Saudi
dan Pandangan ke Timur
A Eby Hara ; Dosen FISIP
Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jember
|
JAWA
POS, 02
Maret 2017
KUNJUNGAN Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud ke
Indonesia disambut dengan antusias. Maklumlah, Raja Salman yang membawa
rombongan dengan anggota 1.500 orang yang terdiri atas para menteri dan
pengusaha mengiming-imingi investasi besar Rp 300 triliun.
Secara politik, kunjungan ini memberikan makna yang
signifikan di dalam negeri. Lawatan ini membangkitkan kembali kepercayaan
berbagai kelompok Islam pada negara yang merasa kecewa karena Indonesia
selama ini terlalu dekat ke negara-negara nonmuslim seperti Tiongkok.
Saudi merupakan pelayan dua masjid suci (custodian of the two holy mosques) di
Makkah dan Madinah tempat umat Islam melakukan ibadah haji dan umrah. Karena
itu, Indonesia sangat berkepentingan agar hubungan dengan Saudi berjalan baik
sehingga pelayanan dan kuota haji Indonesia bisa ditambah.
Kedua negara juga berkepentingan untuk mengatasi terorisme.
Saudi membentuk koalisi militer 34 negara Islam dalam Islamic Military
Alliance to Fight Terrorism (IMAFT). Namun, Indonesia tidak bersedia masuk ke
dalam koalisi itu karena prinsip politik luar negeri bebas aktif. Meski
demikian, Indonesia sebagai korban serangan terorisme terus melakukan kerja
sama dengan berbagai negara untuk mengatasinya. Tidak adanya kunjungan Raja
Saudi ke Indonesia dalam waktu lama tidak berarti hubungan tidak baik, tetapi
bisa jadi karena kunjungan ke Indonesia tidak bersifat urgen atau bisa juga
karena pemimpin saat itu belum memprioritaskan Indonesia. Pada kunjungan Raja
Faisal 47 tahun yang lalu, suasananya lebih sederhana. Pesawatnya hanya satu
dan tidak sampai tujuh pesawat seperti sekarang. Delegasinya juga dipastikan tidak
sampai 1.500 orang.
Namun, kunjungan Raja Faisal saat itu sangat urgen dan
bersahaja karena negara-negara Arab sedang berperang secara militer dengan
Israel yang didukung Amerika. Pada 1974 negara-negara Arab melakukan embargo
minyak sebagai perlawanan ke Barat yang membuat roda perekonomian Barat
lumpuh untuk beberapa saat. Dukungan Indonesia terhadap perjuangan bangsa
Arab melawan Israel yang menduduki Palestina sangat penting dan menunjukkan
ikatan persahabatan yang tulus.
Pada saat ini, konteks kunjungan sudah berbeda. Masalah
Palestina memang belum selesai. Namun, tidak ada satu pun negara Arab,
kecuali Syria, yang tidak mempunyai hubungan erat dengan AS. Saudi telah
menjadi negara yang makmur dengan kekuatan regional yang kuat. Bersama dengan
Israel, Saudi menjadi sekutu utama AS di Timur Tengah. Ancaman utama bagi
Saudi bukan lagi terutama Israel, tetapi Iran. Di bawah Raja Salman, Saudi
memimpin koalisi 10 negara Teluk dalam melakukan intervensi militer di Yaman
untuk mencegah berkembangnya pengaruh Iran melalui kelompok Shiah Houtis.
Dalam konteks politik baru ini, Raja Salman berkunjung ke
Indonesia. Kepentingan politik seperti pada 1970-an sudah tidak kuat. Saudi
telah bertransformasi menjadi negara modern. Pusat-pusat bisnis, restoran,
dan hotel internasional telah masuk bahkan sampai ke kota suci seperti
Makkah. Riyadh semasa Pangeran Salman menjadi gubernurnya berkembang menjadi
kota modern dengan gedung pencakar langit. Kota pelabuhan Jeddah akan
mempunyai gedung pencakar langit Jeddah Tower dengan tinggi 1.007 meter yang
memiliki 252 lantai.
Sebagai negara monarki absolut, Saudi perlu terus
mempertahankan legitimasi dengan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Putra
raja, yang merupakan putra mahkota kedua, Mohammed bin Salman, merancang transformasi
ekonomi Kerajaan Saudi sampai 2030. Rancangan yang disebut Vision 2030 itu
menyebutkan bahwa negara kesejahteraan Saudi tidak akan bisa bertahan kalau
harga minyak rendah dan karena itu mereka perlu beralih ke sektor nonmigas
dalam ekonomi.
Dalam Vision 2030 itu, Saudi perlu bekerja sama dengan
berbagai negara, tidak hanya dengan negara-negara Eropa dan AS yang selama
ini menjadi partner bisnis mereka. Sasaran penting adalah ke negara-negara
Asia Timur yang ekonominya semakin maju dan negara-negara Islam di Asia
Tenggara yang merupakan pasar yang besar untuk mengembangkan kerja sama
perdagangan dan industri nonmigas. Ada yang menyebut kebijakan itu dengan
Saudi Arabia’s Look-East Policy (Kebijakan Saudi Memandang ke Timur).
Kunjungan ke Indonesia ini adalah bagian dari look-East
policy tersebut. Indonesia menjadi bagian dari rangkaian kunjungan Raja
Salman ke Asia yang dimulai dari Malaysia, Indonesia, Jepang, Tiongkok,
hingga Maladewa. Saudi mengajak perusahaan dan bank-bank di Asia untuk bekerja
sama dalam investasi internasional dan dalam mengembangkan industri yang
tidak hanya berkaitan dengan minyak.
Agustus tahun lalu Saudi melakukan perjanjian awal dengan
Tiongkok, mulai pembangunan rumah di Saudi sampai proyek-proyek pengadaaan
air dan penyimpanan minyak. Saudi juga sepakat untuk berinvestasi hingga USD
45 miliar untuk pengadaan teknologi baru dengan kelompok bank Jepang.
Selain itu, Saudi tetap giat memperkuat posisinya sebagai
negara pengekspor minyak terbesar di dunia, termasuk di pasar-pasar Asia yang
berkembang. Dalam kunjungan ke Asia, Saudi akan menawarkan saham perusahaan
minyak raksasa mereka, Aramco, yang dibuka ke publik pada 2018. Dalam
kunjungan ke Malaysia, Aramco akan bekerja sama dengan Petronas dalam
pengembangan proyek penyulingan minyak dan Petrokimia. Di Indonesia, kerja
sama serupa direncanakan juga dilakukan di Cilacap.
Kunjungan Raja Salman diharapkan bisa meningkatkan
investasi Saudi yang kini hanya menempati posisi nomor 50-an, masih jauh di
bawah Singapura, Jepang, dan Tiongkok yang merupakan negara tiga besar
investor utama Indonesia.
Nilai investasi Saudi di bidang perminyakan diharapkan
mencapai USD 7 miliar. Selain itu, ada beberapa proyek seperti pembangunan
perumahan yang akan mencapai USD 1 miliar. Target penandatanganan investasi
adalah sekitar USD 25 miliar. Insya Allah rencana ini dapat diwujudkan. Ahlan wa sahlan fi Indonesia ya Raja
Salman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar