Lubang
Hitam Populisme
Fathorrahman Ghufron ; Wakil Katib Syuriyah PWNU;
Pengurus LPPM Universitas NU
(UNU) Yogyakarta;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga
|
KOMPAS, 27 Maret 2017
Akhir-akhir ini, narasi populisme diperbicangkan banyak
kalangan. Bahkan, di beberapa negara maju seperti daratan Eropa, populisme
menjadi semacam ”hantu sosial” yang dianggap merusak peradaban dunia.
Kekhawatiran terhadap bercokolnya populisme pun dirasakan
oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres.
Dalam pidato pertama di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia di Geneva, Swiss
(27/2/2017), Guterres menyampaikan bahwa ”kita semakin sering menyaksikan
fenomena negatif populisme dan ekstremisme yang saling mendukung, menyuburkan
rasisme, xenophobia, anti semitisme dan bentuk lain toleransi”.
Berbagai kegelisahan massal tentang populisme yang mulai
tumbuh di sejumlah negara dan aksi penolakan yang dilakukan oleh banyak pihak
seperti yang terjadi di Belanda, Perancis, dan Jerman untuk mengadang
populisme menyelipkan pertanyaan penting, mengapa populisme serasa
menakutkan?
Corak otoritarianisme
Dalam peradaban Islam, populisme merupakan fenomena sosial
yang sudah berlangsung sejak beberapa abad lalu. Karya Ibnu Khaldun yang
berjudul Muqaddimah memberikan penjelasan tentang ashabiyah—yang konstruksi
sosialnya senada dengan populisme—yang terjadi di lingkungan orang Arab kala
itu.
Secara sosiologis, Ibnu Khaldun menguraikan ashabiyah
sebagai kerangka persaudaraan yang dibangun berdasarkan kelompok. Dalam
kelompok yang bernuansa kesukuan menjadi ruang kohesivitas untuk membangun
ikatan sosial antarindividu yang ada di dalamnya.
Akan tetapi, lazimnya bangunan sosial dalam kesukuan, yang
terjadi justru perilaku otoritarianisme. Apalagi, corak antropologi bangsa
Arab yang berbasis kesukuan memang mengedepankan kesetiaan dan fanatisme buta
terhadap ketua sukunya. Ruang ashabiyah yang terbangun dalam kultur Arab
adalah kelompok yang kuat dapat mendominasi kelompok yang lemah.
Dalam peradaban Barat pun, populisme mengalami pola yang
hampir sama di mana nuansa ikatannya berbasis kepada pengunggulan golongan
tertentu sembari disertai intrik untuk mengenyampingkan pihak lain.
Setidaknya, peristiwa Nazi yang dipimpin oleh Hitler menjadi salah satu
puncak sarkasme bagaimana populisme digunakan sebagai gerakan politik yang
otoritarian untuk mengganyang orang-orang Yahudi.
Bahkan, di negara tetangga kita sendiri, berdasarkan
kajian Anne Muro-kua dalam buku Authoritarian Populism in Malaysia
menunjukkan potret sosial yang serupa di mana pengabaian hak asasi yang
terjadi di Malaysia adalah efek dari populisme yang bercorak otoritarian.
Sekian peristiwa sejarah yang terjadi di sejumlah negara
itu semakin meneguhkan keyakinan banyak pihak bahwa populisme dalam wajah
yang negatif telah menjadi arena tanding untuk menyuburkan otoritarianisme.
Secara satirik, kita bisa menganggap bahwa populisme negatif yang berlangsung
otoriter lamatlamat bermetamorfosis sebagai lubang hitam (black hole) yang
mampu menghentikan kebenaran akal sehat.
Aura negatif populisme—seperti yang diekspresikan oleh
Donald Trump—menjadi penanda pula bagaimana semangat kebersamaan,
egalitarianisme, dan kosmopolitanisme lamat-lamat tersekap dalam lubang hitam
kebijakan rasialnya yang memicu tumbuh-suburnya sikap intoleransi. Dalam
Event Horizon—sebuah batas tak bisa melarikan diri—yang menjadi bagian
intrinsik dalam lubang hitam, populisme negatif menjadi virus pengabaian hak
asasi manusia yang dilakukan oleh Trump.
Apalagi, model kepemimpinan Trump yang ditampilkan di muka
publik lebih mengedepankan corak otoritarianismenya.
Corak konservatisme
Fenomena populisme yang terjadi di banyak negara menjuntai
pula di Indonesia. Dalam amatan F Budi Hardiman yang ditulis di Kompas
berjudul ”Gerakan Murka dalam Demokrasi” (2/3/2017) ada gambaran bahwa
gerakan populisme di negara ini disertai penguatan konservatisme berbasis
agama tertentu.
Hal ini bisa dicermati pada fenomena sosial keberagamaan
yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan di mana konservatisme mulai
melibatkan diri ke dalam arena populisme. Bahkan, dengan ciri
eksklusivismenya, konservatisme diam-diam banyak dirujuk oleh sekelompok umat
beragama untuk dijadikan sebagai titik masuk ”pensalehan diri” (self
pietism).
Terlebih lagi dalam momentum politik, konservatisme
dijadikan instrumen untuk mendulang barisan massa pendukung. Dengan mengacu
pada nilai-nilai keagamaan yang dianut secara fundamental-tradisional, nuansa
konservatisme diwarnai oleh semangat populisme dengan membatasi
keberpihakannya hanya kepada seseorang dan kelompok yang sealiran.
Bahkan, secara ekstrem, pembingkaian konservatisme dan
populisme dilokalisasi sebagai strategi untuk mengunggulkan seseorang yang
sedang terlibat dalam politik praktis.
Implikasinya, perjalinan konservatisme dan populisme
melahirkan sebuah kekuatan tersendiri untuk mengucilkan siapa pun yang
dianggap bukan pendukungnya. Berbagai modus pengucilan ditampakkan ke
permukaan meskipun cara-cara yang digunakan kurang beradab.
Di antara contohnya adalah pengucilan terhadap sekelompok
orang yang bukan pendukungnya dengan cara tidak boleh menshalatkan jenazah
orang-orang tersebut di sebuah masjid yang sudah dikooptasi oleh pihak-pihak
tertentu.
Dari potret ini, kita pun mulai menyadari betapa
konservatisme yang berkelindan dengan populisme sudah sedemikian banal ketika
melibatkan diri dalam arena perpolitikan. Praktik-praktik demikian itu
sesungguhnya sudah mencemari wajah agama yang sejatinya adalah menjadi jalan
untuk perdamaian dan persatuan.
Padahal, disadari atau tidak, sesungguhnya sikap populisme
yang demikian akan melahirkan perilaku ambivalensi. Di saat perilaku
keagamaan kaum konservatif yang kesalehan individualnya cukup mumpuni, tetapi
perilakunya selalu menuai kegaduhan, sentimen, dan kerentanan sosial,
sesungguhnya memicu sebuah kebatilan sosial.
Konservatisme agama dan
agresivitas
Dalam sebuah kebatilan sosial, kaum populis-konservatif
cenderung melansir berbagai riwayat, mengutip pandangan seseorang yang ditokohkan,
dan bahkan kutipan-kutipan ayat secara parsial, tetapi justru banyak
diarahkan ke muatan pesan negatif yang memicu kebencian dan permusuhan
terhadap kelompok lain.
Dengan demikian, jika bangunan agama digunakan sebagai
jalan ”saling menegasi”, benar apa yang diuraikan Donny Gahral Adian dalam
tulisannya ”Konservatisme dan Pilkada” (Kompas, 21/2/2017) bahwa
konservatisme agama akan melahirkan kecenderungan agresivitas yang dimainkan
masing-masing kelompok yang beraliran populisme dan berpeluang melahirkan
konflik horizontal yang akan membahayakan sendi-sendi kebangsaan kita.
Agama yang sejatinya menjadi ruang refleksi diri (self
reflection) untuk menciptakan kemaslahatan bersama oleh kelompok
populis-konservatis justru dijadikan sebagai pengingkaran diri dengan cara
membajak ajarannya untuk kepentingan tertentu.
Pada titik ini, lubang hitam populisme kian menunjukkan
Event Horizon untuk menyekap siapa pun yang rajin merajut konsolidasi
kebangsaan, melakukan restorasi keumatan, dan dialog antaragama. Sebab,
kelompok populis-konservatif selalu mengonstruksi agama sebagai instrumen
otoritarianisme dalam melansir dukung-mendukung yang tidak beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar