Kolusi
Merapuhkan Birokrasi
Adnan Topan Husodo ; Koordinator ICW
|
TEMPO.CO, 24 Maret 2017
Sidang
kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten yang
menyeret mantan Gubernur Banten, Atut Chosiyah, sebagai terdakwa menegaskan
adanya praktek politisasi birokrasi yang amat serius. Dalam sidang terungkap
berbagai kesaksian bagaimana Atut dan keluarganya mampu mengatur birokrasi
agar loyal dan tunduk kepada perintah mereka.
Kasus
Banten barangkali agak sedikit berbeda dengan Kabupaten Klaten. Dalam konteks
Klaten, bupati menjadi tersangka karena menerima suap dari penempatan berbagai
jabatan birokrasi, atau yang dikenal sebagai skandal jual-beli jabatan.
Skandal ini menjual wewenang kepala daerah melalui mekanisme pasar. Artinya,
siapa yang sanggup membayar, dialah yang akan mendapatkan posisi itu.
Jika
kemudian terjadi persekongkolan antara mereka yang membeli posisi dan pejabat
di atasnya untuk mencuri uang publik (APBD), itu adalah tahap konsolidasi
elite politik lokal dan birokrasi yang sama-sama berambisi untuk
melipatgandakan aset dan memperluas kekuasaan mereka. Tak mengherankan jika
banyak ditemukan profil kekayaan pejabat di daerah yang tidak sesuai dengan
penerimaan atau pendapatan resmi mereka.
Apa
yang terjadi dalam dua kasus di atas juga menjelaskan bagaimana motif korupsi
sudah begitu mengakar pada sebagian besar pejabat publik kita. Pada satu
sisi, kita bisa saja menempatkan status para pejabat birokrasi yang terseret
kasus korupsi di atas sebagai korban dari kekuasaan dan ambisi politik kepala
daerah atau keluarganya.
Pada
sisi lain, kita juga dapat memposisikan mereka sebagai salah satu pelakunya
lantaran mereka tetap bisa menolak atau tidak mengambil jabatan itu jika
harus membayar. Pendek kata, dengan bergabung dalam jejaring korupsi itu,
mereka menjadi kaya-raya dan berkuasa.
Akibat
dari politisasi birokrasi yang menggejala di berbagai pemerintahan daerah,
banyak agenda dan program pembangunan yang tidak berjalan efektif. Upaya
mengentaskan masyarakat miskin, meningkatkan akses dan mutu pendidikan
rakyat, perbaikan layanan publik di sektor kesehatan, ketersediaan air
bersih, kualitas moda transportasi publik dan infrastruktur jalan, hadirnya
rasa aman dan nyaman, serta berbagai macam urusan publik lainnya tak kunjung
terwujud. Hal ini karena penempatan birokrasi banyak yang tidak sejalan
dengan prinsip merit dan asas tata kelola pemerintahan yang baik lantaran
intervensi politik yang kuat dari kepala daerah.
Kehadiran
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara sebenarnya menjadi obat untuk memulihkan
birokrasi yang korup, tidak profesional, lamban, malas, dan berbagai persepsi
negatif lainnya yang selama ini digunakan oleh masyarakat dalam menilai
birokrasi. Salah satu yang menjadi ujung tombak pengawasan program reformasi
birokrasi adalah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Salah
satu wewenang Komisi adalah memberikan penilaian atas mekanisme promosi,
mutasi, dan pengangkatan pejabat tinggi di daerah maupun aparat sipil secara
umum. Pada intinya, mekanisme pe-nempatan pejabat tinggi di pemerintahan,
baik di tingkat pusat maupun daerah, harus mengikuti asas good governance dan
mengedepankan sistem merit dengan menempatkan kualitas dan integritas
personal calon sebagai penentu untuk menempati posisi itu.
Kehadiran
dan sepak terjang Komisi dalam tingkat tertentu dapat menghambat upaya
konsolidasi kekuasaan di level birokrasi dan membangun jarak yang lebih lebar
antara pejabat politik dan birokrasi. Bagaimanapun, dalam praktek korupsi
yang terjadi di berbagai daerah, kepala daerah membutuhkan instrumen
birokrasi untuk mengeksekusi atau mewujudkan ambisi mereka.
Tanpa
birokrasi, pejabat politik mengalami kesulitan, misalnya untuk mengatur
secara teknis proyek-proyek APBD yang akan dibagi kepada rekanan dan
pengaturan mengenai fee-nya. Birokrasi juga menjadi penghubung yang efektif
antara kepala daerah dan para pengusaha dari berbagai kelompok kepentingan
lainnya.
Jika
kemudian ada gagasan dari DPR untuk merevisi Undang-Undang Aparatur Sipil
Negara, termasuk mengamputasi seluruh wewenang KASN dan membubarkannya, tentu
kita menjadi mafhum apa latar belakangnya. Tentu agenda politik DPR untuk
merevisi undang-undang itu, salah satunya, merupakan respons atas
"keluhan" kepala daerah yang tak lagi leluasa menempatkan
orang-orangnya di pos-pos strategis. Mereka tak bisa lagi serta-merta
mengangkat individu yang dianggap berjasa dalam pemenangan pilkada atau
menunjuk bekas anggota tim sukses mereka untuk menjadi pejabat daerah.
Undang-undang
itu telah menutup sebagian akses mereka terhadap kekuasaan dan sumber daya
ekonomi daerah karena adanya mekanisme lelang jabatan dan berbagai macam
prasyarat lain dalam mempromosikan, mengangkat, dan memutasi aparat sipil.
Dengan kata lain, undang-undang itu dan eksistensi Komisi telah berhasil
memutus relasi patronase antara elite politik lokal dan birokrasi. Sayangnya,
di luar wacana revisi Undang-Undang KPK yang juga telah bergulir, secara
perlahan kita juga akan menyaksikan akrobat politik lain untuk merevisi
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar