Relevansi
Makar pada Era Reformasi
Tjipta Lesmana ; Pengamat Politik; Anggota Komisi Konstitusi MPR 2004
|
JAWA
POS, 25
Maret 2017
SEDIKITNYA 10 tokoh aktivis ditangkap dan ditahan
kepolisian sehari sebelum aksi demo besar-besaran 2 Desember (212)
berlangsung. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menegaskan, penangkapan
mereka terkait dugaan makar dengan menunggani aksi demo 212.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai,
penangkapan para aktivis atas tuduhan makar bukan perkara main-main. Sebab,
sesuai KUHP, hukumannya bisa sampai hukuman mati. Sebaliknya, kalangan dari
DPR menuding bahwa tuduhan makar itu hanya mengada-ada. Sri Bintang
Pamungkas, salah seorang tokoh yang ditangkap, berkilah kelompoknya hanya
ingin menyerahkan semacam petisi kepada pimpinan MPR, mendesak MPR segera
menggelar sidang istimewa untuk menjatuhkan pemerintah Jokowi karena berbagai
alasan.
Bukankah tindakan seperti itu masuk ranah makar?
Secara sederhana, makar adalah upaya terorganisasi dari
kekuatan politik tertentu untuk menjatuhkan/menggulingkan pemerintahan yang
konstitusional. Makar beda dengan revolusi. Oxford Dictionary mendefinisikan
revolusi ’’A forcible overthrow of a government or social order, in favour of
a new system’’. Gerakan (bisa dengan kekerasan, bisa juga secara damai) untuk
mengganti sebuah pemerintahan yang sah atau mengubah sistem pemerintahan.
Sedangkan makar dilakukan secara ’’kasak-kusuk”, penuh kerahasiaan, dan
intrik-intrik antara sejumlah kekuatan politik. Makar bisa juga dilancarkan,
biasanya digerakkan, oleh koalisi berbagai kekuatan politik dengan
mengandalkan kekuatan massa.
Revolusi bisa berlangsung dengan kekerasan, bisa juga
secara damai. Aksi rakyat Filipina menjatuhkan rezim Marcos pada 22–25
Februari 1986 di bawah kepemimpinan Corazon Aquino adalah revolusi (damai).
Revolusi Rakyat (People Power Revolution) tentu didahului aksi-aksi
menggoyang pemerintahan Marcos yang dipicu pembunuhan Senator Aquino karena
ketakutan Marcos bahwa kekuatan populer Senator Aquino dapat menumbangkan
kekuasaannya. Aksi-aksi unjuk rasa massa di hampir semua kota besar Mesir
yang dimulai pada 25 Januari 2011 merupakan sebuah revolusi juga. Puncak aksi
People Poweritu terjadi ketika kerumunan massa ratusan ribu bergerak dan berorasi
diTahrir Square (Kairo) pada 8 Februari 2011. Revolusi selama 18 hari itu
berhasil memaksa Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri.
Bagaimana dengan gerakan mahasiswa menjatuhkan rezim Orde
Baru pada Mei 1998? Revolusi atau makar?
Pernyataan Jenderal Tito Karnavian ketika itu banyak
ditanggapi secara sinis. Mana ada lagi relevansi berbicara tentang makar pada
era reformasi atau era demokrasi sekarang? Bukankah konstitusi kita
(khususnya pasal 2 UUD 1945) mengatur secara jelas bagaimana presiden dan/atau
wapres dijatuhkan. Di luar mekanisme itu, upaya menjatuhkan presiden dan/atau
wapres ’’tidak ada ceritanya’’ alias bullshit!
Politik, apa?
Hendaknya semua pihak menyadari betul apa sesungguhnya
politik itu.
Politik adalah the art of the possibility, seni
berkemungkinan. Dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin. Yang tidak
mungkin bisa jadi mungkin. Sebaliknya, yang mungkin bisa jadi tidak mungkin.
Itulah politik! Maka, permainan politik adakalanya susah ’’setengah mati’’
untuk diprediksi, banyak liku-liku, banyak intrik. Yang kawan bisa jadi
lawan, yang sebetulnya teman tiba-tiba bisa berubah menohok kita dari
belakang.
Secara konstitusional, pintu untuk menjatuhkan
presiden/pemerintah digembok kuat oleh UUD 1945. Namun, di luar mekanisme
konstitusional, tetap saja terbuka peluang untuk menjatuhkan pemerintah.
Karena ini urusan politik, dan dalam politik tidak ada yang mustahil.
Tuduhan makar yang dilontarkan pimpinan Polri, menurut
hemat saya, berdasar data intelijen yang kuat. Dan, orang-orang intelijen
membuat analisis demikian, antara lain, berdasar persepsi. Dalam sosiologi
dan ilmu komunikasi diajarkan bahwa manusia berpikir, berpandangan, dan
bertindak, terutama, berdasar persepsi.
Pada kasus aksi 411, penyelenggara demo menjamin demo akan
berlangsung tertib dan damai. Tujuannya hanya satu: memproses dan menahan
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok karena tuduhan menghina agama Islam. Mereka
juga sudah membuat kesepakatan dengan pihak Polri bahwa demo akan berlangsung
sampai pukul 18.00, lokasi unjuk rasa di depan Istana, dan sekitarnya. Namun
realitasnya, aksi menjurus anarkistis, dan ada aksi bakar-bakaran (meski
lokal) di Jalan Merdeka Barat. Dan, di daerah Jakarta Utara tiba-tiba meledak
aksi penjarahan. Sebagian aksi unjuk rasa berlangsung hingga pukul 3–4 pagi,
sebagian massa berkumpul di gedung DPR/MPR, menolak membubarkan diri sebelum
bertemu dan berdialog bersama pimpinan DPR dan MPR. Bukankah pemandangan ini
bisa dipersepsikan mirip dengan situasi di gedung DPR/MPR menjelang jatuhnya
kekuasaan Presiden Soeharto?
Semua kejadian tersebut benar-benar di luar skenario yang
disepakati. Semua itu, tentu, mengundang persepsi negatif di benak para
pimpinan Polri, TNI, dan aparat intelijen. Ada apa sesungguhnya? Maka,
keluarlah ucapan Presiden Jokowi pada 5 November sekitar pukul 00.30. ’’Tapi,
kita menyesalkan kejadian bakda isya yang seharusnya sudah bubar tetapi
menjadi rusuh dan ini kita lihat telah ditunggangi oleh aktor-aktor politik
yang memanfaatkan situasi.”
Terkait aksi 212, pagi hari 2 Desember 2016, masyarakat
melihat Kapolri Tito tampil di layar televisi. Menurut Kapolri Tito dan
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, ada laporan intelijen yang menunjukkan
demo anti-Ahok 2 Desember 2016 telah disusupi aktor-aktor yang ingin makar atas
pemerintahan yang sah. Strategi mereka: menduduki gedung DPR/MPR.
Di luar persepsi (negatif) yang ada di benak pimpinan
penegak hukum dan intelijen, ada juga kondisi subjektif dan objektif yang
dapat menimbulkan kecurigaan bakal terjadinya makar. Belakangan ini cukup
banyak berita yang menggambarkan sisi negatif pemerintahan Jokowi-JK.
Misalnya, kesenjangan ekonomi yang makin lebar, daya beli rakyat yang
menurun, dan utang luar negeri yang kian membengkak. Memang pemerintah yang
baru berumur 2,5 tahun mustahil bisa mengerjakan semua PR warisan yang begitu
berat.
Mengenai kondisi subjektif, sampai hari ini tampaknya
masih ada pihak-pihak yang kalah dalam Pilpres 2014 yang masih tidak legawa
menerima kekalahannya. Beberapa politikus dan anggota DPR tetap saja sangat
vokal. Praktis, kebijakan apa pun yang diambil pemerintah selalu dikritik,
bahkan dikecam.
Seorang politikus Prancis Jean Monnet (1988) pernah
mengatakan: tujuan politisi memang selalu mengejar kekuasaan. Untuk apa
kekuasaan dan bagaimana memecahkan permasalahan bangsa tidak jarang
dilupakan.
Nah, demi menggapai kekuasaan, bisa saja politisi menempuh
cara apa pun, termasuk mengabaikan ketentuan konstitusi sebagaimana diajarkan
oleh Antonio Machavelli. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar