Jumat, 03 Maret 2017

Elite (yang) Kebablasan

Elite (yang) Kebablasan
Danang Aziz Akbarona  ;   Direktur Riset Government Research Institute
                                                  KORAN SINDO, 02 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini, Rabu (22/2), memberikan penilaian bahwa demokrasi (kebebasan) yang kita jalankan sudah mulai kebablasan sehingga membuka peluang terjadi artikulasi politik yang ekstrem seperti liberalisme, radikal isme, sektarianisme, terorisme, dan ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penilaian Presiden Jokowi itu secara khusus merujuk pada kejadian empat hingga lima bulan kebelakang (kondisi disharmoni bangsa) sambari menekankan pentingnya konsep kebangsaan Indonesia yang beragam dan majemuk.

Fenomena politisasi suku, adat, ras, dan agama (SARA) yang saat ini mendera banyak pihak, menurut Presiden, merupakan bagian dari kurang pahamnya masyarakat mengenai keberagaman. Dampak nyata dari isu ini adalah bertebaran fitnah, kebohongan, saling memaki, dan menghujat. Kalau ini diteruskan, bisa menjurus pada perpecahan bangsa kita. Pertanyaannya, benarkah kondisi disharmoni, politisasi SARA, kurangnya pemahaman tentang keberagaman, ter masuk fenomena lain yang meng indikasikan demokrasi kita kebablas an, itu merupakan masa lah rakyat? Penulis melihat sebaliknya, ini bukan masalah rakyat, melainkan elite.

Demokrasi Matang

Demokrasi yang matang semestinya melahirkan keadaban publik dan itu terjadi jika (dan hanya jika) setiap elemen atau aktor demokrasi mampu mengubah kebebasan menjadi keteraturan dan persaingan (kompetisi) menjadi kerja sama (kooperasi). Demokrasi memang memberikan ruang bagi ke bebasan, tapi bukan kebebasan yang tanpa batas. Batasannya adalah keteraturan publik (public order). Dalam kon teks kehidup an berbangsa dan bernegara, pesan itu tegas disuratkan da lam Konstitusi Pasal 28J serta pasal-pasal lain yang mengintrodusir tentang hak dan ke wajiban sebagai warga negara.

Pada Pasal 28J UUD 1945 se tiap orang memang diwajib kan menghormati hak asasi (kebebasan) orang lain (ayat 1), tetapi jelas diarah kan pada ayat 2 bahwa setiap orang dalam men jalankan kebebasannya tunduk pada pem batasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghor mat an atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk meme nuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Ini maknanya kebebasan tidak bisa dilakukan sebebas-bebasnya, melainkan diarahkan pada keteraturan publik. Demokrasi di Indonesia sejatinya juga dilengkapi dengan pedoman moral dan etika yang cukup kuat antara lain TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 ten tang Etika Kehidupan Berbangsa serta TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepo tisme. TAP terakhir bahkan ter bit bersamaan dengan kelahir an reformasi yang menandai awal proses demokratisasi di ne gara kita. Ini artinya, bangunan demokrasi Indonesia punya perangkat regulasi penunjang sistem yang memadai.

Ada liber asi (kebebasan) yang diakui, ada hak-hak yang dijunjung tinggi, tapi pada saat yang bersamaan ada kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipikul bersama. Dengan argumentasi di atas, kita paham bahwa prasyarat demokrasi berkualitas yang pertama (dan paling utama) adalah penegakan hukum, aturan, dan etika bernegara yang konsisten dan konsekuen sehingga kebebasan tidak men jadi liar (kebablasan), tapi meng arah pada keteraturan. Dan, peran tersebut hanya bisa dimainkan oleh pemim pin/pejabat publik (elite) negara yang profesional dan berintegritas.

Demokrasi juga memberi ruang bagi kompetisi, tapi bu kan kompetisi yang mematikan (win-lose). Dalam setiap kompetisi pasti ada yang menang dan adayangkalah. Acapkalihal itu berujung konflik, baik konflik kepentingan mau pun gagasan. Tetapi, demokrasi sendiri hakikatnya adalah mekanisme resolusi konflik. Pandangan struktural jelas menegaskan itu bahwa demokrasi adalah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus (Alfian,1978: 236; Surbakti, 1999:228).

Karena itu, demokrasi memungkinkan perbedaan pendapat, persaingan, dan per tentangan di antara individu, di antara berbagai kelompok, di antara individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah. Tetapi, demokrasi hanya akan menoleransi konflik yang tidak menghancurkan sistem. Sistem politik demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan konflik sampai pada ”penyelesaian” dalam bentuk kesepakatan.

Prinsip ini pula yang mendasari pemben tuk an identitas bersama, hubungan kekuasaan, legitimasi kewenang an, dan hubungan politik dengan ekonomi. Artinya, betapapun sengit persaingan terjadi ia harus berujung pada kesepakatan dan kerja sama untuk kepentingan yang lebih luas/ kepentingan bangsa dan negara. Lagi-lagi, halitubisaterwujudjika elite memiliki kesadaran berdemokrasi yang matang.

Elite yang Kebablasan

Dengan memahami prasyarat demokrasi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa beban terbesar untuk menghadirkan demokrasi yang matang (berkualitas) itu sesungguhnya adapadaelitekarenamerekayang menerima mandat rakyat— melalui proses elektoral—untuk mengatur urusan dan kepentingan negara. Tugas rakyat sebagai pemberi mandat (untuk sebagian besar) selesai ketika mereka telah memilih pemimpinnya. Dan, tugas elite pemimpin/pejabat publik (untuk sebagian besar) dimulai ketika mandat itu telah diberikan.

Elite pemimpinlah yang diharapkan mampu menciptakan keteraturan melalui penegakan hukum yang adil, penerapan etika bernegara dengan standar yang tinggi, serta totalitas komitmen untuk mencari titik temu (resolusi), bukan saja atas konflik politik—sebagai akibat dari kompetisi dari pemilu ke pemilu—tapi juga titik temu (solusi) untuk berbagai kepentingan bangsa dan negara.

Sayangnya, dalam banyak peristiwa kita justru mendapati elite yang menjadi biang masalah ketika mereka sibuk memproduksi kegaduhan, menyulut sentimen, mempertuankan kepentingan pribadi atau golongan. Para elite menunjukkan nafsu (am bisi) berkuasa dengan meng halalkan segala cara, berperilaku koruptif, dan lebih parah lagi me lahir kan kebijakan dan penegakan hukum yang tidak berkeadilan. Sebaliknya, dalam banyak peristiwa rakyat malah kerap menampilkan kedewasaan dalam berdemokrasi melalui sikapsikap terpuji dalam menerima perbedaan, menerima kekalahan, menuntut keadilan secara beradab, melakukan demonstrasi damai, aktif menagih janji politik, serta melaksanakan kontrol dan kritisi atas setiap perilaku elite yang abuse of power.

Dus, ketika Presiden Jokowi mengkritik bahwa demokrasi kita telah kebablasan sejatinya kritik itu lebih tepat diarahkan kepada para elite politik dan penyelenggara negara—ekse kutif, legislatif, yudikatif, ter masuk Presiden sendiri—agar lebih arif dan bijak dalam ber sikap dan dalam mengambil ke bijakan menyangkut kepentingan rakyat. Saran kita, rakyat biasa: mulailah memperkuat etika penyelenggara negara dan memperbaiki pelembagaan institusi-institusi demokrasi sehingga makin profesional, akuntabel, dan berintegritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar