Teror
Politik, Teroris Politik, dan Terorisme Politik
Kun Wazis ; Dosen IAIN Jember;
Mahasiswa Program Doktor Ilmu
Komunikasi Universitas Padjadjaran
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Maret 2017
KATA ‘teror’, ‘teroris’, dan ‘terorisme’ semakin terbiasa
terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Salah satu yang memopulerkan
kata-kata tersebut ialah media massa, baik cetak, elektronik, maupun daring
(online) yang secara serentak memberitakan peristiwa yang terkait dengan aksi
teror. Bahkan, karena kekuatan makna di balik kata teror itu pula, Media
Indonesia (MI) menurunkan headline berita pada edisi Selasa, 14 Maret 2017,
dengan judul ‘Aktor Teror Spanduk Diusut’.
Tak hanya itu, pada editorialnya, MI juga memilih judul
‘Memberangus Teroris Politik’ (hlm 2) dan editorial 13 Maret 2017 di rubrik
Suara Anda (hlm 9) dengan judul ‘Teror Politik’. Pemaknaan teror tersebut
dikonstruksikan untuk menyebut orang-orang yang menggunakan simbol-simbol
agama untuk kepentingan politik. Makna teror dalam konteks politik ini
menarik untuk dikaji secara kritis karena beberapa hal.
Pertama, makna teror selama ini adalah kejahatan
kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi dan bersifat transnasional. Nur Ali
(dalam Khairil, 2011) membedakan makna tersebut. Terorisme merupakan suatu
mazhab/aliran atau kepercayaan melalui pelaksanaan kehendak guna menyuarakan
pesan dan atau asas dengan cara melakukan tindakan ilegal yang menjurus ke
arah kekerasan, kebrutalan, dan bahkan pembunuhan.
Teroris berarti pelaku atau pelaksanaan bentuk-bentuk
terorisme, baik oleh individu, golongan, ataupun kelompok dengan cara tindak
kekerasan sampai dengan pembunuhan, disertai pengunaan berbagai senjata mulai
yang konvensional sampai senjata modern. Teror ialah bentuk-bentuk kegiatan
dalam rangka pelaksanaan terorisme melalui penggunaan cara ancaman,
pemerasan, agitasi, fitnah, pengeboman, perusakan atau penghancuran,
penculikan, intimidasi, pemerkosaan, dan pembunuhan.
Alat teror ialah sarana yang digunakan dalam aksi teror
yang dapat berupa selebaran, telepon, bom, dan berbagai senjata yang dapat
menimbulkan ketakutan dan kepanikan. Tujuan terorisme untuk melumpuhkan
otoritas pemerintah sehingga dapat menerapkan mazhab dan/atau aliran yang
dianut kelompok terorisme. Berdasarkan makna tersebut, teror politik dan
teroris politik pada perkembangannya dapat pula menjadi terorisme politik
jika perilaku kekerasan dilakukan di ranah politik.
Tentu saja, terorisme politik ini tidak boleh dibatasi
hanya pada pertarungan pilkada, tetapi bisa ditarik dalam ranah pertempuran
politik yang tidak lagi menggunakan etika politik dan akal sehat, seperti
politik pembunuhan karakter, politik uang, politik dagang sapi, politik suap,
politik kambing hitam, dan politik pelenyapan suara, dan politik ‘keras’
sejenis.
Dalam konteks komunikasi politik sudah banyak terjadi
terorisme politik berupa penggunaan kekerasan dalam menghadapi lawan-lawan
politik. Penyebarluasan kebencian, konstruksi permusuhan, dan nalar politik
adu domba merupakan teror politik yang harus diwasapadai hingga hari ini.
Kedua, ditarik makna yang lebih luas, terorisme politik dapat pula
ditampakkan dari tindakan politik politisi yang berani bertindak ‘keras’
menguras uang rakyat (korupsi), menipu harapan berjuta-juta rakyat setelah
menjadi penguasa, menggembosi dana bantuan sosial (bansos) yang semestinya
untuk rakyat.
Memanipulasi jumlah warga miskin, mengeksploitasi
masyarakat lemah demi keberhasilan politiknya, hingga politisasi agama demi
tujuan pragmatis politik. Terorisme politik seperti ini tak ubahnya aksi para
teroris yang meledakkan sarana umum, melukai masyarakat tak berdosa. Bedanya
hanya dalam konteks kepentingan yang ingin diraih, tetapi cara-caranya tidak
jauh beda.
Jika aksi teroris yang menggunakan simbol agama melakukan
kekerasan berkepentingan untuk menarik simpati kelompok luar agar memahami
ideologi dan ‘mau’ mengikuti, terorisme politik dapat melakukan politik
pencitraan dengan cara mengambinghitamkan lawan politiknya dengan harapan
dapat meraih dukungan rakyat melalui agitasi publik. Jika ‘sang teroris’
membunuh warga yang tidak berdosa, terorisme politik dapat membunuh karakter
lawan politiknya dan ‘membunuh’ harapan rakyat yang dijanjikan saat kampanye
yang kemudian diingkarinya. Jika ‘para teroris’ merusak fasilitas umum sebagai
simbol perlawanan kepada aparat, terorisme politik dapat berulang kali
merusak fasilitas negara melalui politik ‘bancakan anggaran’ proyek yang
disunatnya.
Demikian juga, aksi teroris sengaja dilakukan agar
mendapatkan perhatian media massa dan dapat menyampaikan pesan ideologi yang
memprotes ketidakadilan, kemiskinan, dominasi, dan kesenjangan yang terjadi.
Namun, bagi teroris politik, mereka dapat membangun citra diri melalui debat
tentang pemberdayaan masyarakat, pemberantasan pungli, penegakan hukum.
Namun, para teroris politik ini diam-diam mengamankan
kasus yang sedang membelitnya. Maka, sering kali kita dapati, teroris politik
ini berkoar-koar tidak bersalah di depan awak media massa, tetapi tidak
berdaya setelah vonis hukum menjeratnya. Fenomena terorisme politik ini
hampir mirip yang terjadi di ruang ekonomi di saat terjadi eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya ekonomi yang digunakan hanya kepentingan golongan
tertentu sehingga melahirkan ketimpangan dan kesenjangan ekonomi sebagai bentuk
terorisme ekonomi.
Melawan arus terorisme politik
Terorisme politik akan sulit dihilangkan apabila tidak
ada teladan dari para elite politisi dalam menampilkan etika politik yang
bermartabat tidak dilakukan. Pertama, memperbaiki komunikasi politik sebagai
bentuk revolusi mental politik. Para elite sudah semestinya berpikir dan
bertindak untuk kepentingan rakyat, mendidik masyarakat menjadi kritis dan
konstruktif terhadap kebijakan, dan terus berjuang untuk menyejahterakan
rakyatnya. Membangun moralitas politik secara terus-menerus harus dilakukan
agar semakin banyak kekuatan yang mengedepankan rakyat yang telah memberikan
amanah politik kepada mereka.
Kedua, jika yang pertama tidak dilakukan, rakyat sendiri
yang akan melakukan perlawanan kepada para teroris politik tersebut. Hal itu
penting dicatat bahwa rakyat sendiri dibuat ‘melek’ terhadap perilaku
terorisme politik itu justru dari tindakan politik para elite dan penguasa
tersebut. Sudah jelas, mereka dibayar dari jerih payah keringat rakyat, para
teroris ini justru ‘memain-mainkan’ kepentingan rakyat.
Logika hati nurani rakyat akan ‘jujur bersuara’ bahwa
mereka harus melawan dengan caranya sendiri: mulai diam (diam dalam pandangan
kritis termasuk bentuk perlawanan), bersuara lantang, hingga menghukum moral
dengan cara rakyat. Suatu ketika rakyat dapat mengatakan, “Terorisme politik
sama jahatnya dengan terorisme yang lain,” dan “jangan disalahkan” rakyat
memaknai realitas tersebut.
Akhirnya, mencermati dinamika politik yang terus
berkembang, tidak ada kata yang terlambat untuk menghentikan laju gerak para
teroris politik yang telah menyebarkan ajaran ‘terorisme politik’ di Tanah
Air. Semua elemen bangsa ini, yang masih bersuara dengan kebenaran, akan
dapat menghadang teror politik dengan moralitas politik yang sesuai dengan
fitrah manusia, akal sehat, dan yang menenteramkan jiwanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar