Kamis, 23 Maret 2017

Demokrasi Elektoral Mencari Bentuk

Demokrasi Elektoral Mencari Bentuk
Gunawan Suswantoro  ;   Sekretaris Jenderal Bawaslu RI
                                                     TEMPO.CO, 22 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dinamika pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang sedang berlangsung di DPR ternyata memunculkan beberapa pertanyaan mendasar. Pertanyaan itu, antara lain, mengenai representasi publik yang akan dihasilkan oleh sistem pemilu dan upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif melalui demokrasi elektoral multipartai.

Jika berkaca pada sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata bangunan relasi Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat selalu diwarnai ketidakefektifan dalam pengambilan kebijakan. Setidaknya ada empat hak angket di DPR dan dua kali perombakan kabinet pada masa SBY-JK. Meski upaya membangun koalisi di parlemen untuk mendukung kekuasaan Presiden telah digalang melalui Koalisi Kerakyatan dari tujuh partai pendukung plus Partai Golkar hingga menguasai 71 persen suara di DPR, fragmentasi dalam jajaran Koalisi Kerakyatan tetap tidak terhindarkan.

Cerita yang sama berlanjut dalam skema Sekretariat Gabungan koalisi partai pendukung SBY-Boediono. Manuver partai-partai pendukung SBY-Boediono dalam Pansus Century menunjukkan mekanisme Setgab telah memunculkan krisis dalam tatanan sistem presidensialisme. Kompleksitas relasi kuasa Presiden dan DPR yang tergambarkan sebagai Presidensialisme Setengah Hati (Hanta, 2013) telah diperkuat oleh kajian disertasi dari Agus Gumiwang (2014), yang menyoal efektivitas Setgab Partai Koalisi SBY-Boediono.

Kompleksitas tersebut merupakan suatu keniscayaan bagi siapa pun presiden yang berkuasa. Kerumitan hubungan Presiden dan DPR akan terus terjadi selama tidak terbentuk mayoritas sederhana (simple majority) di parlemen yang multipartai. Realitas ini menegaskan pentingnya bangunan sistem pemilu yang akan mempengaruhi tingkat koherensi/fragmentasi sistem kepartaian yang berujung pada derajat efektivitas pemerintah.

Penambahan parliamentary threshold dari 2,5 persen pada 2009 menjadi 3,5 persen pada 2014 tidak serta-merta mengurangi jumlah partai politik. Semangat penyederhanaan sistem kepartaian melalui ambang batas parlemen ini selalu digulirkan oleh partai-partai mapan. Dalam pembahasan Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu saat ini, partai-partai besar menghendaki kenaikan ambang batas parlemen ini menjadi 5-10 persen dengan harapan wajah parlemen ke depan semakin sederhana. Sedangkan partai-partai menengah tetap menghendaki di kisaran 3,5 persen agar mereka tetap bisa berkontes di Pemilu 2019.

Bertepatan dengan prinsip keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019, beberapa kalangan menilai presidential threshold tidak lagi relevan untuk diterapkan. Sebagian kalangan tersebut merupakan partai-partai baru yang berharap keserentakan dan penegasian ambang batas tersebut bakal memunculkan wajah-wajah baru calon pemimpin negeri ini.

Tidak menutup kemungkinan wacana ini juga akan didukung partai-partai besar sesuai dengan logika keputusan keserentakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal yang pasti adalah akan terjadi perang argumentasi yang sengit dalam pembahasan di Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu ini. Salah satu argumentasi yang pasti akan dilontarkan adalah efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan yang menyangkut tujuh hal, yaitu pemutakhiran data pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas, honorarium, dan uang lembur. Jumlah dana yang bisa dihemat konon mencapai Rp 10 triliun.

Wacana perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka saat ini menjadi sistem pemilu proporsional terbuka terbatas juga mengemuka di antara kegelisahan terhadap minimnya insentif bagi para pegiat partai itu sendiri. Sistem proporsional terbuka dinilai tidak cukup menjanjikan bagi para pengurus partai untuk dapat menduduki jabatan politik. Sistem pemilu ini diyakini akan dapat mendorong partai-partai melakukan fungsi kaderisasi lebih baik dengan ditopang struktur insentif dalam pemilu.

Rancang bangun sistem pemilu di Indonesia berjalan sangat dinamis. Setiap mendekati pemilu, Undang-Undang Pemilu maupun Penyelenggara Pemilu selalu berubah dalam merespons perkembangan politik kepartaian. Dinamika sistem pemilu bergerak mencari bentuk ideal dari dua pendulum sistem presidensial dan sistem multipartai. Bongkar-pasang sistem pemilu, tarik-ulur besaran threshold, dan varian-varian perkembangan sistem pemilu lainnya, seperti partisipasi perempuan dan penggunaan teknologi informasi, akan menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika politik pemilu.

Namun perubahan desain sistem pemilu yang terlalu cepat akan menimbulkan kerumitan, terutama bagi penyelenggara pemilu yang harus menurunkan regulasi baru dalam bentuk tata kelola yang lebih teknis. Partai dan para peserta pemilu tentu butuh menyusun dan menjalankan strategi pemenangan yang jitu. Adapun para pemilih harus memiliki kecerdasan dalam konsep political efficacy untuk membangun peta checks and balances melalui straight ticket atau split ticket dalam "pemilu lima kotak" mendatang.

Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu kali ini diharapkan akan menghadirkan sistem yang mampu menjamin legitimasi proses dan hasil pemilu yang bersih dan bermartabat, serta dapat memperkuat penyelenggaraan pemerintahan presidensial yang efektif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar