Hasyim
Muzadi dan Fleksibilitas Islam
M Bambang Pranowo ; Guru Besar UIN Jakarta;
Rektor Universitas Mathla’ul
Anwar Banten
|
KORAN
SINDO, 20
Maret 2017
Di bawah kepemimpinan KH Hasyim Muzadi, NU dan
Muhammadiyah seakan bersatu. Tak sedikit orang menyebut almarhum KH Hasyim
Muzadi adalah ketua PP Muhammadinu (Muhammadiyah dan NU). Kenapa? Karena KH
Hasyim sebagai orang NU terlihat sangat akrab dengan Ketua Umum PP
Muhammadiyah Din Syamsuddin sehingga seakan-akan Hasyim juga pengikut
Muhammadiyah. Gedung Dewan Dakwah Muhammadiyah di Menteng, misalnya, seakan-akan
menjadi kantor kedua Kiai Hasyim selain kantor PBNU di Kramat, Jakarta.
Beliau menyatakan, Muhammadiyah dan NU itu bukan perbedaan
paham, tetapi soal pembagian kerja untuk kemaslahatan umat. Biarkan orang-orang
Islam yang pintar, kelas menengah, dan profesional diurus Muhammadiyah,
sedangkan umat Islam di pinggiran, di kampung-kampung terpencil diurus oleh
NU. Karena itu, ketika menjadi pimpinan puncak NU, Hasyim sering bolak-balik
ke Gedung Muhammadiyah dan rajin urun rembuk bersama PP Muhammadiyah untuk
mengatasi berbagai soal negara, bangsa, dan keumatan. Dengan demikian
keakraban antara Hasyim dan Din sebenarnya tidak hanya karena keduanya satu
almamater–Pondok Modern Gontor–, tetapi juga karena kesamaan visi dan
pemikirannya. Baik Hasyim maupun Din adalah dua tokoh yang menghendaki Islam
itu fleksibel, luwes, dan memberi pencerahan pada kehidupan manusia, baik
secara sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
Menurut Kiai Hasyim, dasar negara Pancasila dan NKRI di
Indonesia sudah final. Para founding fathers negeri ini, terutama dari
kalangan Islam, sudah sepakat Pancasila adalah dasar yang dipakai untuk
berdirinya Republik Indonesia. Dalam berbagai ceramahnya, Hasyim selalu
menekankan bahwa keislaman Indonesia yang berkarakter nasionalisme harus
dirawat dan dijaga. Sebab, jika tidak, Islam bisa dimasuki unsurunsur luar
sehingga menghancurkan ciri-ciri khas Islam Indonesia. Islam berkarakter non-
Indonesia ini, oleh Hasyim, disebut Islam transnasional.
Islam transnasional, menurut Hasyim, adalah Islam yang
mengadopsi budaya-budaya luar yang tidak kompatibel dengan budaya Indonesia.
Bagi Hasyim, kebesaran Islam justru terjadi ketika Islam mampu mengadopsi
budayabudaya lokal di mana Islam berada. Di Jawa, misalnya, Islam cepat
tersebar dan bahkan masuk ke keraton dengan mudah karena mampu mengadopsi
budaya-budaya setempat tanpa kehilangan ciri-ciri dasar keislamannya (seperti
Rukun Iman dan Rukun Islam).
Penyebaran Islam di Jawa oleh para wali (Wali Sanga) dan
kiai-kiai tradisional, misalnya, mengadopsi budaya lokal untuk menstimulasi
dakwah Islam di Pulau Jawa. Sunan Bonang, misalnya, menciptakan lagu
Ilir-Ilir yang kemudian sangat populer di masyarakat Jawa. Lagu gubahan Sunan
Bonang berlanggam Jawa ini menjadi sarana dakwah yang sangat efektif di
masyarakat tradisional. Begitu pula transformasi cerita-cerita wayang. Wali
Sanga, misalnya, mengisi kisahkisah Perang Bharatayuda dengan konten Islam
yang dikemas dalam dongeng Jawa.
Bahkan lebih jauh lagi, kisah Dewa Ruci dalam
pewayangan–menurut Van Bruinessen–sebetulnya mengadopsi kisah-kisah sufi
tentang pencarian jati diri manusia dalam Musyawarah Burung karya Fariduddin
al-Attar yang terkenal itu. Modifikasi budaya Jawa dalam Islam inilah yang
kemudian membuat Islam seakan-akan identik dengan kejawaan. Dampaknya Islam
bisa masuk ke dalam pusat-pusat kebudayaan Jawa seperti Keraton Solo dan
Yogyakarta dengan mudah. Padahal, sebagai entitas pusat budaya Jawa, keraton
sudah dekat dengan simbol-simbol budaya Jawa yang bercorak Hinduisme.
Fenomena inilah yang membuat Islam–menurut Ricklefs– mampu menguasai batin
orang Jawa. Saat ini, misalnya, kebudayaan Jawa sudah dianggap identik dengan
Islam. Dampaknya, deklarasi keislaman orang Jawa pun tidak perlu mencopot
simbol-simbol kejawaannya.
Dari gambaran tersebut, Kiai Hasyim benar bahwa Islam
Indonesia itu unik, punya karakter khusus, yang tidak perlu meniru-niru
keislaman budaya lain. Dalam bahasa Hasyim, Islam transnasional adalah
fenomena ”Islam” pendatang baru yang hendak menyabot Islam berkarakter
Indonesia. Dalam bahasa satire, Kiai Hasyim pernah mengungkapkan, umat Islam
harus hati-hati karena ”maling” sekarang tidak hanya mencuri sandal dan
motor, tetapi juga mencuri masjid. Pencurian masjid ini, menurut Kiai Hasyim,
sudah sering terjadi di berbagai pelosok di Indonesia.
Sejumlah takmir masjid misalnya, dirombak struktur
organisasinya oleh kelompok-kelompok Islam transnasional, kemudian dilakukan
pula penggantian rutinitas acara-acara masjid yang sudah mentradisi di
masyarakat dengan aturan-aturan yang ”mereka” tentukan dari ”sono” (baca:
paham mereka yang berbasis Islam transnasional itu). Inilah yang sangat
mencemaskan Kiai Hasyim. Itulah sebabnya, Kiai Hasyim ketika dijenguk oleh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat beliau sakit wanti-wanti berpesan agar
perjuangan Muhammadiyah untuk membumikan Islam di Indonesia diteruskan.
Kiai Hasyim saat itu menyatakan, kondisi umat Islam
Indonesia kini sedang mengalami gangguan budaya oleh infiltrasi kaum muslim
transnasional. Bahkan Kiai Hasyim menganggap munculnya Islam berwajah keras,
radikal, dan sangar adalah akibat pengaruh Islam transnasional tersebut. Kiai
Hasyim adalah tokoh yang merindukan Islam yang ramah dan sejuk, yaitu Islam
yang mengayomi semua komponen bangsa. Islam yang rahmatan lilrahmatan
lilalamin. Bukan Islam yang menyuarakan kekerasan, yang mengafirkan orang yang
berbeda paham dan membidahkan amalan-amalan ibadah yang tak sesuai dengan
pandangannya.
Islam Indonesia, menurut Kiai Hasyim, adalah Islam yang
fleksibel dan terasa menyejukkan di mana-mana. Untuk menjangkau tujuan
tersebut Kiai Hasyim telah membentuk dan menggerakkan forum yang mengusung
saling pengertian antarpemeluk agama, forum yang mendukung toleransi
antarumat beragama, dan forum kajian yang mengangkat nilai-nilai universal
semua agama.
Bagi Kiai Hasyim, Islam haus menjadi tempat yang damai dan
tempat berlindung yang nyaman untuk semua umat manusia. Selamat jalan Kiai
Hasyim. Semoga Tuhan menerima semua amal ibadah, pikiran, dan kontribusi
kemanusiaan yang telah dilakukan Kiai Hasyim selama hidupnya. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar