Untuk
Apa Pilkada?
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis; Kini menjadi seorang profesional di
perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 20 Maret 2017
Pilkada
Jakarta tahun 2017 adalah pilkada yang paling heboh dalam sejarahnya. Ketegangan
pilkada ini merambat, melampaui batas Provinsi DKI, bergaung ke seluruh
pelosok nusantara. Hampir semua orang merasa berkepentingan untuk menentukan
hasil pilkada ini. Kenapa?
Tentu
banyak orang berdalih bahwa keriuhan ini bukan soal pilkada, melainkan soal
dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,
gubernur petahana yang kini bertarung dalam pilkada.
Jauh
sebelum tuduhan penistaan itu ada, Ahok sudah ditolak oleh kelompok yang sama
dengan yang memotori demonstrasi terhadap kasus pelecehan itu. Bahkan, sejak
pilkada 2012, ketika Ahok dicalonkan sebagai wakil gubernur berpasangan
dengan Jokowi, isu SARA sudah dimainkan untuk menghadangnya.
Bagi
saya soalnya sangat jelas, yaitu soal ego sebagian kaum muslim, yang tidak
rela Jakarta dipimpin oleh non-muslim. Soal lain-lain hanyalah basa-basi
untuk menutupi fakta itu belaka.
Hasilnya,
pilkada Jakarta jauh dari perdebatan soal program kerja. Berbagai program
kerja yang dipaparkan secara detil oleh Ahok-Djarot seperti menerpa ruang
kosong. Orang-orang lebih tertarik untuk mencegah Ahok yang non-muslim
menjadi gubernur lagi, ketimbang memikirkan bagaimana nasib pembangunan
Jakarta 5 tahun lagi.
Karena
alasan itulah maka pilkada di daerah lain jadi sepi dari sorotan. Tengoklah
misalnya Pilkada Banten, yang bersebelahan dengan Jakarta. Meski kedua
pasangan calon bersaing ketat, tak ada keriuhan yang berarti. Kenapa? Karena
keduanya tak menyodorkan perbedaan apapun. Ini hanya pertarungan 2 politikus,
yang sebenarnya pertarungan ulang dari pilkada sebelumnya. Rakyat disuruh
memilih 2 pasangan yang entah apa bedanya. Bagaimana rakyat menentukan?
Karena
tak ada isu panas soal muslim dan non-muslim, parameter penentuan pilihan
jadi sangat kabur. Pilihan akhirnya ditentukan berdasarkan gencarnya
pendekatan selama kampanye, keterikatan emosional dengan pasangan calon, atau
boleh jadi digiring oleh kekuatan politik uang.
Pilkada
di daerah lain pun begitu pula adanya. Tanpa ideologi, tanpa program kerja.
Hanya sedikit calon yang mampu menyodorkan program nyata untuk membangun.
Kalau pun ada, belum tentu sanggup menarik perhatian pemilih.
Ada
banyak kasus di mana janji-janji kampanye ternyata hanya janji kosong belaka.
Akhirnya rakyat pun skeptis dengan tawaran program, karena toh setiap calon
bisa menawarkan program yang manis yang indah.
Ada
begitu banyak daerah dengan berbagai masalah pembangunan yang tak kunjung
dibereskan. Pemimpin datang silih berganti, dipilih langsung melalui pilkada.
Tapi tak pernah ada perubahan. Pemimpin yang terpilih kembali belum tentu
karena rakyat puas dengan kinerjanya. Yang kalah juga tak mesti kinerja atau
tawaran programnya buruk. Karena pilkada kita memang bukan soal kinerja dan
program.
Jadi,
untuk apa pilkada? Pilkada hanyalah pekan raya, atau kompetisi bak piala
dunia sepak bola. Kita ikut hura-huranya. Kita mendukung calon tertentu,
sebagaimana kita mendukung tim sepak bola tertentu pada piala dunia. Ketika
mereka menang kita bersorak, ketika kalah kita kecewa. Tapi itu hanya
sejenak. Selepas itu, kita kembali pada hidup masing-masing. Pekan raya dan
piala dunia tak punya efek terhadap hidup kita.
Jadi,
ini salah siapa? Ya salah kita, sebagai pemilih. Pemilih masih belum sanggup
merangkai hubungan yang nyata antara satu coblosan yang ia buat di bilik
suara dengan perubahan dalam kehidupannya. Banyak yang belum paham soal itu.
Ada pula yang sebenarnya paham, namun tetap lebih suka mengejar bagian
hura-hura, mementingkan kepuasan emosi ketimbang menggunakan nalar.
Apa
boleh buat, 5-10 tahun ke depan pilkada kita sebagian besar masih akan
seperti ini. Tapi kita tidak boleh berhenti melakukan pendidikan politik
untuk memperbaikinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar