Akreditasi
bukan Sekadar Kewajiban Regulasi
Asep Saefuddin ; Rektor Universitas Trilogi; Guru Besar
Statistika FMIPA IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Maret 2017
SALAH
satu upaya untuk menjamin kredibiltas dan mutu perguruan tinggi di berbagai negara
dilakukan akreditasi. Sifat akreditasi ini macam-macam, ada yang bersifat
wajib (compulsory) ada juga yang
sunah (optional voluntary). Negara
yang mewajibkan akreditasi juga pelaksanaannya berbeda-beda. Ada yang
dilakukan oleh suatu lembaga profesional independen ada juga yang ditangani
langsung oleh pemerintah. Untuk akreditasi yang bersifat sunah itu umumnya
dilakukan oleh lembaga independen profesional.
Kampus-kampus
yang merasa perlu adanya perbaikan mutu biasanya minta dilakukan akreditasi
oleh lembaga profesional. Memang berbayar, tetapi manfaatnya sangat banyak
karena bisa melihat titik-titik lemah kampus untuk segera diperbaiki. Mereka
sadar bahwa perbaikan mutu merupakan suatu upaya berkelanjutan yang
memerlukan kacamata orang lain untuk melihatnya. Bukan sekadar kewajiban
regulasi. Pada umumnya, negara-negara yang memberi status sunah bagi
akreditasi, pendidikannya relatif baik.
Kesadaran
terhadap mutu merupakan kultur akademik, bukan karena adanya
regulasi-regulasi yang memaksa. Asumsi dasarnya ialah kampus sebagai tempat
orang-orang dengan tingkat pendidikan jauh di atas rataan masyarakat.
Mustahil bila di universitas tidak dikenal praktik-praktik mutu seperti
continuous improvement. Proses pembelajaran sehari-hari pun sudah menunjukkan
bahwa praktik mutu itu melekat dalam diri dosen dan pengelola kampus.
Amerika
Serikat ialah contoh negara dengan status akreditasi sunah (optional
voluntary). Selain akreditasi bersifat sunah, pendidikan di Amerika
diselenggarakan secara otonom oleh negara bagian. Tidak ada sistem pendidikan
yang bersifat nasional. Akan tetapi, pemerintah federal (pusat) memberikan
alokasi biaya untuk proses pendidikan dan riset. Selain itu, pemerintah
federal punya kewenangan intervensi terhadap pendidikan yang berkaitan dengan
empat hal: (1) demokrasi dan kebebasan akademik, (2) menyangkut kesamaan
peluang dalam pendidikan bagi semua penduduk, (3) meningkatkan produktivitas
nasional, dan (4) memperkuat pertahanan keamanan nasional.
Artinya,
dalam hal mutu akademik tetap pemerintah pusat sangat perduli. Akreditasi
secara kelembagaan tidak terkait langsung dengan pemerintah, baik pusat
(federal) maupun pemerintah negara bagian. Namun, lembaga akreditasi tersebut
memperoleh pengakuan dari dua lembaga negara, yaitu Council of Higher
Education Accreditation (Dewan Akreditasi Pendidikan Tinggi) dan US
Department of Education (Kementerian Pendidikan). Selain itu, otonomi kampus
dan kebebasan akademik diberikan oleh pemerintah dalam kerangka tata kelola
universitas yang baik (good university governance). Dapat ditarik kesimpulan
bahwa akreditasi bertujuan untuk mendapatkan keyakinan bahwa
perguruan-perguruan tinggi mempunyai standar akademik yang baik dan memenuhi
syarat dan harapan pemerintah. Kualifikasi akreditasi diperlukan oleh perguruan
tinggi tersebut untuk promosi terhadap calon mahasiswa. Akreditasi bukan
kewajiban, melainkan kebutuhan perguruan tinggi sendiri.
Jadi tujuan utama
Bagaimana
dengan Indonesia? Akreditasi di Indonesia masuk ke kategori wajib. Jadi, itu
merupakan tuntutan pemerintah agar pengelola kampus tunduk pada regulasi ini.
Selain itu, ada klasifikasi prodi atau PT berbasis hasil akreditasi ini,
yakni C, B, atau A. Klasifikasi itu sering dijadikan tujuan utama oleh
pengelola prodi atau universitas sehingga mereka berusaha mengejar akreditasi
B atau A dengan berbagai cara. Setelah mendapatkan status akreditasi A atau B
lalu dipasang di berbagai media untuk menjaring mahasiswa. Model itu cukup
berisiko karena akhirnya formal akreditasi menjadi tujuan. Padahal, proses
akademik yang mencakup pengajaran, riset, dan pengabdian pada masyarakat jauh
lebih penting ketimbang formalitas akreditasi itu.
Akhirnya
perguruan tinggi terjebak pada jual beli gelar. Sayangnya, banyak lembaga
negara yang mensyaratkan penerimaan staf baru hanya bagi prodi dengan
akreditasi minimum B. Mereka yang lulus dari prodi berakreditasi C terhempas
di tahap seleksi. Padahal, bisa jadi pelamar ialah orang yang potensial,
berbakat, dan cerdas. Bisa saja pelamar berasal dari universitas biasa karena
banyak faktor, misalnya masalah biaya, faktor jarak, dan banyak hal lain yang
harus kita akui. Selain itu, hak pelamaran merupakan hak asasi seseorang yang
tidak boleh disetop gara-gara tempat sekolahnya berakreditasi C.
Peraturan-peraturan yang diskriminatif harus dihilangkan. Bila tidak, makna
akreditasi menjadi sumir. Kita harus sadar bahwa pendidikan dijalankan untuk
memperkuat sumber daya manusia (SDM) dari segi soft-skill dan hard-skill.
Perilaku
manusia terdidik harus terlihat dalam sikap seperti kejujuran, kesungguhan,
kolaborasi, disiplin, dan profesionalitas. Sarjana sebagai lulusan harus
mampu menerapkan ilmunya dalam dunia kerja. Mereka bahkan harus kreatif
membangun metode-metode baru dalam bidang yang sedang ditekuni. Lulusan yang
berkecimpung dalam dunia riset harus terus-menerus mengevaluasi metode atau
model yang terbukti baik di negara lain, tetapi belum tentu cocok untuk
Indonesia. Ilmuwan harus kreatif mengkaji teori-teori disesuaikan dengan
situasi, kondisi, dan waktu penerapannya. Sumbangan para ilmuwan bisa
diarahkan untuk pengambilan keputusan berbasis pengetahuan atau juga
menyumbangkan pendekatan atau teori baru dalam keilmuan. Suasana inilah yang
harus dibangun di kampus. Bilamana status akreditasi pendidikan (tinggi)
masih bersifat wajib, saya pikir boleh saja.
Akan
tetapi, polanya jangan terlalu rijid di seluruh komponen input-proses-output.
BAN PT cukup melakukan evaluasi di komponen output. Adapun input dan
prosesnya serahkan ke PT. Biarkan mereka berkreasi di input dan proses untuk
mencapai output yang bagus. Dengan pola ini, saya yakin teman-teman dosen
akan lebih enjoy dan ikhlas dalam menjalankan tugasnya. Akreditasi saat ini
terlalu ambisius yang justru membuat para dosen jadi ahli administrasi, bukan
ilmuwan. Selain itu, jangan sampai status akreditasi universitas atau prodi
terbawa-bawa kepada status lulusan.
Lulusan
harus diperlakukan secara individu, bukan asal usul sekolah. Lulus tidaknya
seseorang dalam proses seleksi tergantung kualitas individu tersebut. Bisa saja
seseorang yang lulus dari prodi C itu lebih baik daripada mereka yang lulus
dari prodi B atau bahkan A. Hal itu bisa terjadi. Untuk itu kekacauan
regulasi akreditasi pendidikan tinggi harus secara sungguh-sungguh dibenahi.
Kalau tidak, kita punya dosa yang dibuat secara sistem. Efeknya sangat
berbahaya bagi kemajuan bangsa. Percayalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar