Mendidik
Karakter (1)
Mohammad Nuh ; Guru Besar ITS Surabaya
|
KORAN
SINDO, 19
Maret 2017
Transmisi nilai-nilai kebaikan adalah kerja peradaban.
Sejarah mengingatkan kita bahwa perabadan tak selamanya tumbuh.
Kadang bangkit, kadang runtuh. Ia meruntuh saat moral
merosot–kala suatu masyarakat gagal mewariskan kebaikan-kebaikan
utama–kekuatan karakternya– kepada generasi barunya. (Lance Morrow) Pagi yang
cerah, murid-murid kelas IV turun ke sawah untuk melihat proses pengolahan
padi. Mulai dari menuai, merontokkan, menjemur hingga menggiling padi. Mereka
bersemangat dan bergembira, berjalanmenyusuripematangsawah, bertegur sapa
dengan petani.
Ketika sampai di sawah, mereka membantu petani menuai padi
dengan menggunakan sabit. Batangpadiyangsudahdipotong dikumpulkan di pinggir
sawah, lalu diangkut ke lapangan. Siswa melihat bagaimana petani merontokkan
padi kering dalam karung berukuran kecil yang memungkinkan diangkut oleh
siswa.
Satu per satu mereka bergantian memanggul karung padi itu
ke tempat penggilingan. Saat berada di tempat penggilingan, spontan Akbar
bertanya kepada gurunya. ”Bu Guru, berarti kita harus melepaskan dan
meninggalkan perbuatanperbuatan yang tidak baik ya?” ”Memangnya kenapa,
Akbar?” tanya guru menanggapi. ”Lihat, Bu, agar jadi beras yang bersih, yang
siap dimasak menjadi nasi, padi harus melepaskan kulitnya. Kita harus seperti
itu, Bu.”
Ibu guru tertegun dan bangga. Akbar yang baru kelas IV SD
sudah bisa memetik nilai dari sebuah proses penggilingan padi. Sepulang dari
sawah, ibu guru meminta siswa mengambil nilai-nilai yang mereka dapatkan.
”Kita harus bersyukur dengan rezeki yang diberikan Tuhan,” kata Gita sambil
angkat tangan. ”Kita harus menghargai jerih payah petani,” ucap Hani.
Beberapa siswa lain pun menambahkan hasil refleksinya. Itu
semua makna yang dapat diungkapkan dalam bahasa lisan. Namun guru menemukan
pelajaran paling berharga yang tak diungkapkan siswa lewat kata-kata. Sejak
itu tidak ada sebutir nasi pun yang tersisa di piring mereka ketika makan
siang bersama di sekolah.
Mereka sudah meninggalkan kesia-siaan atau kemubaziran.
Kisah tersebut bukan fiktif, melainkan aktivitas nyata anakanak SD yang
menerapkan pendidikan berbasis karakter sebagai bagian dari masukan waktu menyusun
dan merumuskan Kurikulum 2013 yang mengintegrasikan kompetensi sikap,
keterampilan, dan pengetahuan. Pagi itu mereka tengah belajar tentang empati:
merasakan langsung bagaimana rasanya menjadi petani.
Empati diyakini para ahli sebagai inti emosi moral yang
membantu anak didik memahami perasaan orang lain. Empati membuat mereka peka
terhadap kebutuhan orang lain dan mendorong mereka untuk saling menolong dan
saling mengasihi. Begitulah salah satu contoh praksis pendidikan moral atau
karakter. Jangan bayangkan mereka harus menghafal setumpuk dalil dan teori
tentang kebaikan, kejujuran, ketulusan, dan karakter luhur lainnya.
Itu hanya menambah pengetahuan tentang kebaikan. Penting
tapi tak cukup. ”The dimensions of character are knowing, loving and doing
the good,” kata Thomas Lickona. Para pendidik bangsa saat dulu mendirikan
sekolah memaksudkan agar anak-anak didik mereka mengetahui yang baik,
mencintai yang baik, dan mengamalkan yang baik. Itulah etika (kebaikan).
Tentu diajarkan pula tentang logika (kebenaran) dan
estetika (keindahan). Jadi tak ada yang meragukan perlunya pembentukan
karakter. Sebab bila seseorang kehilangan karakternya, ia kehilangan sisi
genuine -nya dan kehadirannya di publik akan kehilangan kemanfaatan, bahkan
menambah rumitnya kehidupan. Layaknya dalam pertunjukan sirkus, mereka yang
tampil (sirkustor) telah mengalami de-i-sasi.
Singa yang buas dan ditakuti jadi jinak dan tampak lucu.
Ia mengalami proses de-singa-i-sasi. Begitu juga dengan hewan-hewan lain,
semua telah kehilangan watak orisinalnya. Tentu saja hal itu mengagumkan dan
menyenangkan bagi penonton. Semakin jauh dari karakter orisinalnya, semakin
lucu dan menarik. Itulah dunia sirkus.
Namun kehidupan ini sejatinya bukanlah sirkus, bukan
lucu-lucuan, tetapi dalam kehidupan yang sejati, para pelaku harus memainkan
karakter orisinal (genuine) masing-masing. Bagaimana jika de-i-sasi itu
terjadi dalam kehidupan nyata? Penegak hukum dengan keadilan sebagai karakter
dan perilaku dasarnya ternyata harus diadili.
Tokoh masyarakat yang berfungsi sebagai pencerah ternyata
justru menyesatkan dan harus dicerahkan. Wakil rakyat yang mestinya menyerap
aspirasi rakyat dan memperjuangkannya malah melakukan korupsi uang rakyat
secara kolektif. Pendidik harus dididik. Demikian seterusnya. Pembicaraan
mereka di ranah publik bisa saja mengagumkan, tetapi manfaat nyata bagi
perubahan masyarakat sulit diharapkan. Karena kehilangan karakternya.
Mereka hanya jadi tontonan dan tak pernah jadi tuntunan.
Itulah gambaran dari peribahasa Inggris, when wealth is lost, nothing is
lost; when health is lost, something is lost; when character is lost,
everything is lost. Bangsa ini membutuhkan bukan saja orang-orang jenius
dalam perspektif pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga membutuhkan orang
yang santun dalam bertutur kata, menghargai, menghormati sesama, dan
memanusiakan manusia (humanizing the human being).
Dalam bahasa Kurikulum 2013, yang kita bangun adalah
generasi yang memiliki keutuhan kompetensi sikap (attitude), keterampilan
(skills), dan pengetahuan (knowledge). Keutuhan ketiga kompetensi tersebut
mengantarkan anak didik menuju kesempurnaan. Itulah tradisi profetik dan
tradisi pendiri bangsa yang menjadi sumber keteladanan bagi kita.
Sehubungan dengan itu, menarik sekali apa yang disampaikan
oleh salah satu pendiri dan guru bangsa yang juga pendiri NU, KH Hasyim
Asyari, dalam karya klasiknya, Adabul Alim wal Mutaallim: semua amal ibadah,
baik rohani maupun jasmani, perkataan maupun perbuatan, tidak akan dihitung
kecuali disertai perilaku serta budi pekerti yang terpuji.
Menghiasi amal di dunia dengan adab (karakter baik)
menjadi tanda bahwa amal itu akan diterima kelak di akhirat. Kini
pertanyaannya: bagaimana caranya, dari mana harus memulai, dan kapan saat
yang tepat untuk mendidik karakter baik ini? Insya Allah akan diulas pada
tulisan berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar