Demokrasi
Elektoral Mencari Bentuk
Gunawan Suswantoro ; Sekretaris Jenderal Bawaslu RI
|
TEMPO.CO, 22 Maret 2017
Dinamika pembahasan
Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang sedang
berlangsung di DPR ternyata memunculkan beberapa pertanyaan mendasar.
Pertanyaan itu, antara lain, mengenai representasi publik yang akan
dihasilkan oleh sistem pemilu dan upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif
melalui demokrasi elektoral multipartai.
Jika berkaca pada sepuluh
tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata bangunan
relasi Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat selalu diwarnai ketidakefektifan
dalam pengambilan kebijakan. Setidaknya ada empat hak angket di DPR dan dua
kali perombakan kabinet pada masa SBY-JK. Meski upaya membangun koalisi di
parlemen untuk mendukung kekuasaan Presiden telah digalang melalui Koalisi
Kerakyatan dari tujuh partai pendukung plus Partai Golkar hingga menguasai 71
persen suara di DPR, fragmentasi dalam jajaran Koalisi Kerakyatan tetap tidak
terhindarkan.
Cerita yang sama berlanjut
dalam skema Sekretariat Gabungan koalisi partai pendukung SBY-Boediono.
Manuver partai-partai pendukung SBY-Boediono dalam Pansus Century menunjukkan
mekanisme Setgab telah memunculkan krisis dalam tatanan sistem
presidensialisme. Kompleksitas relasi kuasa Presiden dan DPR yang
tergambarkan sebagai Presidensialisme Setengah Hati (Hanta, 2013) telah
diperkuat oleh kajian disertasi dari Agus Gumiwang (2014), yang menyoal
efektivitas Setgab Partai Koalisi SBY-Boediono.
Kompleksitas tersebut
merupakan suatu keniscayaan bagi siapa pun presiden yang berkuasa. Kerumitan
hubungan Presiden dan DPR akan terus terjadi selama tidak terbentuk mayoritas
sederhana (simple majority) di parlemen yang multipartai. Realitas ini menegaskan
pentingnya bangunan sistem pemilu yang akan mempengaruhi tingkat
koherensi/fragmentasi sistem kepartaian yang berujung pada derajat
efektivitas pemerintah.
Penambahan parliamentary
threshold dari 2,5 persen pada 2009 menjadi 3,5 persen pada 2014 tidak
serta-merta mengurangi jumlah partai politik. Semangat penyederhanaan sistem
kepartaian melalui ambang batas parlemen ini selalu digulirkan oleh
partai-partai mapan. Dalam pembahasan Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu saat
ini, partai-partai besar menghendaki kenaikan ambang batas parlemen ini
menjadi 5-10 persen dengan harapan wajah parlemen ke depan semakin sederhana.
Sedangkan partai-partai menengah tetap menghendaki di kisaran 3,5 persen agar
mereka tetap bisa berkontes di Pemilu 2019.
Bertepatan dengan prinsip
keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019, beberapa kalangan
menilai presidential threshold tidak lagi relevan untuk diterapkan. Sebagian
kalangan tersebut merupakan partai-partai baru yang berharap keserentakan dan
penegasian ambang batas tersebut bakal memunculkan wajah-wajah baru calon
pemimpin negeri ini.
Tidak menutup kemungkinan
wacana ini juga akan didukung partai-partai besar sesuai dengan logika
keputusan keserentakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal yang pasti adalah akan
terjadi perang argumentasi yang sengit dalam pembahasan di Pansus RUU
Penyelenggaraan Pemilu ini. Salah satu argumentasi yang pasti akan
dilontarkan adalah efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan yang
menyangkut tujuh hal, yaitu pemutakhiran data pemilih, sosialisasi,
perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas, honorarium, dan uang
lembur. Jumlah dana yang bisa dihemat konon mencapai Rp 10 triliun.
Wacana perubahan sistem
pemilu dari proporsional terbuka saat ini menjadi sistem pemilu proporsional
terbuka terbatas juga mengemuka di antara kegelisahan terhadap minimnya
insentif bagi para pegiat partai itu sendiri. Sistem proporsional terbuka
dinilai tidak cukup menjanjikan bagi para pengurus partai untuk dapat
menduduki jabatan politik. Sistem pemilu ini diyakini akan dapat mendorong
partai-partai melakukan fungsi kaderisasi lebih baik dengan ditopang struktur
insentif dalam pemilu.
Rancang bangun sistem
pemilu di Indonesia berjalan sangat dinamis. Setiap mendekati pemilu,
Undang-Undang Pemilu maupun Penyelenggara Pemilu selalu berubah dalam
merespons perkembangan politik kepartaian. Dinamika sistem pemilu bergerak
mencari bentuk ideal dari dua pendulum sistem presidensial dan sistem
multipartai. Bongkar-pasang sistem pemilu, tarik-ulur besaran threshold, dan
varian-varian perkembangan sistem pemilu lainnya, seperti partisipasi
perempuan dan penggunaan teknologi informasi, akan menjadi bagian tak
terpisahkan dari dinamika politik pemilu.
Namun perubahan desain
sistem pemilu yang terlalu cepat akan menimbulkan kerumitan, terutama bagi
penyelenggara pemilu yang harus menurunkan regulasi baru dalam bentuk tata
kelola yang lebih teknis. Partai dan para peserta pemilu tentu butuh menyusun
dan menjalankan strategi pemenangan yang jitu. Adapun para pemilih harus
memiliki kecerdasan dalam konsep political efficacy untuk membangun peta
checks and balances melalui straight ticket atau split ticket dalam
"pemilu lima kotak" mendatang.
Pembahasan
RUU Penyelenggaraan Pemilu kali ini diharapkan akan menghadirkan sistem yang
mampu menjamin legitimasi proses dan hasil pemilu yang bersih dan
bermartabat, serta dapat memperkuat penyelenggaraan pemerintahan presidensial
yang efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar