Jumat, 24 Maret 2017

Akreditasi bukan Sekadar Kewajiban Regulasi

Akreditasi bukan Sekadar Kewajiban Regulasi
Asep Saefuddin  ;   Rektor Universitas Trilogi; Guru Besar Statistika FMIPA IPB
                                             MEDIA INDONESIA, 23 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SALAH satu upaya untuk menjamin kredibiltas dan mutu perguruan tinggi di berbagai negara dilakukan akreditasi. Sifat akreditasi ini macam-macam, ada yang bersifat wajib (compulsory) ada juga yang sunah (optional voluntary). Negara yang mewajibkan akreditasi juga pelaksanaannya berbeda-beda. Ada yang dilakukan oleh suatu lembaga profesional independen ada juga yang ditangani langsung oleh pemerintah. Untuk akreditasi yang bersifat sunah itu umumnya dilakukan oleh lembaga independen profesional.

Kampus-kampus yang merasa perlu adanya perbaikan mutu biasanya minta dilakukan akreditasi oleh lembaga profesional. Memang berbayar, tetapi manfaatnya sangat banyak karena bisa melihat titik-titik lemah kampus untuk segera diperbaiki. Mereka sadar bahwa perbaikan mutu merupakan suatu upaya berkelanjutan yang memerlukan kacamata orang lain untuk melihatnya. Bukan sekadar kewajiban regulasi. Pada umumnya, negara-negara yang memberi status sunah bagi akreditasi, pendidikannya relatif baik.

Kesadaran terhadap mutu merupakan kultur akademik, bukan karena adanya regulasi-regulasi yang memaksa. Asumsi dasarnya ialah kampus sebagai tempat orang-orang dengan tingkat pendidikan jauh di atas rataan masyarakat. Mustahil bila di universitas tidak dikenal praktik-praktik mutu seperti continuous improvement. Proses pembelajaran sehari-hari pun sudah menunjukkan bahwa praktik mutu itu melekat dalam diri dosen dan pengelola kampus.

Amerika Serikat ialah contoh negara dengan status akreditasi sunah (optional voluntary). Selain akreditasi bersifat sunah, pendidikan di Amerika diselenggarakan secara otonom oleh negara bagian. Tidak ada sistem pendidikan yang bersifat nasional. Akan tetapi, pemerintah federal (pusat) memberikan alokasi biaya untuk proses pendidikan dan riset. Selain itu, pemerintah federal punya kewenangan intervensi terhadap pendidikan yang berkaitan dengan empat hal: (1) demokrasi dan kebebasan akademik, (2) menyangkut kesamaan peluang dalam pendidikan bagi semua penduduk, (3) meningkatkan produktivitas nasional, dan (4) memperkuat pertahanan keamanan nasional.

Artinya, dalam hal mutu akademik tetap pemerintah pusat sangat perduli. Akreditasi secara kelembagaan tidak terkait langsung dengan pemerintah, baik pusat (federal) maupun pemerintah negara bagian. Namun, lembaga akreditasi tersebut memperoleh pengakuan dari dua lembaga negara, yaitu Council of Higher Education Accreditation (Dewan Akreditasi Pendidikan Tinggi) dan US Department of Education (Kementerian Pendidikan). Selain itu, otonomi kampus dan kebebasan akademik diberikan oleh pemerintah dalam kerangka tata kelola universitas yang baik (good university governance). Dapat ditarik kesimpulan bahwa akreditasi bertujuan untuk mendapatkan keyakinan bahwa perguruan-perguruan tinggi mempunyai standar akademik yang baik dan memenuhi syarat dan harapan pemerintah. Kualifikasi akreditasi diperlukan oleh perguruan tinggi tersebut untuk promosi terhadap calon mahasiswa. Akreditasi bukan kewajiban, melainkan kebutuhan perguruan tinggi sendiri.

Jadi tujuan utama

Bagaimana dengan Indonesia? Akreditasi di Indonesia masuk ke kategori wajib. Jadi, itu merupakan tuntutan pemerintah agar pengelola kampus tunduk pada regulasi ini. Selain itu, ada klasifikasi prodi atau PT berbasis hasil akreditasi ini, yakni C, B, atau A. Klasifikasi itu sering dijadikan tujuan utama oleh pengelola prodi atau universitas sehingga mereka berusaha mengejar akreditasi B atau A dengan berbagai cara. Setelah mendapatkan status akreditasi A atau B lalu dipasang di berbagai media untuk menjaring mahasiswa. Model itu cukup berisiko karena akhirnya formal akreditasi menjadi tujuan. Padahal, proses akademik yang mencakup pengajaran, riset, dan pengabdian pada masyarakat jauh lebih penting ketimbang formalitas akreditasi itu.

Akhirnya perguruan tinggi terjebak pada jual beli gelar. Sayangnya, banyak lembaga negara yang mensyaratkan penerimaan staf baru hanya bagi prodi dengan akreditasi minimum B. Mereka yang lulus dari prodi berakreditasi C terhempas di tahap seleksi. Padahal, bisa jadi pelamar ialah orang yang potensial, berbakat, dan cerdas. Bisa saja pelamar berasal dari universitas biasa karena banyak faktor, misalnya masalah biaya, faktor jarak, dan banyak hal lain yang harus kita akui. Selain itu, hak pelamaran merupakan hak asasi seseorang yang tidak boleh disetop gara-gara tempat sekolahnya berakreditasi C. Peraturan-peraturan yang diskriminatif harus dihilangkan. Bila tidak, makna akreditasi menjadi sumir. Kita harus sadar bahwa pendidikan dijalankan untuk memperkuat sumber daya manusia (SDM) dari segi soft-skill dan hard-skill.

Perilaku manusia terdidik harus terlihat dalam sikap seperti kejujuran, kesungguhan, kolaborasi, disiplin, dan profesionalitas. Sarjana sebagai lulusan harus mampu menerapkan ilmunya dalam dunia kerja. Mereka bahkan harus kreatif membangun metode-metode baru dalam bidang yang sedang ditekuni. Lulusan yang berkecimpung dalam dunia riset harus terus-menerus mengevaluasi metode atau model yang terbukti baik di negara lain, tetapi belum tentu cocok untuk Indonesia. Ilmuwan harus kreatif mengkaji teori-teori disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan waktu penerapannya. Sumbangan para ilmuwan bisa diarahkan untuk pengambilan keputusan berbasis pengetahuan atau juga menyumbangkan pendekatan atau teori baru dalam keilmuan. Suasana inilah yang harus dibangun di kampus. Bilamana status akreditasi pendidikan (tinggi) masih bersifat wajib, saya pikir boleh saja.

Akan tetapi, polanya jangan terlalu rijid di seluruh komponen input-proses-output. BAN PT cukup melakukan evaluasi di komponen output. Adapun input dan prosesnya serahkan ke PT. Biarkan mereka berkreasi di input dan proses untuk mencapai output yang bagus. Dengan pola ini, saya yakin teman-teman dosen akan lebih enjoy dan ikhlas dalam menjalankan tugasnya. Akreditasi saat ini terlalu ambisius yang justru membuat para dosen jadi ahli administrasi, bukan ilmuwan. Selain itu, jangan sampai status akreditasi universitas atau prodi terbawa-bawa kepada status lulusan.

Lulusan harus diperlakukan secara individu, bukan asal usul sekolah. Lulus tidaknya seseorang dalam proses seleksi tergantung kualitas individu tersebut. Bisa saja seseorang yang lulus dari prodi C itu lebih baik daripada mereka yang lulus dari prodi B atau bahkan A. Hal itu bisa terjadi. Untuk itu kekacauan regulasi akreditasi pendidikan tinggi harus secara sungguh-sungguh dibenahi. Kalau tidak, kita punya dosa yang dibuat secara sistem. Efeknya sangat berbahaya bagi kemajuan bangsa. Percayalah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar