Raja
Salman dan Para Pangeran Arab
di
Mata Umat Islam Indonesia
Syaifullah Amin ; Wakil Sekretaris
Lembaga Dakwah PBNU;
Pemerhati Masalah
Sosial dan Keagamaan
|
DETIKNEWS, 02 Maret 2017
Kemarin, Raja Salman mendarat di Indonesia dan akan di
negeri ini selama 9 hari ke depan. Wow lama banget kan?
Untuk ukuran orang Indonesia yang biasa berlibur dalam
hitungan hari, tentu akan berpikir sembilan kali lipat sebelum melakukan
perjalanan sepanjang itu. Hitungan ini nyaris seperti hitungan umrah kelas
menengah Indonesia yang menganggap ibadah umrah sebagai ibadah semi liburan.
Rombongan umrah reguler dari daerah-daerah Indonesia, yang mungkin hanya
dilakukan oleh orang-orang yang berpikir hanya bisa berumrah sekali seumur
hidup, biasanya menghitung dengan empat belas hari termasuk waktu perjalanan.
Tentu saja tidak bijak jika menyamakan perjalanan seorang
raja penguasa wilayah terbesar Semenanjung Arab dengan rakyat kelas menengah
Indonesia yang kian hari kian religius. Mereka bahkan biasa menjadwalkan
perjalanan ibadah umrah secara berkala, pakai arisan segala.
Toh tulisan ini juga tidak berniat membanding-bandingkan
perjalanan kenegaraan Raja Salman beserta rombongan yang mencapai 1.500 orang,
dengan perjalanan spiritual masyarakat Indonesia kebanyakan. Dari semangat
dan perjuangan tentu sama sekali beda, orang-orang Arab tentu tak perlu umrah
dan belajar agama untuk dikira menjadi Islami oleh masyarakat Indonesia.
Berpakaian sehari-hari pun sudah dikira Islami, bukankah
mereka lebih sering pakai gamis/jubah putih? Di Indonesia, banyak yang
meyakini jubah sebagai simbol Islam. Ini agak seperti adanya sebagian orang
yang menganggap sarung dan peci sebagai simbol agama Islam di Indonesia.
Bagaimana pun juga, kunjungan Raja Salman ini adalah
kunjungan spesial, yah namanya juga raja, apa pun pasti jadi spesial. Tapi
ingat ini bukan tentang martabak yang dinilai spesialisasinya dari jumlah
telor yang digunakan. Ini tentang Raja Salman dengan segala kemewahan dan
kegantengan para pangeran yang menyertainya, tentu saja beserta harapan yang
ditumpahkan sebagian bangsa Indonesia, khususnya sebagian umat Islam
kepadanya.
Rombongan Raja Salman berjumlah 1.500 orang menyertakan
sedikitnya 10 menteri dan 25 pangeran. Sebagai negara dengan sistem kerajaan,
tentu saja 10 menteri dan 25 pangeran ini masih memiliki hubungan darah
dengan sang raja. Jadi tak perlu bertanya tentang kegantengan mereka, bila
salah satunya ganteng, tentu yang lain tak perlu diragukan lagi, toh mereka
sekeluarga.
Bila selama ini, perempuan dengan latar belakang
konservatif dan tegas secara agama di dunia maya cenderung tidak pernah
membahas masalah tampang, tampan, ganteng, jelek atau bulukan dengan alasan
itu semua ciptaan Tuhan, maka kedatangan Raja Salman beserta para pangerannya
mengubah semua itu. Justru dari merekalah tumpah ruah pujian atas pesona
fisik para pangeran ini. Sebagian menyatakan dengan malu-malu, sebagian
mengungkapkan secara langsung namun didahului basa-basi permintaan maaf
kepada kaum lelaki pribumi, sementara sebagian lainnya langsung saja main
hajar tanpa sungkan-sungkan. Bila sebelumnya, pujian fisik tentang ganteng
dan gagah hanya didominasi oleh masyarakat pop dengan mengacu kepada para
selebritis di dunia entertainment, kini arus berbalik 180 derajat.
Tak cukup memuji secara verbal, urusan ganteng ini pun
dicarikan sandaran pada dalil agama, di mana dalam Islam disepakati bahwa
manusia paling ganteng seantero jagat sepanjang zaman adalah Nabi Yusuf sebagai
nomer duanya. Tentu saja Nabi Muhammad selalu nomer satu. Tetapi pesona Nabi
Muhammad tidak boleh dibanding-bandingkan, maka Nabi Yusuf adalah pilihan
pertama urusan pesona ketampanan dalam Islam. Padahal Nabi Yusuf ini adalah
putera dari Nabi Ya'qub, Kakek Moyang Bani Israel. So, semoga setelah memuji
para pangeran Saudi ini, mereka bisa berdamai dengan Israel atau Yahudi
sebagai saudara tua Islam? Jangan mimpi deh, itu urusan lain.
Mengapa tak terjadi pujian-pujian sebaliknya di dunia maya
dari kaum lelaki Muslim kepada para puteri dari Saudi? Yang ini jawabnya
jelas, sumber-sumber di internet sama sekali tidak mendukung. Ini masalah
aurat yang sulit dicarikan dalilnya, apalagi oleh mereka yang cenderung
konservatif dan tegas urusan berbusana.
Kehebohan fenomenal lain yang terjadi menjelang kedatangan
Raja Salman ke Indonesia adalah adanya beberapa pihak yang mengklaim berjasa
untuk mendatangkan sang raja. Kehebohan ini pun wajib dimaklumi, kenapa?
Karena mungkin mereka berharap keuntungan bagi pribadi
atau kelompoknya, entah secara materi, politik atau pun sekedar gengsi.
Sesubjektif apa pun, gengsi masih merupakan hal penting bagi beberapa
masyarakat Indonesia, penting atau pura-pura dipentingkan dalam hal ini tak
menjadi soal.
Berbagai spanduk dan baliho besar atas nama ormas-ormas
Islam dipampang di jalanan ibukota untuk menyatakan dukungan dan sambutan
atas kedatangan sang raja beserta rombongan. Beberapa lini masa bahkan
mencarikan pembenaran pada teks-teks keagamaan (Alquran dan Al-Hadits) atas
beberapa hal terkait kedatangan sang raja, temasuk kemewahan yang
menyertainya. Hal ini pun dianggap perlu, mengapa?
Mungkin mereka beranggapan, sebagai raja yang menyematkan
gelar keagamaan Khodimul Haramaian (pelayan dua tanah suci Makkah-Madinah),
tentu sang Raja sudah memikirkan masak-masak segala perilaku dan keadaannya
untuk disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama. Khususnya saat berkunjung ke
negeri dengan jumlah penduduk Muslim mencapai hampir sepuluh kali lipat
populasi rakyat negaranya. Jadi penting kan? Untuk menghadirkan kesan agamis
ke rakyat negeri ini? Daripada dipertanyakan, masak iya orang Arab nggak
agamis? Lalu membawa mobil dari sana pun dicarikan dalil agama. Hello?
Ini seperti beberapa masyarakat indonesia sering salah
kaprah, daerah-daerah dengan predikat kota santri, lalu dikira semua
masyarakatnya santri. Sering-sering timbul pertanyaan, terutama saat akan
mengambil seorang pemuda sebagai menantu, orang sana kan santri-santri, masa
dia enggak? Ini hanya misal saja, jangan diambil hati. Teman-teman santri pun
dikira santri, padahal santri bisa dan dianjurkan berteman dengan siapa saja,
khususnya yang bukan santri. Nah kan jadi tumpang-tindih dan saling
menelikung?
Lini masa juga dipenuhi dengan argumen-argumen tentang
pentingnya kedatangan Raja Salman bagi perjuangan Islam di Indonesia.
Orang-orang ini menganggap bahwa kedatangan Raja Salman dapat berdampak
positif bagi kedatangan dakwah Islam di Indonesia.
Mungkin tak dapat dipungkiri, selama ini banyak sekali
lembaga-lembaga keagamaan Islam di Indonesia menerima bantuan dari Arab Saudi
untuk amunisi dakwah, itu fakta. Tetapi mengharapkan lebih dari itu,
sebenarnya nyaris mustahil, Raja Salman tetaplah Raja Salman, dia hanyalah
seorang raja di Semenanjung yang sebagian besarnya berupa gurun pasir.
Seberapa besarpun dia berkuasa di sana, tetap saja
kekuasaannya terbatas, bahkan nyaris tak punya kuasa apa pun di negeri Zamrud
Khatulistiwa ini. Raja Salman bukan jelmaan dewa yang bisa mengubah rumput
hijau dan gemericik air menjadi gurun pasir tandus dan beroase sejuk.
Untuk melindungi saudara seagamanya dari hukum di tanah
kekuasaannya, ya, saudara sesama Muslim yang kebetulan berasal dari Indonesia
dan berstatus buruh migran pun, belum tentu dia sanggup, dan selama ini terbukti
tidak selalu sanggup. Kata tidak sanggup ini sudah diperhalus loh ya,
daripada menggunakan kata tidak mau? Nanti dituduh pencemaran nama baik.
Selebihnya, tentang harapan-harapan akan keuntungan ekonomi dan investasi itu
biarlah dibahas para ekonom.
Sementara Ratusan ribu buruh migran yang sehari-hari terus
dikungkung oleh ketakutan pada kekerasan fisik dan seksual tanpa tahu kemana
mereka harus meminta keamanan di negeri yang berdasarkan syariat Islam ini.
Di mana sedikitnya ada 40 TKI yang terancam hukuman mati dengan 4 orang yang
sedang menunggu eksekusi.
Pemerintah Arab Saudi juga masih memiliki tanggungan wajib
lain kepada bangsa Indonesia, baik wajib karena memang tanggung jawabnya
(menurut logika hukum Indonesia) maupun wajib karena Raja Salman telah
menjanjikannya, tentu kita sepakat, bahwa janji adalah hutang.
Kewajiban-kewajiban itu antara lain adalah korban musibah runtuhnya crane
pembangunan Masjidil Haram yang terjadi pada haru Jumat tanggal 11 September
2015 di mana pihak berwenang Saudi menyatakan bahwa sedikitnya 107 orang
meninggal dan 238 terluka. Dari jumlah itu, sebanyak 12 jemaah haji asal
Indonesia meninggal dan 49 orang luka-luka.
Melalui Menteri Urusan Haji Arab Saudi Bandar bin Muhammad
Hajjar, pemerintah Saudi menjanjikan akan memberikan santunan sebesar 1 juta
riyal setara Rp3,5 miliar bagi ahli waris dari korban meninggal. Sedangkan
korban luka akan mendapat santunan sebesar 500 ribu riyal, setara Rp1,7
miliar. Setahun lebih berlalu dan janji masih masih berupa janji dengan
penjelasan masih diproses. Duta Besar Arab Saudi di Indonesia, Osama bin
Muhammed Al-Shuaibi hingga kemarin pun masih sekedar bisa menjanjikan, tidak
lebih.
Di tahun yang sama jamaah haji Indonesia juga mendapatkan
musibah di Mina, di mana tercatat 127 orang tewas, terdiri dari 122 jemaah
haji Indonesia dan 5 WNI yang mukim di Arab Saudi. Kita pun banyak mendengar
janji untuk keluarga yang terkena musibah, yang hingga kini pun belum
terwujud. Janji lain? Haduh sudahlah jangan terlalu berharap dulu.
Raja Salman dan para pengeran itu memang kaya, termasuk
kaya akan janji, tak perlu berdebat. Sebab kalau tidak kaya, mana mungkin
mereka datang berrombongan sebanyak itu dengan pesawat yang sudah dipamerkan
kemewahannya. Sekali lagi, mereka juga sejak lahir sudah bertetanggaan dengan
Baitullah.
Jadi intinya adalah, semua pembicaraan tentang kunjungan
Raja Salman dan para pangerannya adalah tentang menarik keuntungan, entah apa
pun bentuknya. Maka mari kita doakan semoga kunjungan Raja Salman dan
rombongan ini membawa keuntungan untuk banyak pihak, termasuk pihak-pihak
yang selama ini menunggu janji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar