Budaya
Hukum Pelaku Korupsi
Tb Ronny Rachman Nitibaskara ; Ketua Program Studi Pengkajian Ketahanan
Nasional Sekolah Strategi dan Global Pascasarjana, Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 25 Maret 2017
Korupsi
adalah permasalahan setiap negara. Tindak pidana korupsi berdampak merusak
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itulah, lembaga
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan United Nations Convention Against
Corruption 2003 yang wajib diratifikasi setiap negara.
Indonesia
memiliki masalah korupsi yang tidak kalah pelik. Kasus korupsi pengadaan
KTP-el menunjukkan bahwa perilaku korupsi seakan sudah berstatus melebihi
budaya, bahkan telah mendarah daging dalam diri oknum-oknum pelakunya.
Hukum pelaku korupsi
Pada
dasarnya setiap korupsi di birokrasi sifatnya sama, yakni pemanfaatan jabatan
oleh oknum untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya dengan cara
menyimpang dari sumpah jabatan dan hukum.
Korupsi
itu, kendati dianggap kekuatan bersifat lunak (soft power), daya rusaknya
tidak kalah dari ancaman kekuatan keras (hard power), seperti konflik
kekerasan kolektif yang berkelanjutan, separatisme, atau perang sekalipun.
Kenyataan demikian akan diperparah ketika korupsi dilakukan dengan
menggunakan hukum sebagai alatnya. Jadilah kejahatan sempurna (perfect crime)
dengan pengetahuan hukum dan kekuasaan yang dimiliki. Tidaklah mengherankan
jika hukum dijadikan alat kejahatan (law as a tool of crime) yang dapat
menyembunyikan korupsi dalam kebijakan yang memayunginya.
Pelaku
tindak pidana korupsi kebanyakan berasal dari kelas menengah atau kalangan
terdidik. Satu golongan dengan pendidikan tinggi dan profesi atau karier yang
mapan.
Bagi
mereka, bayang-bayang ancaman ekonomi berupa krisis keuangan merupakan suatu
perkara menakutkan. Apalagi jika mempertaruhkan masa depan anak, istri, dan
kerabat lain. Tidak jarang, nafsu untuk menjadi semakin kaya raya (serakah)
juga menjadi pendorong munculnya ketakutan akan ancaman ekonomi dan membuat
mereka terjebak dalam corruption by greed (greedy corruption).
Tidak
mengherankan jika dalam realitas sosial masyarakat Indonesia banyak yang
masih memandang korupsi sebagai solusi dan alternatif untuk mengantisipasi
kesulitan ekonomi masa depan. Pemikiran tersebut akhirnya dijadikan alasan
pembenar dan alasan pemaaf bagi mereka yang korupsi.
Akibatnya,
mereka memilih ”sedia payung sebelum hujan” saat menduduki posisi strategis
dengan kewenangan tertentu. Setiap kesempatan dimanfaatkan semaksimal
mungkin. Oleh karena itu, setelah memperhitungkan segala kemungkinan,
beberapa pihak kemudian terlibat tindak pidana korupsi.
Seseorang
sebelum korupsi telah mengevaluasi probabilitas untuk ketahuan dan
tertangkap, tingkat hukuman yang mungkin dijatuhkan, nilai potensial dari
jaringan kejahatan yang ada, dan kebutuhan jangka pendek terhadap hasil
kejahatan.
Jadi,
yang bersangkutan telah memperhitungkan segalanya dengan saksama termasuk
kemungkinan tertangkap dan sisa uang yang memadai. Pemikiran untung rugi
demikian, bagi mereka, merupakan risiko yang pantas demi keamanan ekonomi
diri dan keluarganya.
Dari
uraian di atas, dapat diketahui budaya hukum yang dianut dan tertanam dalam
diri pelaku korupsi sangat berbeda dengan yang terpatri pada masyarakat yang
taat hukum dan tidak korupsi.
Friedman
(1969) menuturkan, budaya hukum dapat diartikan sebagai sikap manusia
terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, dan harapan. Bagaimana
seseorang menempatkan diri menyikapi suatu aturan, khususnya yang bertalian
dengan korupsi dan sanksi pidana di dalamnya.
Budaya
hukum tersebut dibedakan menjadi budaya hukum internal dan eksternal. Budaya
hukum internal merupakan budaya hukum dari masyarakat yang melaksanakan
tugas-tugas hukum secara khusus, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Sementara
budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya.
Pada
kesempatan berbeda, Blankenburg (1984) mengemukakan, budaya hukum juga
merupakan keseluruhan sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berkaitan
dengan hukum. Dalam buku Perangkap Penyimpangan dan Kejahatan (2009), saya
mengartikan budaya hukum sebagai subbudaya yang bertalian dengan penghargaan
dan sikap tindak manusia terhadap hukum sebagai realitas sosial.
Mencermati
pelaku dan motif korupsi dengan segenap alasan pembenar dan alasan pemaaf
ciptaan mereka, terlihat jelas bahwa pelaku tidak menganggap korupsi sebagai
suatu perbuatan melanggar hukum yang memiliki sanksi hukum serius, tetapi
dipandang sebagai jalan keluar. Krisis ekonomi, gangguan stabilitas ekonomi
pribadi dan keluarganya dianggap lebih mengerikan daripada sanksi tindak
pidana korupsi.
Pemahaman
demikian, lebih jauh akan menciptakan budaya hukum yangmenyiasati hukum agar
dapat memenuhi pembenaran mereka ihwal korupsi.
Becermin kasus KTP-el
Jauh
sebelum bergulirnya ide KTP-el, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
telah mewanti-wanti pemerintah dan pihak terkait mengenai rawannya gagasan di
atas dengan korupsi. Proyek KTP-el ini awalnya dianggarkan Rp 6,3 triliun,
tetapi belakangan dikurangi menjadi Rp 5,9 triliun. Dari anggaran Rp 5,9
triliun tersebut disepakati 51 persen untuk proyek. Sisanya, 49 persen,
dibagi-bagikan.
Sementara
itu, dalam dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jakarta (Kamis 9/3),
dikemukakan lebih dari 30 nama-nama pihak yang diduga menerima uang bancakan
proyek KTP-el. Dapat diketahui bahwa mereka yang diduga sebagai pelaku
korupsi pengadaan KTP-el tersebut merupakan kalangan yang tidak sembarangan.
Suatu kelompok dengan profesi dan karier yang baik, yang memandang korupsi
merupakan perilaku wajar, lumrah, dan menganggap kesusahan ekonomi lebih
mengerikan.
Kemungkinan
kesulitan yang terlihat menakutkan tersebut secara naluriah perlu dipecahkan.
Akhirnya dilakukan segala langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi
ancaman di atas termasuk korupsi. Tidak tanggung-tanggung terkadang perbuatan
tersebut dipayungi kebijakan resmi.
Manakala
nama-nama para anggota dewan dan pejabat pemerintahan lain selaku aparatur
negara yang disebutkan di bagian sebelumnya benar-benar terbukti terlibat
korupsi dalam pengadaan KTP-el, maka kejadian tersebut bersifat terstruktur,
melibatkan hubungan bawahan-atasan dan jabatan yang sejajar sehingga
membentuk lingkaran kejahatan terorganisasi (organized crime) yang disebut
”state organized crime”, yaitu tindakan yang menurut hukum ditentukan sebagai
kejahatan tetapi dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam tugas jabatannya
selaku wakil negara.
Keadaan
di atas harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah membentuk budaya hukum
anti korupsi di segala lapisan masyarakat. Upaya menjadikan masyarakat dengan
budaya hukum anti korupsi bukanlah tidak mungkin. Sikap terhadap larangan
korupsi sebagai hukum positif belum dirasakan sebagai hukum yang benar-benar
hidup (living law). Fenomena tersebut terkait dengan tingkat kesadaran hukum (rechtsbewustzijn),
khususnya ketika hukum itu dioperasionalkan (law in action).
Kesadaran
hukum berkaitan dengan tindak pidana korupsi hanya sebatas pada pengertian
narasi perundang-undangan (law in book) belum secara optimal memberikan
manfaat.
Setelah
peraturan tersosialisasikan dengan baik, umumnya mudah naik ke tahap
internalisasi sehingga menumbuhkan pemahaman mendalam yang mendorong orang
berperilaku di lapangan sesuai yang dituntut oleh aturan hukum yang berlaku.
Dengan kata lain, terdapat kesadaran hukum yang tinggi. Pada titik inilah
akhirnya muncul perasaan hukum (rechtsgevoel), yakni melihat hukum sebagai
kebutuhan sehingga taat hukum mengalir tanpa paksaan.
Apabila
realitas di atas terus tumbuh dalam masyarakat, akan lahir budaya hukum
(legal culture) yang luhur. Setiap pihak benar-benar meresapi larangan dan
bahaya dari korupsi sebagai prinsip hidup serta mengenyampingkan ketakutan
mengenai krisis dan bencana ekonomi. Berpijak dari sinilah diharapkan tindak
pidana korupsi akan makin dijauhi oleh siapa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar