Religious
Literacy
Mohammad Nuh ;
Guru
Besar ITS Surabaya
|
KORAN
SINDO, 05
Maret 2017
Seorang kakek yang tak bersekolah, tetapi memiliki
ketajaman naluri, mengunjungi Jakarta untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia
dibesarkan di sebuah dusun terpencil di pegunungan, bekerja keras membesarkan
anak-anaknya, dan kini sedang menikmati kunjungan perdananya ke rumah
anak-anaknya di Jakarta.
Suatu hari, sewaktu dibawa berkeliling kota, orang tua itu
mendengar suara yang menyakitkan telinga. Belum pernah dia mendengar suara
yang begitu tidak enak didengar semacam itu di dusunnya yang sunyi. Dia berusaha
keras mencari sumber bunyi tersebut.
Dia ikuti sumber suara sumbang itu dan tiba di sebuah
rumah tempat seorang anak kecil sedang belajar bermain biola. ”Ngiiiik,
ngooook!” Ini rupanya asal nada sumbang biola tersebut. Saat sang kakek
mengetahui dari putranya bahwa itulah yang dinamakan”biola”, dia memutuskan
untuk tidak akan pernahmau lagi mendengar suara yang memekakkan telinga
tersebut.
Hari berikutnya, di bagian lain kota, orang tua ini
mendengar sebuah suara yang seolah membelai-belai telinga tuanya. Belum
pernah dia mendengar melodi yang seindah itu di lembah gunung tempat dia
tinggal. Dia pun mencoba mencari sumber suara tersebut. Ketika sampai ke
sumbernya, dia tiba di ruangan depan sebuah rumah tempat seorang perempuan
tua, seorang maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya.
Seketika si orang tua ini menyadari kekeliruannya. Suara
tidak mengenakkan yang didengarnya kemarin bukanlah kesalahan dari biola,
bukan pula salah sang anak. Itu hanyalah proses belajar seorang anak yang
belum bisa memainkan biolanya dengan baik. Dengan kebijaksanaannya yang
polos, orang tua itu berpikir bahwa mungkin demikian pula halnya dengan
agama.
Sewaktu kita bertemu seseorang yang menggebu-gebu terhadap
kepercayaannya, tidaklah benar untuk menyalahkan agamanya. Itu hanyalah
proses belajar seorang pemula yang belum bisa ”memainkan” agamanya dengan
baik. Namun ini bukanlah akhir dari cerita. Hari ketiga, di bagian lain kota,
si orang tua mendengar suara lain yang bahkan melebihi kemerduan dan
kejernihan suara sang maestro biola.
Suara apakah itu? Suarayangmelebihiindahnya gemercik
aliran air pegunungan, melebihi merdunya kicau burung- burung pegunungan,
suara terindah yang pernah didengar sepanjang hidupnya. Suara apakah gerangan
yang telah menggerakkan hati si orang tua ? Itu suara sebuah orkestra besar
yang memainkan sebuah simfoni.
Bagi si orang tua, inilah alasan mengapa itu menjadi suara
terindah yang pernah dinikmatinya. Pertama, setiap anggota orkestra merupakan
maestro dalam memainkan alat musik masing-masing dan kedua, mereka telah
belajar lebih jauh lagi untuk bisa bermain bersamasama dalam harmoni.
”Mungkin ini sama dengan agama,” pikir si orang tua.
Masalahnya bukan pada ajaran agama, tetapi pada keberagamaan. Bukan salah
alat musiknya, tetapi pada cara kita memainkannya. Keindahan perilaku umat
beragama sangat ditentukan oleh kemampuan memahami ajaran agamanya, kemauan
dan kemampuan mengamalkannya secara baik dan benar.
Itulah religious literacy. Sikap curiga di antara umat
beragama, merendahkan dan menghina agama dan pemeluknya, khotbah yang
menjelekjelekkan agama lain, perilaku elite politik yang memolitisasi agama
demi kepentingan sesaat, dan perbedaan beragama yang diarahkan untuk memecah
belah sesama warga negara menjadi unsur destruktif yang luar biasa terhadap
keutuhan dan kesatuan NKRI.
Memang setiap agama mengajarkan halhal tertentu yang
sifatnya common. Kejujuran dan keadilan misalkan menjadi common value. Namun
tetap harus dihormati, dihargai, dan dilindungi bagi mereka yang berkeyakinan
bahwa agama yang dianutnya yang paling benar. Oleh karena itu, harmoni dalam
kehidupan masyarakat yang majemuk akan tercipta apabila kita memiliki
religious literacy yang berkualitas.
Selain berarti pengetahuan dan kemampuan memahami dan
mengamalkan agama sendiri secara memadai, religious literacy adalah sikap
terbuka untuk mengenal nilai-nilai dalam agama lain (lita‘ârafû). Dengan”
melekagamalain” orangbisa saling mengenal, menghormati, dan menghargai,
bergandengan, mengembangkan dan memperkaya kehidupan dalam sebuah
persaudaraan sejati antarumat beragama, apa pun agamanya— meski kebenaran
tentang keyakinan terhadap agama yang dianutnya menjadi kemutlakan.
Ekstremitas beragama biasanya muncul karena ketidakutuhan
dalam memahami sistem ajaran suatu agama. Analoginya seperti orang yang
belajar aritmatika: plus, minus, kali, dan bagi (+ - x :). Kalau orang baru
belajar plus atau penambahan saja, lalu ditanya ”cari dua bilangan yang
dioperasikan dengan aritmatika, yang hasilnya 10”. Orang itu pasti ngotot
menyodorkan dua angka yang lebih kecil dari 10 seperti 8 + 2 atau 9 + 1.
Karena tahunya sebatas penambahan, tidak mungkin
menyodorkan angka lebih besar dari 10. Namun, kalau tahu ada minus, ada bagi,
dan ada kali, maka dua angka yang disodorkan tak mesti di bawah 10, tetapi
bisa juga di atasnya. Bisa 15 - 5 dan sebagainya. Religious literacy lebih
dari sekadar melahirkan toleransi, tetapi juga menumbuhkan usaha aktif untuk
memahami orang lain.
Toleransi dapat menciptakan iklim untuk menahan diri,
tetapi tidak untuk memahami. Meminjam ungkapan Nurcholis Madjid, religious
literacy tidak boleh dipahami sekadar sebagai kebaikan negatif (negative
good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk mengikis fanatisme (to keep
fanaticism at bay).
Tapi religious literacy harus dipahami dan dimaknai
sebagai ”pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine
engagement of diversities within the bonds of civility). Pesan sang kakek di
ujung kisah di atas juga layak kita simak: ”Marilah kita pelajari hakikat
kelembutan agama kita melalui pelajaran kehidupan. Kita semua adalah maestro
di agama kita masing-masing. Dan sekarang saatnya kita bermain orkestra
menyanyikan simfoni Indonesia Raya.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar