajari anak bermasturbasi". Bahkan tak tanggung-tanggung,
beberapa lembaga pemerintah pun turut mengecam buku itu dengan alasan yang
sama.
Saya
sendiri setuju bahwa ada yang kurang komunikatif disampaikan buku itu sejak
halaman sampul, yang semestinya minimal diberi kode "Bimbingan Orang
tua". Namun kalau mau membuka isinya secara utuh, sudah jelas bahwa
materinya mesti dibaca anak dengan didampingi orangtua. Topik masturbasi
sendiri pun diposisikan sebagai sesuatu yang mesti diredam orang tua dengan
teknik-teknik pengalihan tertentu pada buku itu.
Sementara,
bagaimana anak akan paham apa itu masturbasi jika tak diberi gambaran
mengenainya? Atau kita lebih suka jika anak-anak kita, yang mungkin hanya
bisa kita awasi beberapa jam tiap harinya, bereksplorasi sendiri tanpa
rambu-rambu dari orang tua?
Zaman
sudah berubah, Sodara. Saya tidak sedang mengatakan bahwa nilai-nilai sosial
maupun nilai moral dan kesantunan harus diubah. Namun lingkungan, akses-akses
informasi, mengalami perubahan pesat yang menuntut penyesuaian metode kita
dalam mendidik anak-anak.
Bapak-ibu
saya dan generasinya mungkin masih bisa berpikir bahwa dalam soal seks yang
penting anak-anak dijaga agar bergaul dalam lingkungan yang baik, berteman
dengan rekan-rekan sebaya yang juga anak-anak baik. Asupan gizi untuk mereka
cukup berupa pelajaran agama dan Pendidikan Moral Pancasila. Selebihnya,
biarkan anak-anak berkembang sesuai nalurinya, dan orang tua percaya sembari
rajin mengirim doa. (Ah, andai orangtua kami tahu, bahwa sebenarnya anak-anak
seangkatan saya di Jogja pada masa itu dibimbing pula oleh rubrik
"Lika-liku Seksualitas" di koran Minggu Pagi asuhan dr. H. Prastowo
Mardjikoen, yang selalu kami baca dengan sembunyi-sembunyi.)
Namun
zaman ini rasanya tak lagi bisa dihadapi semata dengan naluri dan doa. Bisa
saja anak kita punya teman-teman yang baik dari kalangan bangsa manusia. Tapi
dari bangsa internet, mereka bisa bergaul dengan siapa pun, mulai teman yang
paling baik hingga yang paling biadab. Hanya dalam beberapa menit duduk
memegang gawai, dengan gampangnya mereka bisa menemukan video orang membunuh,
orang bersetubuh, hingga orang gantung diri. Semua ada.
Maka,
"Melihat realitas yang terus mendebarkan hati semacam ini, kita sebagai
orang tua, sebagai guru pertama bagi anak-anak kita, semestinya harus
segera... blablabla...." Agaknya jawaban standar seperti itulah yang
akan terdengar berkali-kali dalam berbagai macam penyuluhan. Sempurna sekali,
dan tak ada yang saya tolak dari situ.
Namun
jangan lupa, akses pengetahuan di dunia ini tak pernah setara. Kalau boleh
saya asumsikan, para pembaca tulisan ini adalah kelas menengah belaka. Anda
punya telepon pintar, punya cukup waktu luang, cukup paket data internet, dan
cukup kecerdasan. Saya percaya kita bisa membangun kesadaran, membuang rasa
malas dan malu, lalu bersama mengubah metode pendidikan di level keluarga.
Namun bagaimana dengan yang lain-lainnya?
Tidak
semua orang di negeri kita sepintar Anda. Di saat yang sama, perkembangan
teknologi informasi dan apa pun yang mengiringinya terus melesat, lebih cepat
daripada perkembangan kesadaran dan kecerdasan masyarakat. Belum lagi aneka
keterbatasan yang muncul karena hambatan akses ekonomi.
Ingat,
di kiri-kanan kita ada orang-orang yang waktu dan tenaganya habis untuk
memperjuangkan isi periuk nasi. Mereka yang boro-boro mau berpikir serius
tentang pendidikan seks untuk anak, lha wong sawah tempat mereka mencari
penghidupan saja bakal segera kering, karena sumber airnya dirampas pabrik
semen yang besar.
Mereka
yang berangkat subuh hari dan pulang nyaris tengah malam, karena cuma itu
satu-satunya cara agar setiap bulan mereka gajian. Mereka yang harus berlayar
berhari-hari, karena nyawa anak dan istri tergantung pada ikan-ikan di
lautan.
Untuk
mereka, kampanye kesadaran bimbingan orang tua adalah kemewahan tak
terjangkau. Maka satu-satunya langkah yang memungkinkan hanyalah langkah
struktural, yaitu melalui lembaga pendidikan formal.
Saya
dengar-dengar, materi pendidikan seks memang sudah disisipkan dalam beberapa
pelajaran di Kurikulum 2013. Namun jujur saja saya meragukan efektivitasnya.
Pertama,
rasanya agak membingungkan, objek yang secara riil dihadapi anak sejak lahir
malah kalah prioritas dibanding hal-hal yang bakalan dijumpai lebih
belakangan dalam kehidupan, semisal problem matematika dan IPA. Kedua,
sebagai sekadar sisipan, materi-materi yang masih terasa asing dan
memunculkan rasa malu waktu pembahasan (bahkan gurunya sendiri pun sangat
mungkin merasa malu), ia pasti rentan ditinggalkan.
Saya
ingat, pada pelajaran Agama Islam semasa SMP, ada pula nyelip materi terkait
seks. Ibu Guru saya waktu itu memilih melompati subbab itu, sambil berkata,
"Bagian ini silakan dipelajari sendiri di rumah. Kalau kita bahas di
kelas ini nanti pikiran kalian melayang ke mana-mana." Saya curiga,
modus seperti itu akan terus terjadi, manakala topik ini semata
disisip-sisipkan dan diletakkan dalam posisi bukan sebagai prioritas capaian.
Tentu,
dibutuhkan guru-guru yang terampil, berpikiran maju, dan bermental kuat,
untuk mengampu pendidikan seks. Dibutuhkan pula buku panduan yang jelas dan
aman. Aman bagi anak, maupun aman dari prasangka publik. Di masa kejayaan
media sosial seperti sekarang ini, apa pun bisa dituduh sebagai aksi
konspirasi. Maka tak ada ruginya buku tersebut nantinya mnelibatkan lembaga
keagamaan, sebagai pencegah konflik horizontal. Meminta MUI membubuhkan
stempel "Aman bagi Anak Muslim" pada sampulnya, misalnya. Kenapa
tidak?
Tentu,
sebelumnya para pemuka agama mesti diajak berdialog panjang. Diajak membuka
mata, mengerti bahwa situasi zaman sudah berganti. Diajak menyadari bahwa
anak-anak menjumpai masalah terkait organ tubuh mereka jauh lebih dulu
ketimbang mereka menjumpai soal-soal terkait ibadah dan surga-neraka.
Semua
langkah itu mendesak untuk ditempuh. Semakin lama kita menunda, semakin
banyak korban akan berjatuhan di tengah-tengah kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar