Turki
– Antara Timur dan Barat
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 18 Maret 2017
Turki, selama ini, selalu disebut menduduki posisi unik di
dunia, baik lokasi geografis maupun aspirasi politiknya. Dari sisi lokasi,
Turki dikatakan berada di persimpangan jalan antara Eropa dan Asia; bahkan
wilayahnya pun ada di Benua Asia dan Eropa.
Karena itu, Revolusi Turki yang dikobarkan oleh Bapak
Bangsa Turki Mustafa Kemal Atatürk dimaksudkan untuk mendekonstruksi rezim
kesultanan lama dan membangun sebuah nation-state (negara bangsa) baru.
Nasionalisasi dan modernisasi menjadi sasaran utama Kemalis yang berkeinginan
menggantikan struktur sosial lama dengan struktur sosial kontemporer yang
sama dengan negara-negara Eropa (Gulce Tarhan: 2001).
Lewat revolusinya, misi Atatürk adalah menjadikan bangsa
Turki setara dengan bangsa Eropa secara sosial, pendidikan, dan kultural,
serta menjadikan Turki bagian dari komunitas internasional bangsa-bangsa
modern-dengan kata lain "menjadikan Turki negara Eropa" (Sina
Aksin).
Karena itu, fondasi kebijakan luar negeri Turki memiliki
dua tujuan, yakni modernisasi dan westernization. Perjuangan untuk mewujudkan
cita-cita revolusi hingga kini masih terus diusahakan meskipun
tertatih-tatih, misalnya, untuk bergabung menjadi anggota Uni Eropa belum
berhasil.
Posisi Turki tersebut, hingga saat ini, tetaplah penting.
Mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Paul Wolfowitz pernah
mengatakan, tidak ada negara lain yang pantas mendapat kata "strategis"
(secara geografis) selain Turki. Pernyataan itu, mungkin, terasa klasik.
Namun, posisi Turki memang demikian adanya. Turki benar-benar memainkan
jembatan yang sangat penting, dalam sejumlah kutub: Timur dan Barat;
keterbelakangan ekonomi dan modernitas; masa lalu kerajaan dan masa kini yang
modern; serta obskurantisme agama dan modernitas warga (Patricia Carley:
1995).
Karena posisinya itulah, kini Turki merasakan akibat yang
sangat nyata dari krisis di Suriah-negara tetangganya-yang pecah sejak tahun
2011. Beberapa akibat yang langsung dirasakan Turki, karena terus memburuknya
krisis di Suriah, adalah pertama, menyangkut keamanan; kedua, membanjirnya
pengungsi; ketiga, memburuknya masalah Kurdi.
Padahal, hubungan Turki dengan Timur Tengah-juga dengan beberapa
negara lain-akan ditentukan oleh keberhasilan Turki mengatasi dua masalah
domestik: pemberontakan Kurdi dan masalah ekonomi. Kegagalan mengatasi kedua
hal itu akan mengancam stabilitas politik negara. Dan krisis Suriah telah
memperumit penyelesaian masalah Kurdi.
Persoalan lain yang muncul akibat krisis Suriah adalah
Turki terlempar ke posisi yang sulit dalam hubungan dengan Rusia, dengan
Iran, dan juga dengan negara-negara Eropa Barat. Hubungannya dengan
Eropa-sebelum muncul persoalan dengan Belanda-menjadi kurang baik karena
masalah pengungsi Suriah, yang masuk ke Eropa lewat Turki. Sebaliknya, Turki
bisa menggunakan para pengungsi sebagai senjata untuk menghadapi Eropa, hal
yang sekarang dilakukan Ankara.
Turki, Rusia, dan Iran sebenarnya merupakan segitiga
kekuatan yang akan meningkatkan dinamika di kawasan Mediterania Timur,
Kaukasus, dan Asia Tengah. Hubungan antara Turki dan Rusia naik-turun sejak
zaman Ottoman dulu. Demikian pula hubungan Turki dan Iran, seperti komedi
putar.
Ketika krisis Suriah pecah, Turki dan Rusia berbeda sikap
dalam menanggapinya. Turki menginginkan rezim Damaskus jatuh, sebaliknya
Rusia mendukungnya. Demikian pula dengan Iran, seperti Rusia, mendukung rezim
Bashar al-Assad.
Akan tetapi, setelah perang berlarut-larut dan Turki
benar-benar merasakan akibat perang, kepentingan jangka pendek telah
mempertemukan mereka. Turki sangat berkepentingan untuk segera berakhirnya
peperangan di Suriah sebab peperangan yang berlarut sama artinya dengan
berlarutnya isu pemberontakan Kurdi, berlanjutnya ancaman keamanan, banjir
pengungsi, dan keguncangan stabilitas politik dalam negeri.
Sebenarnya krisis pengungsi ini menjadi jalan bagi Turki
untuk membuka dialog yang lebih intens dengan Uni Eropa (yang kebanjiran
pengungsi) guna mewujudkan cita-cita revolusi-kalau cita-cita itu masih
dipertahankan pemimpin Turki Recep Tayyip Erdogan. Kalaupun tidak, Turki
tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa Eropa tetap merupakan sandaran untuk
pembangunan ekonominya. Adapun Eropa dapat "menggunakan" Turki
untuk kepentingan mereka berhubungan dengan Rusia dan Iran, terutama
menyangkut krisis Suriah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar