Post-Truth
Politician
Firman Noor ; Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI;
Research Fellow, pada IAIS,
University of Exeter
|
KORAN
SINDO, 23
Maret 2017
Salah satu keyakinan yang berkembang di masyarakat terkait
kehidupan politik adalah kebohongan berpotensi dilakukan oleh mereka yang
tengah memiliki kekuasaan.
Saat ini kekuasaan sepenuhnya ada di tangan politisi, dan
kebohongan demi kebohongan yang melanda publik tidak lepas dari sikap dan
perilaku politisi itu. Kehidupan politik dan kebohongan mungkin menjadi tidak
terelakkan. Keduanya seperti dua sisi dalam satu mata uang. Politisi yang
andal adalah mereka yang mampu mengelak dengan cantik atas apa yang pernah
dikatakannya dan mampu bersikap seolah-olah tidak bersalah, serta (hebatnya)
selalu mampu kemudian muncul dalam posisi yang benar dan akhirnya
menguntungkan secara politik.
Di sisi lain, jika seorang politisi terjebak berkali-kali
dan akhirnya terjerat karena omongannya, bisa jadi dia belum cukup matang
menjadi politisi atau terlalu polos untuk masuk dalam dunia politik. Meski
demikian, kemampuan mengelak itu apa pun namanya tetap akarnya adalah
kebohongan. Saat ini muncul fenomena yang kerap disebut sebagai posttruth
politician.
Guardian, salah satu koran berpengaruh di Inggris,
menggunakanistilahiniuntuk memotret politisi yang gemar berbohong. Istilah
itu sebenarnya berakar dari kata posttruth yang pertama kali digunakan oleh
Steve Tesich sekitar lebih dari dua dekade lalu. Kata post-truth saat ini
menjadi salah satu kata ikonik dan didaulat menjadi kata paling populer pada
2016 menurut Oxford Dictionaries.
Ini membuktikan bahwa fenomena ini bersifat mondial.
Istilah post-truth itu sendiri dibuat untuk menandai sebuah situasi atau era
di mana terdapat semakin banyak politisi yang dalam upayanya meyakinkan
publik tidak jujur dalam berargumentasi. Alih-alih fokus pada sebuah
pembelaan empiris, apalagi akademis, atas apa yang disampaikan ke publik,
politisi era post-truth ini lebih suka bermain dengan fantasi yang membius
publik.
Mereka juga amat peduli dengan upaya membangun citra,
bukan melalui pertimbangan kebenaran atau objektivitas dan dengan cara-cara
yang berlebihan. Politisi model ini gemar mengutak-atik emosi publik dengan
kata-kata yang sepintas masuk akal, menggugah semangat, kadang menakut-nakuti
(scaremongering), membuat terpukau, terheran-heran, hingga merasa larut dalam
semangat pembelaan kepada figur atau partai tertentu, yang sebenarnya
bersifat fatamorgana.
Fenomena ini dilihat dari substansinya bukanlah barang
baru dan terus terjadi hingga kini. Ini sudah ada mulai sejak Adolf Hitler
dengan lebenstraum dan antisemitisme untuk mendukung proyek fasismenya hingga
Boris Johnson dengan soal 350 juta poundsterling perminggu defisit untuk
menyerang Uni Eropa sekaligus promosi atas Brexitnya. Sebagian lainnya
mengaitkan fenomena ini dengan apa yang terjadi saat Pemilihan Presiden AS
terakhir. Semua itu melakukan permainan ilusi dan fantasi untuk meraih
simpati dan kemenangan.
Bagaimana dengan Indonesia
Pada masa lalu politisi di Tanah Air cenderung
mengutarakan idealismenya dengan pembelaan-pembelaan argumen yang bersifat
ideologis, bahkan akademis, kerap disertai data-data empiris. Lihat dan
cermatilah berbagai surat kabar, majalah, atau selebaran-selebaran yang
dikeluarkan oleh partai-partai atau politisi era demokrasi liberal.
Saling-silang dan saling serang demikian ramai dan membahana.
Pukul-memukul dalam konteks kata-kata, opini, dan wacana
menjadi hal yang biasa. Meski terselip di sana-sini salah paham atau
pengaburan makna, bahkan mungkin juga halusinasi, penyampaian argumen pada
umumnya disandarkan pada aspek-aspek empiris atau setidaknya dugaan-dugaan
yang bersifat akademis induktif.
Yang pasti, saat itu tidak banyak hoax meski bukan berarti
dunia politik tidak pula diisi oleh canda dan perumpamaanperumpamaan yang
jenaka baik untuk menyerang lawan atau membela diri. Fenomena ini tidak
mengherankan terjadi karena beberapa hal.
Pertama, elite politik masa itu kebanyakan tokoh
intelektual dan ideologi yang terbiasa kritis, lugas, dan berbicara secara
empiris.
Dengan karakternya ini, meski kerap bercampur dengan
kepentingan politik, sikap untuk melakukan pembelaan yang berlebihlebihan dan
tidak pada tempatnya bukan merupakan pilihan utama mereka.
Kedua,kesadaran kebangsaan mereka demikian tinggi yang
disertai keinginan amat kuat untuk membimbing anak bangsa. Itulah mengapa
mereka disebut sebagai bapak bangsa plus negarawan.
Dalam nuansa ini niatan membohongi publik bukanlah selera
kebanyakan politisi saat itu. Sebisa mungkin mereka menjaga marwah untuk
tetap menjaga kepercayaan publik. Namun, saat ini prinsip the end justifies
the mean menjadi hal yang lumrah. Kebohongan dan penipuan menjadi makin
menjamur. Seseorang dapat lompat pada posisi yang berbeda secara diametrikal
dalam hitungan bulan atau bahkan minggu saja.
Tidak hanya itu, mereka juga tidak ragu untuk mengerahkan
semua sumber daya baik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan sumber
daya yang haram untuk membantu pembenaran katakata, sikap, dan tentu saja
kemenangan politik. Padahal, kita tahu kebanyakan substansi dan prosesi
pembelaan itu sebenarnya hanya ketoprak humor.
Tidak ada lagi rasa malu apalagi penghargaan atas
pentingnya mewariskan kepercayaan kepada generasi mendatang akan pentingnya
kehidupan politik yang bermartabat. Dalam nuansa ini, tidak heran jika
kebohongan publik meluas yang tercermin dari maraknya hoax. Tidak itu saja,
nilainilai dasar yang selama ini dihormati dan telah membawa banyak manfaat
ikut diguncang demi sekadar memenangkan sebuah argumen.
Sejalan dengan itu, kesantunan dan moralitas berpolitik
menjadi barang langka. Dan, hal lain yang juga menyedihkan adalah politisi
terjebak dalam nuansa homo homini lupus yang sama sekali tidak mencerahkan.
Hal yang menyebabkan bangsa ini tidak saja semakin miskin akan ide-ide
politik yang bernas, namun juga telah masuk dalam gerbang masamasa kegelapan.
Bisa jadi ini semua juga disebabkan oleh jaring-jaring
kekuasaan dan kepentingan eksklusif yang menggiurkan, utang politik yang
menggurita dan sulit terbayar, hingga masyarakat kebanyakan yang tidak
mandiri atau peduli politik, hingga justru mudah termanipulasi. Semua ini
sungguh tantangan yang berat bagi bangsa untuk dapat membebaskan diri dari
model post-truth politician. Meski demikian, apakah memang semua politisi
kita itu gemar dan canggih berbohong? Tentu saja tidak.
Sebagaimana yang terjadi pada masa lalu, saat ini masih
ada figur-figur yang bermental negarawan dan politisi yang punya rasa malu
cukup tebal. Sayangnya, pengaruh mereka saat ini masih belum signifikan. Kita
nantikan kapan mereka semua dapat mengambil alih kehidupan politik bangsa.
Agar bangsa ini dapat terbebas dari kehidupan politik yang makin terasa sesak
oleh asap dagelan politik yang penuh dengan kedegilan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar