Selasa, 28 Maret 2017

Ogoh-ogoh

Ogoh-ogoh
Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                     TEMPO.CO, 25 Maret 2017


                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Datanglah ke Bali, Senin, 27 Maret nanti. Di pelosok pulau itu, di kota maupun di desa, masyarakat ramai mengarak ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh ini lambang setan, atau di Bali disebut bhuta. Wajahnya seram, melambangkan sifatnya yang buruk suka mengganggu orang. Kalau dipadankan saat ini, ogoh-ogoh cocok melambangkan orang yang suka memaki, membenci, memfitnah, dan tentu saja suka bikin hoax.

Ogoh-ogoh diarak keliling desa atau jalanan kota dengan maksud dipertontonkan kepada masyarakat agar sifatnya jangan ditiru, kemudian dihancurkan. Hal itu adalah simbol setan sudah kalah. Masyarakat bisa tenang dan hening merayakan tahun baru Saka, esok harinya.

Tapi kenapa ogoh-ogoh diusung dengan riang? Kenapa masyarakat menyambutnya dengan gembira? Entah berapa puluh kamera dan ratusan handphone berkamera memotret ogoh-ogoh yang jadi tokoh sentral itu. Jangan-jangan ini perlambang pula bahwa kita lagi asyik mengusung dan memuja tokoh yang jahat naik panggung. Dunia yang terbalik-balik.

Para pemaki, pembenci, penyebar hoax, dan sebangsanya seharusnya tergolong "profesi" yang setara dengan bhuta, harus kita campakkan dari pergaulan yang sehat. Namun saat ini justru banyak pengusungnya karena ada kepentingan sesaat. Ada orang yang tadinya berada dalam tataran yang seharusnya berwacana sejuk dan adem karena ditokohkan umat, tiba-tiba berbicara lantang menyerang dan memaki tokoh lain.

Seharusnya orang itu diingatkan di mana posisinya, namun banyak orang terbius dan kagum oleh serangan tokoh itu, lalu mengusungnya ke panggung karena adanya persamaan kepentingan. Tokoh yang diserang pun tak kuat mengendalikan diri untuk membalas makian, dan ini pun diusung ramai-ramai. Jadi, sudah tak jelas yang mana patut dijadikan simbol ogoh-ogoh, penyerang atau yang diserang. Saking ramainya penonton, bahkan kemudian tidak jelas pula orang yang mana atau kelompok mana yang mengawali serangan. Kepentingan sesaat mengalahkan kepentingan jangka panjang. Kepentingan sesaat itu, misalnya, memilih Gubernur DKI Jakarta saat ini.

Di Bali, pengusung ogoh-ogoh rentan menjadi korban, apalagi jika dua ogoh-ogoh bertemu. Seperti itulah masyarakat pengusung dua pasangan calon Gubernur Jakarta saat ini. Korban itu minimal rusaknya pertemanan, atau tiba-tiba curiga terhadap teman sekampung, karena kita sudah terhipnotis harus memilih: kalau tidak ini ya harus itu. Berita hoax berhamburan, juga spanduk hoax yang tidak jelas siapa pembuatnya.

Yang satu menuduh "pasti kelompok itu" berdasarkan bunyi spanduknya. Kelompok yang dituduh balik menuduh kelompok lawan dengan dalih memakai teknik yang biasa ada dalam dunia pewayangan: berbuat sendiri, menghebohkan perbuatan itu, lalu menuduh orang lain yang berbuat.

Tentu tidak pas menganalogikan pawai ogoh-ogoh di Bali dengan pesta demokrasi di Jakarta. Di Bali orang sepakat, ogoh-ogoh yang diusung adalah simbol kejahatan. Di Jakarta tidak demikian. Pengusung dan yang diusung sama-sama menyebut kelompoknya sebagai orang-orang baik. Tapi pengusung yang satu akan menyebut yang diusung kelompok satu lagi jahat, demikian sebaliknya. Sudah pula diciptakan simbol khusus untuk menjahatkan masing-masing pihak. Yang satu disebut "penista agama", yang satu lagi disebut "kelompok intoleran". Agama dan toleransi kadang mudah disandingkan.

Kira-kira, bagaimana ending-nya? Pawai ogoh-ogoh acap berakhir ricuh di Bali jika aparat berpihak. Semoga di Jakarta aparat tetap menjaga kepentingan jangka panjang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar