Kompetensi
Polri Perangi Radikalisasi
Diakui
Arab Saudi
Bambang Soesatyo ;
Ketua
Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar;
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 06
Maret 2017
Arab Saudi tidak hanya telah membantu Indonesia meredam
tumbuh-kembang radikalisme, tetapi juga nyata-nyata telah ikut memperkuat
peran penegak hukum memerangi jaringan terorisme di dalam negeri.
Inilah salah satu pesan moral terpenting yang begitu mudah
untuk dipahami dari rangkaian kegiatan Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud di
Indonesia. ”Tantangan yang kita hadapi, khususnya bagi umat Islam dan dunia
secara umum, seperti fenomena terorisme, benturan peradaban (the clash of
civilizations), tidak ada penghormatan terhadap kedaulatan negara, serta melakukan
intervensi terhadap urusan dalam negeri telah mengharuskan kita untuk
menyatukan barisan dalam menghadapi tantangan ini,” begitu pesan utama dari
pidato Raja Salman di DPR pada Kamis (2/3).
Dari 11 nota kesepahaman yang telah ditandatangani Indonesia-
Arab Saudi pada momentum kunjungan Raja Salman baru-baru ini, ada kesepakatan
tentang perlu upaya atau langkah bersama menanggulangi radikalisme dan
terorisme, serta meningkatkan peran Islam dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Seperti dijelaskan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dalam kesepakatan
itu, Raja Salman menekan pentingnya mengedepankan Islam yang moderat.
Untuk mewujudkan perdamaian dan melindungi peradaban
dunia, moderasi Islam harus lebih dikedepankan. Ada kalimat dalam nota
kesepahaman RI-Arab Saudi yang menekankan pentingnya menjaga, memelihara, dan
melindungi perbedaan atau keberagaman, termasuk perbedaan paham keagamaan.
Muatan utama dari pidato Raja Salman di DPR dan pesanpesan moral dalam nota
kesepahaman itu dengan sendirinya akan mampu meredam paham dan gerakan
radikal yang dikhawatirkan telah tumbuh dan berkembang di Indonesia
akhirakhir ini.
Makna pesan ini tentu menjadi sangat istimewa dan
strategis karena disuarakan oleh Raja Salman, sosok yang menjadi barometer
bagi banyak masyarakat Indonesia, terlebih karena peran dan fungsinya sebagai
penjaga dua kota suci, Mekkah dan Madinah. Kepada masyarakat Indonesia, Raja
Salman tak hanya berpesan melalui kata-kata, melainkan langsung
membuktikannya dengan berbuat. Raja Salman menyediakan waktu sekitar satu jam
untuk bertemu dengan 28 tokoh yang mewakili agama Islam, Kristen, Katolik,
Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Dia mendukung dialog berkelanjutan antarumat beragama demi
memperkuat toleransi dan harmoni, sekaligus memerangi radikalisme dan
ekstremisme. Tidak hanya pertemuan dengan tokoh lintas agama, Raja Salman dan
delegasinya bahkan memilih berlibur di Bali, sebuah provinsi yang mayoritas
warganya memeluk agama Hindu. Pesan moral dan segala sesuatu yang diperbuat
Raja Salman selama berada di Indonesia, cepat atau lambat, akan memperkecil
ruang bagi tumbuh-kembang paham radikal dan kecenderungan ekstremisme atas nama
apapun, termasuk agama.
Arab Saudi bahkan mengajak Indonesia bekerja sama untuk
mencegah dan menghentikan radikalisme dan ekstremisme. Ajakan itu tertuang
dalam nota kesepahaman yang ditandatangani Kapolri Jenderal Tito Karnavian
dan Kepala Kepolisian Kerajaan Arab Saudi Usman al Mughrij pada Rabu (1/3) di
Istana Bogor, disaksikan langsung oleh Raja Salman dan Presiden Joko Widodo.
Kesepakatan kerja sama Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi itu mencakup
belasan area dalam lingkung kejahatan lintas negara.
Pengakuan dan Penghargaan
Khusus tentang kesepakatan penanggulangan terorisme dan
pendanaannya, bisa disimpulkan bahwa Arab Saudi secara tidak langsung
mengajak dan mengingatkan Indonesia tentang betapa seriusnya ancaman
terorisme masa kini. Kerja sama itu bahkan diyakini sebagai pilihan dan
kehendak Raja Salman. Sebelum kesepakatan itu ditandatangani, Raja Salman
juga telah mengutus Usman al Mughrij menemui Jenderal Tito di Jakarta pada
Selasa 28 Februari 2017. Keduanya membahas strategi menangkal potensi ancaman
terorisme.
Dari pertemuan itu, Indonesia dan Arab Saudi sepakat
memerangi kejahatan lintas negara. Tetapi, prioritasnya adalah merespons
terorisme masa kini. Seperti dikemukakan Duta Besar Arab Saudi untuk
Indonesia Osama Mohammad Abdullah Alshuaibi, yang terpenting adalah
kesepakatan memerangi ISIS. Karena itu, Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi
merumuskan strategi memerangi terorisme dan pendanaannya. Pilihan Arab Saudi
untuk menjadikan Polri sebagai mitra mencerminkan kepercayaan dan pengakuan
akan kompetensi dan kualifikasi Polri memerangi terorisme.
Kerja sama Polri-Kepolisian Kerajaan Arab Saudi tampak
jelas masuk dalam prioritas Raja Salman karena dokumen nota kesepahaman
kepolisian dua negara itu termasuk dalam 11 nota kesepahaman yang sudah
disiapkan untuk ditandatangani para pejabat dua negara. Kesepakatan itu
sangat penting dan strategis bagi dua negara sebab Indonesia terus dibayangi
ancaman terorisme. Sedangkan Arab Saudi juga pernah menjadi target serangan
teroris sebagaimana tercermin dari peristiwa tiga serangan bom bunuh diri
pada Juli 2016.
Salah satunya terjadi di dekat Masjid Nabawi, Madinah.
Alasan serta pertimbangan di balik kesepakatan Polri dan Kepolisian Kerajaan
Arab Saudi ini diharapkan bisa menginspirasi DPR dalam merevisi Undang-Undang
(UU) Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebab Arab
Saudi telah mengingatkan betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini. Selain
itu, dengan menjadikan Polri sebagai mitra, Arab Saudi juga ingin menegaskan
bahwa komunitas internasional sangat mengharapkan peran signifikan Indonesia
dalam merespons jaringan ISIS.
Alasan utamanya, Polri memiliki kompetensi dan kualifikasi
untuk pekerjaan itu. Dengan begitu, cukup alasan jika revisi UU pemberantasan
terorisme memberi akses bagi perluasan wewenang dan keleluasaan negara
menindak siapa saja yang terindikasi sebagai teroris. Negara butuh wewenang
besar dan keleluasaan karena ancaman terorisme akan selalu ada untuk rentang
waktu yang sulit diprediksi.
Lagi pula, teroris masa kini terus mengembangkan kemampuan
sejalan dengan perkembangan teknologi modern serta mampu membentuk sindikasi
melalui bentang jaringan di berbagainegara. Untuk mengantisipasi masa depan
ancaman terorisme itu, Indonesia harus terus memperkuat unit-unit antiteror
seperti Densus 88. Ada catatan penting yang patut digarisbawahi pemerintah,
DPR, dan semua komponen masyarakat. Pertama, sangat jelas bahwa Arab Saudi
memperhatikan dengan seksama langkah-langkah Indonesia dalam merespons
ancaman terorisme.
Hal ini tercermin dari pernyataan Duta Besar Arab Saudi
untuk Indonesia Alshuaibi. Dalam wawancara dengan sebuah kantor berita, Dubes
Alshuaibi mengatakan, ”Kami tahu, Indonesia telah menderita akibat pengeboman
dan terorisme di sini.” Alshuaibi tentu saja mengacu pada rentetan serangan
teroris sejak ledakan bom di Bali pada 2002 hingga ledakan bom di Sarinah,
Jakarta, Januari 2016. Alshuaibi kemudian mengisyaratkan urgensi kerja sama
RI dan Arab Saudi. ”Kami akan bekerja sama dengan Indonesia dalam bidang ini.
Kita bisa bertukar data dan bertukar pengalaman dan kita bisa mengalahkan
orang-orang ini (ISIS),” kata dia.
Catatan kedua adalah kearifan Raja Salman yang sangat
khusus, yakni bagi keluarga dan orang tua dari anggota Densus 88 Antiteror
Mabes Polri yang terluka atau gugur saat bertugas. Kepada mereka, Raja Salman
memberi penghargaan berupa naik haji gratis. Bagi anggota Densus 88 yang
meninggal, penghargaan dari Raja Salman itu akan diberikan kepada ahli waris,
orang tua, atau keluarganya.
Dalam program ini, sudah disepakati bahwa per tahun akan
diberangkatkan lima orang untuk naik haji. Menurut catatan Polri, anggota
Densus 88 yang terluka dan meninggal saat menjalankan tugas sekitar 70 orang.
Jadi, bukan hanya kepercayaan dan pengakuan akan kompetensi Polri dalam
memerani terorisme, Arab Saudi bahkan memberi penghargaan kepada prajurit
Polri atas keberanian dan pengorbanan mereka dalam perang melawan terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar