KTP-E
dan Korupsi Anggota Parlemen
Feri Amsari ;
Dosen
Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum
Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Maret 2017
TERUNGKAPNYA nama-nama besar anggota DPR dan menteri dalam
dakwaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-E) sebenarnya
tidak terlalu mengejutkan. Sejak tiga tahun yang lalu, KPK sudah mengusut
kasus ini dan publik sudah menduga bahwa kasus berbiaya mahal itu melibatkan
figur-figur politik penting Tanah Air. Setidaknya dana sebesar Rp2,5 triliun
diduga dibancak demi kepentingan yang perlu dibongkar dalam persidangan. Kuat
dugaan, dana sebesar itu telah dinikmati berbagai kalangan, baik anggota DPR,
para menteri, elite partai, bahkan bukan tidak mungkin mengalir untuk
menghidupkan partai.
Dengan dana-dana semacam itulah partai dapat berjalan.
Partai melalui kadernya telah membancak anggaran negara dengan mempermainkan
kewenangan konstitusionalnya. Khusus kasus KTP-E, anggaran negara dikorupsi dengan
menyimpangkan kewenangan antarlembaga negara. Kementerian Dalam Negeri dan
DPR diduga merupakan lembaga paling bertanggung jawab dalam permainan
anggaran ini. Kedua lembaga tersebut bekerja sama secara simultan agar
penyimpangan anggaran dapat dilakukan.
Kebijakan manipulatif
Korupsi KTP-E bermula dari ambisi untuk mengadakan single
identity card agar memudahkan seluruh administratif yang berkaitan dengan
kependudukan. Para pembuat kebijakan mempromosikan bahwa KTP-E merupakan
kebijakan yang akan memudahkan segala proses administrasi kependudukan. Bagi
publik yang merasakan betapa kompleksnya urusan administrasi kependudukan
tentu merasa kebijakan KTP-E akan berdampak bagi proses pelayanan
administratif kependudukan, termasuk pelayanan kesehatan, keamanan, sosial,
dan lain-lain.
Keinginan publik untuk mendapatkan pelayanan yang mudah
itu pula yang membuka peluang bagi pembuat kebijakan menyadari untuk
memanipulasi proyek KTP-E. Tentu Kementerian Dalam Negeri tidak dapat bermain
sendiri. Sebagai pengawas segala kebijakan, DPR akan menjadi penghalang.
Tanpa 'uang pelicin', sulit kebijakan KTP-E dapat berjalan mulus. Dengan uang
pelicin itu pula, korupsi KTP-E menjadi paripurna dilaksanakan. Meskipun DPR
telah mengambil peran, korupsi proyek KTP-E tetap harus disamarkan agar tidak
mudah terbongkar. Pada titik ini, peran elite-elite partai menjadi kekuatan
agar suara persetujuan parlemen menjadi bulat.
Itu sebabnya dari dakwaan kasus KTP-E dapat dilihat
peran-peran kekuataan parlemen dan eksekutif seperti peran mantan Ketua DPR,
Ketua Komisi II DPR, dan mantan menteri. Melihat nama-nama besar itu, publik
sudah mahfum bahwa korupsi KTP-E sudah berlangsung terstruktur dengan
melibatkan lembaga berwenang, sistematis karena sulit dibongkar, dan masif
dengan tingkat kerugian negara yang sangat besar.
Membiayai partai
Dalam maksim pemberantasan korupsi, kejahatan kerah putih
itu tidak dapat dilakukan sendirian. Setiap pihak berkepentingan harus
dicurigai telah menerima uang pelicin sebagai upaya menutup suara. Mustahil
bagi partai-partai menutup suara kritisnya tanpa kendali dari elite-elite
partai. Berdasarkan maksim itu, bukan tidak mungkin aliran dana korupsi KTP-E
tersebut telah mengalir jauh di tubuh partai. Bahkan bukan tidak mungkin,
partai secara keorganisasian juga mendapatkan keuntungan dari proyek
pengadaan kartu identitas penduduk tersebut. Ketergantungan partai terhadap
dana itu menjadi penyebab utama bagi partai meminta kadernya bermain pada
proyek-proyek kebijakan.
Hal itu disebabkan ketergantungan partai pada dana untuk
menggerakan organisasi. Tanpa dana yang memadai, mesin partai tidak dapat
menyala pada pemilihan umum berikutnya. Kebutuhan terhadap dana yang besar
itulah yang menyebabkan partai dapat memenangkan pemilu. Artinya, ketiadaan
dana adalah kekalahan merebut kursi kekuasaan. Jika demikian, demokrasi
adalah sandiwara paling menyedihkan untuk merampas kekayaan negara. Kasus
KTP-E menjadi bukti bahwa pencuri uang negara adalah aparat negara itu
sendiri. Pelajaran yang paling penting yang harus diambil dari kasus KTP-E
upaya untuk membenahi partai.
Partai hanya dapat menjadi bersih tanpa bergantung pada
korupsi jika pasokan dana berasal dari sumber yang bersih. Jika tidak ingin
proyek seperti KTP-E menjadi bancakan politik partai, upaya KPK untuk
membenahi partai dengan memberikan dana APBN yang cukup bagi partai harus
segera dilaksanakan. Jika tidak manipulasi kebijakan demi terisinya brangkas
partai akan terus berulang.
Efek bagi KPK
Efek samping lain dari terbongkarnya kasus KTP-E ialah
keselamatan lembaga anti rusuah KPK. Sudah jadi rahasia umum bahwa DPR dari
awal tidak nyaman dengan langkah-langkah KPK membongkar berbagai
mega-korupsi. DPR tidak akan membiarkan rencana KPK terlaksana dengan mudah.
Akhir-akhir ini dapat diamati bahwa DPR telah memulai serangan balasannya
melalui upaya merevisi UU KPK. Bukan tidak mungkin keinginan DPR itu kian
menguat setelah KPK membongkar kasus E-KTP. Untuk itu upaya mengawal KPK
dalam membongkar kasus ini menjadi penting. Jika tidak, bukan tidak mungkin
KPK akan dimatikan di tengah jalan sebelum selurukasus korupsi KTP-E
terbongkar utuh. Tetap waspadalah KPK! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar