Ogoh-ogoh
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 25 Maret 2017
Datanglah
ke Bali, Senin, 27 Maret nanti. Di pelosok pulau itu, di kota maupun di desa,
masyarakat ramai mengarak ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh ini lambang setan, atau di
Bali disebut bhuta. Wajahnya seram, melambangkan sifatnya yang buruk suka
mengganggu orang. Kalau dipadankan saat ini, ogoh-ogoh cocok melambangkan
orang yang suka memaki, membenci, memfitnah, dan tentu saja suka bikin hoax.
Ogoh-ogoh
diarak keliling desa atau jalanan kota dengan maksud dipertontonkan kepada
masyarakat agar sifatnya jangan ditiru, kemudian dihancurkan. Hal itu adalah
simbol setan sudah kalah. Masyarakat bisa tenang dan hening merayakan tahun
baru Saka, esok harinya.
Tapi
kenapa ogoh-ogoh diusung dengan riang? Kenapa masyarakat menyambutnya dengan
gembira? Entah berapa puluh kamera dan ratusan handphone berkamera memotret
ogoh-ogoh yang jadi tokoh sentral itu. Jangan-jangan ini perlambang pula
bahwa kita lagi asyik mengusung dan memuja tokoh yang jahat naik panggung.
Dunia yang terbalik-balik.
Para
pemaki, pembenci, penyebar hoax, dan sebangsanya seharusnya tergolong
"profesi" yang setara dengan bhuta, harus kita campakkan dari
pergaulan yang sehat. Namun saat ini justru banyak pengusungnya karena ada
kepentingan sesaat. Ada orang yang tadinya berada dalam tataran yang
seharusnya berwacana sejuk dan adem karena ditokohkan umat, tiba-tiba
berbicara lantang menyerang dan memaki tokoh lain.
Seharusnya
orang itu diingatkan di mana posisinya, namun banyak orang terbius dan kagum
oleh serangan tokoh itu, lalu mengusungnya ke panggung karena adanya
persamaan kepentingan. Tokoh yang diserang pun tak kuat mengendalikan diri
untuk membalas makian, dan ini pun diusung ramai-ramai. Jadi, sudah tak jelas
yang mana patut dijadikan simbol ogoh-ogoh, penyerang atau yang diserang.
Saking ramainya penonton, bahkan kemudian tidak jelas pula orang yang mana
atau kelompok mana yang mengawali serangan. Kepentingan sesaat mengalahkan
kepentingan jangka panjang. Kepentingan sesaat itu, misalnya, memilih
Gubernur DKI Jakarta saat ini.
Di
Bali, pengusung ogoh-ogoh rentan menjadi korban, apalagi jika dua ogoh-ogoh
bertemu. Seperti itulah masyarakat pengusung dua pasangan calon Gubernur
Jakarta saat ini. Korban itu minimal rusaknya pertemanan, atau tiba-tiba
curiga terhadap teman sekampung, karena kita sudah terhipnotis harus memilih:
kalau tidak ini ya harus itu. Berita hoax berhamburan, juga spanduk hoax yang
tidak jelas siapa pembuatnya.
Yang
satu menuduh "pasti kelompok itu" berdasarkan bunyi spanduknya.
Kelompok yang dituduh balik menuduh kelompok lawan dengan dalih memakai
teknik yang biasa ada dalam dunia pewayangan: berbuat sendiri, menghebohkan
perbuatan itu, lalu menuduh orang lain yang berbuat.
Tentu
tidak pas menganalogikan pawai ogoh-ogoh di Bali dengan pesta demokrasi di
Jakarta. Di Bali orang sepakat, ogoh-ogoh yang diusung adalah simbol
kejahatan. Di Jakarta tidak demikian. Pengusung dan yang diusung sama-sama
menyebut kelompoknya sebagai orang-orang baik. Tapi pengusung yang satu akan
menyebut yang diusung kelompok satu lagi jahat, demikian sebaliknya. Sudah
pula diciptakan simbol khusus untuk menjahatkan masing-masing pihak. Yang
satu disebut "penista agama", yang satu lagi disebut "kelompok
intoleran". Agama dan toleransi kadang mudah disandingkan.
Kira-kira,
bagaimana ending-nya? Pawai ogoh-ogoh acap berakhir ricuh di Bali jika aparat
berpihak. Semoga di Jakarta aparat tetap menjaga kepentingan jangka panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar